Bila tren ini terus berlanjut, maka pada 2100 diperkirakan jumlah penduduk di Jepang hanya akan mencapai 53 juta jiwa saja. Populasi penduduk Jepang asli bisa saja diperkirakan punah bila fenomena ini berlanjut dalam beberapa abad kedepan.
Diramalkan juga pada 2060, setengah dari penduduk Jepang akan didominasi oleh lansia, yang tentunya akan membebani perekonomian negeri matahari terbit tersebut dalam hal penyediaan jaminan kesehatan serta jaminan hari tua, di mana akan memakan sekitar sepertiga dari anggaran belanja negaranya.
Penyediaan jaminan sosial pada akhirnya akan memakan penerimaan pajak negara di Jepang, di tengah menurunnya pendapatan dari pajak oleh kaum-kaum usia produktif di Jepang yang tiap tahun populasinya juga semakin menurun.
International Monetary Fund (IMF) bahkan memprediksi dalam 40 tahun kedepan, ekonomi Jepang dapat menyusut hingga 25 persen dari saat ini.
Masalahnya, sudah berbagai upaya dan insentif dilakukan pemerintah Jepang dalam mengatasi krisis populasi ini, namun selalu berakhir sia-sia.
Saking frustasinya, pemerintah Jepang banyak mengundang pekerja migran dari negara lain, termasuk Indonesia, untuk bekerja sebagai buruh kasar di negara tersebut.
Tak heran, penulis dalam kunjungannya ke Negeri Sakura, semakin sering menemukan pekerja-pekerja migran dari negara lain yang bekerja dan mengadu nasib di Jepang dalam beberapa waktu belakangan.
Dalam 20 sampai 30 tahun terakhir, para pemuda di Jepang menghadapi serangkaian masalah sosial kompleks, yang selanjutnya membuat mereka tidak berminat untuk membangun keluarga dan membina keturunan.
Hal ini dipengaruhi ekspektasi sosial yang tinggi dan budaya kerja di Jepang yang penuh dengan tekanan.
Jepang mengadopsi nilai-nilai budaya kerja yang telah eksis selama berabad-abad sejak zaman samurai dan disebut dengan bushido. Budaya tersebut menekankan pada nilai-nilai pengabdian serta loyalitas.
Budaya ini masih sangat kental di kalangan korporat dan profesional Jepang di era modern saat ini, yang pada akhirnya melahirkan beberapa fenomena seperti: jam kerja perusahaan yang ekstrem, tidak adanya upah lembur, dan budaya bersosialisasi dengan atasan serta rekan kerja sepulang kantor, yang seringkali membuat waktu hidup pemuda Jepang hanya dihabiskan di kantor demi produktivitas dan tuntutan korporasi.
Selain itu, budaya kerja di Jepang juga menekankan pada tingkat senioritas yang tinggi dan kaku di kalangan korporat serta profesionalnya.
Artinya, sekeras apapun kaum pemuda di Jepang bekerja, atasan atau generasi tualah yang memiliki hak untuk mengambil kompensasi lebihnya. Hal ini justru mematikan motivasi serta inovasi di kalangan pekerja muda Jepang.
Kombinasi dari nilai-nilai budaya ini akhirnya membuat kaum muda di Jepang melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan posisinya di dunia kerja, termasuk menerapkan waktu jam kerja yang teramat ekstrem di luar batas kemampuannya demi menunjukkan kontribusinya pada perusahaan.
Hal ini menimbulkan efek menakutkan di kalangan pekerja muda Jepang yang disebut dengan karoshi. Banyak pemuda di Jepang meregang nyawa di tempat kerja ataupun di tempat-tempat umum seperti stasiun atau di tengah jalanan sepi akibat kelelahan bekerja.
Berdasarkan pengalaman penulis, hal ini banyak terjadi di kota-kota besar khususnya Tokyo. Tingkat keputusasaan yang masif membuat banyak pemuda Jepang mengisolasi diri dari kehidupan sosial, dan memilih hidup menyendiri demi menghindari tekanan sosial yang begitu tinggi.
Fenomena pemutusan hubungan sosial seperti ini kian sering terlihat di Jepang, yang selanjutnya disebut sebagai hikikomori.
Tercatat terdapat sekitar 1,5 juta penduduk di Jepang, yang lebih memilih mengisolasi dirinya dari lingkungan sekitar dan memutuskan menjadi hikikomori.
Hal ini membuat banyak pemuda Jepang tidak sanggup menanggung kebutuhan hidupnya sendiri, dan bahkan sekitar 15 juta pemuda usia produktif di Jepang masih bergantung pada penghasilan orangtuanya.