Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Belajar dari Jepang: Negara Maju yang Menua

Kompas.com - 15/02/2024, 10:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ekonomi yang stagnan

Meskipun masih dalam status negara maju, pemerintah Jepang kini serba salah. Meski mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan pada tahun 1970 dan 1980-an yang membuatnya menjadi negara maju, hal ini tidak terjadi lagi pada masa sekarang.

Krisis ekonomi di Jepang pada tahun 1990-an mengakibatkan bursa saham Jepang hancur lebur dan membuat trauma generasi tua di Jepang saat ini.

Sejak saat itu, generasi tua di Jepang cenderung menjadi alergi dengan investasi, wirausaha, atau segala hal apapun yang memiliki potensi risiko secara ekonomi.

Maka, generasi tua banyak menurunkan berbagai nasihat kepada generasi muda Jepang yang pada intinya adalah: terus menabung, berhemat, jangan berhutang, jangan investasi, dan jangan berwirausaha. Lebih amannya, mengabdi jadi karyawan saja.

Ternyata nasihat ini berdampak signifikan terhadap ekonomi Jepang, di mana tingkat konsumsi penduduknya cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun.

Berdasarkan teori ekonomi klasik, tingkat konsumsi atau permintaan yang rendah membuat harga barang-barang di Jepang cenderung stagnan atau bahkan turun. Hal ini justru semakin mematikan industri dan usaha-usaha lokal di Jepang.

Bank sentral Jepang sudah berupaya menurunkan suku bunga serendah mungkin guna mendorong konsumsi di masyarakat serta memudahkan mereka untuk berwirausaha, tetapi hal tersebut dinilai kurang efektif.

Akibatnya, data dari Bank Dunia menyebut bahwa Jepang menduduki peringkat ke-106 dari 190 negara di dunia dalam hal kemudahan untuk membangun bisnis, dan peringkat ke-90 dalam hal kemudahan pengajuan kredit. Peringkat tersebut tergolong sangat rendah bagi negara maju.

Pertumbuhan ekonomi yang stagnan, gagalnya kebijakan moneter, terbebaninya APBN oleh jaminan sosial lansia, serta rendahnya penyerapan pajak, membuat hutang pemerintah Jepang membengkak dalam beberapa tahun terakhir.

Bahkan pada 2022 lalu, rasio hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang menembus angka 264 persen. Hal ini berarti jumlah hutang pemerintah Jepang berkisar dua kali lipat dari kemampuan produksi negaranya.

Masalah-masalah ini akhirnya saling berkaitan, dan menurunkan daya saing ekonomi Jepang di dunia Internasional.

Produk-produk Jepang di sektor otomotif dan elektronik, kini mulai kehilangan pasar dan digantikan produk-produk Korea Selatan, China, dan Amerika Serikat.

Meskipun banyak faktor lain yang menyebabkan menurunnya ekonomi Jepang seperti tingkat literasi bahasa inggris yang rendah, ditandatanganinya "Plaza Accord" tahun 1985, serta kebijakan pemerintahnya yang justru pro-lansia akibat tingginya tingkat elektoral di kalangan kaum lansia, unsur demografi menjadi hal yang begitu dominan sebagai penyebab utamanya.

Lalu, pelajaran yang bisa diambil? Apabila Indonesia ingin step up menjadi negara maju layaknya Jepang, pemanfaatan bonus demografi di semua sektor menjadi hal yang sangat krusial.

Menuju Indonesia Emas 2045, jumlah usia produktif dengan SDM berkualitas menjadi salah satu poin penting dalam membangun generasi maju di tahun-tahun yang akan datang.

Ageing society memang menjadi hal yang menakutkan. Namun bila pemanfaatan masyarakat dengan usia angkatan kerja produktif dapat dilaksanakan dengan efektif, negara dapat mengambil keuntungan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang masif, di tengah persaingan ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian di masa yang akan datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com