Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mungkinkah Korea Utara Berperang dengan Korea Selatan?

Kompas.com - 28/01/2024, 08:15 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

PYONGYANG, KOMPAS.com - Korea Utara atas perintah Kim Jong Un telah menghancurkan sebuah monumen yang melambangkan cita-cita rekonsiliasi dengan Korea Selatan.

Kim menyebut Korea Selatan sebagai “musuh utama” dan mengatakan reunifikasi tidak mungkin lagi dilakukan.

Citra satelit yang diambil di Pyongyang pada Selasa (23/1/2024) menunjukkan bahwa monumen tersebut -berbentuk sebuah lengkungan yang melambangkan harapan reunifikasi Korea dan diresmikan pada pertemuan puncak antar-Korea pada tahun 2000- sudah tidak ada lagi, menurut laporan NK News, sebuah media online yang memantau Korea Utara.

Baca juga: Korea Utara Hancurkan Monumen Harapan Reunifikasi dengan Korea Selatan

Dua pakar Korea terkemuka melontarkan pernyataan mengejutkan yang menyatakan keyakinan mereka bahwa pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, sedang mempersiapkan perang dengan Korea Selatan.

“Kami meyakini, seperti kakeknya pada 1950, Kim Jong Un telah membuat keputusan strategis untuk berperang,” tulis Robert L Carlin, mantan analis CIA; serta Siegfried S Hecker, ilmuwan nuklir yang beberapa kali berkunjung ke Korea Utara, dalam sebuah artikel di situs 38 North.

Pernyataan itu memicu peringatan di Washington dan Seoul, sekaligus perdebatan di kalangan pengamat isu Korea Utara. Akan tetapi, sebagian besar analis tak sependapat dengan teori bahwa perang Korea di depan mata.

BBC berbicara dengan tujuh pakar di Asia, Eropa, dan Amerika Utara –tak ada satu pun yang mendukung gagasan tersebut.

“Mempertaruhkan seluruh rezimnya dalam potensi konflik yang dahsyat bukanlah tindakan yang tepat bagi Korea Utara. Mereka terbukti sangat [berpandangan] Machiavellian,” kata Christopher Green, pengamat Korea dari Crisis Group yang berbasis di Belanda.

Green dan sejumlah pakar lain mencatat bahwa Korea Utara sering kali melakukan aksi-aksi tertentu untuk membawa negara-negara Barat ke meja perundingan; dan ada juga tekanan politik dari dalam negeri.

Kendati demikian, mereka sependapat bahwa kemarahan Kim yang semakin memuncak tak dapat diabaikan dan rezimnya kini semakin berbahaya.

Meskipun sebagian besar pakar berpendapat bahwa perang mungkin masih kecil kemungkinannya, beberapa dari mereka khawatir serangan-serangan mungkin akan terjadi.

Baca juga: Menlu Korea Utara Siap Sambut Putin di Pyongyang

Apa yang memicu kemungkinan perang Korea?

Para pengamat Korea Utara sudah terbiasa dengan ancaman nuklir yang dilontarkan Kim Jong Un. Namun ada analis yang mengatakan pesan terbaru dari Pyongyang menyimpan sifat berbeda.

Enam hari setelah pernyataan Kim pada Malam Tahun Baru bahwa "sudah menjadi kenyataan bahwa perang dapat pecah kapan saja di Semenanjung Korea", militer Korut melancarkan serangan artileri melintasi perbatasan.

Perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan.BBC Perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan.

Korea Utara juga telah mengeklaim uji coba rudal berbahan bakar padat baru, dan drone penyerang bawah airnya, yang diduga dapat membawa senjata nuklir, sejak awal Januari.

Hal ini merupakan tindak lanjut dari peluncuran rudal dan pengembangan senjata yang dilakukan hampir setiap bulan selama dua tahun, yang jelas-jelas bertentangan dengan sanksi PBB.

Namun, pengumuman Kim Jong Un yang secara resmi mengabaikan tujuan unifikasi pada pekan lalu yang membuat banyak pihak terkejut.

Bersatu kembali dengan Korea Selatan selalu menjadi bagian penting –meski semakin tidak realistis– dari ideologi Korea Utara sejak awal berdirinya negara tersebut.

Baca juga: Korea Utara Uji Coba Drone Nuklir di Bawah Air, Ini Alasannya

"Ini adalah isu besar. Ini secara mendasar mengubah salah satu ajaran inti ideologi rezim," kata Peter Ward, peneliti senior di Universitas Kookmin di Seoul.

Kim Jong Un dinilai akan menghancurkan warisan tersebut – secara harfiah.

Seiring dengan penutupan saluran diplomasi dan siaran radio lintas batas, ia juga mengumumkan akan menghancurkan Reunification Arch, sebuah monumen sembilan lantai di pinggiran Pyongyang.

Monumen berbentuk lengkungan tersebut - yang memperlihatkan dua perempuan dalam pakaian tradisional Korea saling berpegangan tangan - dibangun pada tahun 2001 untuk menandai upaya kakek dan ayah Kim Jong Un menuju reunifikasi dengan Korsel.

Gambar satelit yang dirilis oleh Planet Labs pada hari Selasa (23/1/2024) menunjukkan patung tersebut tampaknya telah hancur, meskipun belum ada konfirmasi resmi mengenai hal ini.

Kim Il Sung adalah pemimpin Korut ketika negara itu berperang pada 1950, namun dia juga orang yang mengemukakan gagasan bahwa suatu saat nanti masyarakat Korut akan bersatu kembali dengan saudara-saudara mereka di selatan.

Akan tetapi, cucunya kini memilih untuk mendefinisikan warga Korea Utara sebagai orang yang berbeda dengan warga Korea Selatan –mungkin untuk membenarkan bahwa warga Korea Selatan sebagai target militer.

Monumen simbol cita-cita persatuan Korea Utara dan Korea Selatan.GETTY IMAGES via BBC News Indonesia Monumen simbol cita-cita persatuan Korea Utara dan Korea Selatan.

Apakah serangan-serangan akan terjadi?

Carlin dan Dr Hecker, para pakar yang memperkirakan perang, telah menafsirkan hal-hal yang terjadi belakangan sebagai tanda-tanda bahwa Kim Jong Un telah memutuskan untuk benar-benar melakukan perlawanan.

Namun, sebagian besar analis tidak setuju.

Seong-Hyon Lee, dari George HW Bush Foundation untuk hubungan AS-Tiongkok, menyatakan bahwa Korea Utara akan membuka negaranya untuk asing bulan depan, dan negara tersebut juga telah menjual amunisinya ke Rusia untuk perang –sesuatu yang mungkin tidak mereka lakukan jika negara itu sedang mempersiapkan medan perang.

Namun, yang dikhawatirkan adalah jika Korea Utara melancarkan serangan, maka pasukan AS dan Korea Selatan akan jauh lebih maju.

“Perang secara umum bisa membunuh banyak orang di Korea Selatan, tapi ini akan menjadi akhir bagi Kim Jong Un dan rezimnya,” kata Ward dari Kookmin University.

Sebaliknya, ia dan sejumlah pakar lain memperingatkan bahwa kondisi sedang berkembang untuk tindakan yang lebih kecil.

“Saya lebih khawatir, secara umum, mengenai serangan terbatas terhadap Korea Selatan… serangan semacam itu akan menyasar wilayah atau kekuatan militer Korea Selatan, namun cakupannya terbatas,” kata analis Ankit Panda dari Carnegie Endowmen for International Peace.

Baca juga: Mengapa Korea Utara Uji Coba Rudal Hipersonik dan Bagaimana Cara Kerjanya?

Hal ini bahkan dapat berupa penembakan atau upaya pendudukan terhadap pulau-pulau yang diperebutkan di sebelah barat Semenanjung Korea.

Pada 2010, Korea Utara menyerang Pulau Yeonpyeong dan menewaskan empat tentara Korea Selatan, sehingga membuat marah Korea Selatan.

Provokasi serupa dapat dilakukan lagi untuk menguji batas kemampuan Korea Selatan, menurut para analis, dan untuk mengganggu Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, seorang pemimpin garis keras yang telah berjanji untuk menanggapi serangan Korea Utara dengan hukuman “beberapa kali lebih berat”.

“Korea Selatan mungkin akan melancarkan serangan balasan yang tidak proporsional dari Seoul,” kata Panda, seraya menilai ada sesuatu yang mungkin akan memicu eskalasi pertempuran yang lebih luas.

Provokasi untuk menarik perhatian bernegosiasi?

Pihak lain mengatakan ketakutan akan perang juga harus dimasukkan ke dalam konteks pola operasi Kim.

“Melihat sejarah Korea Utara, Korea Utara sering menggunakan provokasi untuk menarik perhatian negara lain ketika ingin bernegosiasi,” kata Seong-Hyon Lee.

Rezim ini terus menderita akibat sanksi ekonomi dan tahun 2024 adalah tahun pemilu bagi musuh-musuhnya –dengan pemilihan presiden AS dan pemilihan legislatif Korea Selatan.

“Ini memberikan peluang bagus bagi Kim Jong Un untuk melakukan provokasi,” jelas Dr Lee.

Pemerintahan AS saat ini di bawah Presiden Joe Biden –yang disibukkan dengan perang di Ukraina dan Gaza– belum terlalu memperhatikan Korea Utara. Pyongyang pun biasanya paling banyak berinteraksi dengan pemerintahan Partai Republik.

Kim Jong Un dan Donald Trump terkenal menjalin hubungan dekat pada tahun 2019 sebelum perundingan denuklirisasi memburuk.

Pemimpin Korea Utara itu mungkin tengah menunggu mantan presiden AS tersebut kembali ke Gedung Putih, tempat ia mungkin akan melemahkan aliansi dengan Korea Selatan dan bersikap terbuka untuk berdialog lagi.

Persahabatan Korea Utara yang lebih dekat dengan Rusia dan dukungan ekonomi yang berkelanjutan dari Tiongkok pada tahun lalu mungkin juga meningkatkan keberanian Korea Utara, menurut para analis.

Mereka menerima bantuan teknis dari Rusia untuk mencapai tujuan jangka panjang dengan meluncurkan satelit mata-matanya dan kedua negara telah mengadakan beberapa pertemuan penting termasuk pertemuan puncak para pemimpin tahun lalu.

Baca juga: Korea Utara Uji Coba Rudal Balistik Jarak Menengah Berbahan Bakar Padat

“Sebagian besar dari apa yang kami lihat adalah hasil dari kepercayaan Korea Utara terhadap kemampuannya sendiri dan posisi geopolitiknya mengingat dukungan Rusia, dan pada tingkat yang lebih rendah, dukungan Tiongkok,” kata Panda.

Apa tujuan dalam negeri?

Dan ada juga yang mengatakan bahwa tindakan Kim Jong Un bertujuan untuk menstabilkan rezimnya sendiri.

“Hal ini tampaknya merupakan penyesuaian ideologis demi kelangsungan rezim,” ujar Profesor Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha di Seoul.

“Warga Korea Utara semakin menyadari kelemahan negara Komunis mereka dibandingkan dengan Korea Selatan.”

Dia berpendapat bahwa kebijakan yang berfokus pada penentuan musuh dimaksudkan untuk membenarkan anggaran negara untuk pengembangan rudal selama masa sulit. Padahal, saat ini dilaporkan terdapat kelaparan di seluruh negeri.

“Dia sebenarnya tidak menginginkan perang – sebuah pertaruhan besar di mana dia tidak akan mendapatkan apa-apa dan kehilangan segalanya,” kata Sokeel Park, dari Liberty in North Korea, sebuah LSM yang membantu pengungsi Korea Utara.

Ancamannya malah ditujukan untuk memperkuat kebijakan barunya mengenai Utara dan Selatan, yang pada akhirnya dirancang untuk menopang kekuasaannya di dalam negeri, jelasnya.

Meskipun penting bagi Korea Selatan, Amerika Serikat, dan sekutunya untuk bersiap menghadapi skenario terburuk, ada baiknya juga melakukan kajian menyeluruh terhadap situasi internal di Korea Utara dan geopolitik yang lebih luas, kata para analis.

Pada akhirnya, kata Dr Lee, cara terbaik untuk mengetahui apa yang dipikirkan pemimpin Korea Utara adalah dengan berinteraksi dengannya.

“Komunitas internasional tidak melihat bahwa ketika AS berbicara dengan Kim Jong Un adalah bentuk menyerah terhadap ancaman Kim Jong Un. Hal ini dipandang sebagai cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan,” katanya.

“Jika perlu, salah satunya harus mempertimbangkan pertemuan dengan pemimpin negara musuh untuk mengurangi kesalahan penilaian dan mencegah perang,” terang Dr Lee.

Laporan tambahan oleh Kelly Ng

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com