“Dalam kebijakan luar negeri dan sikap RI dalam forum regional maupun multilateral yang membahas krisis hak asasi manusia di sejumlah wilayah maupun dalam kaitan dengan ratifikasi perjanjian internasional (...) seperti Suriah dan Palestina, baru sebatas pernyataan moral. Belum ada langkah konkret,” ujar Usman kepada BBC Indonesia.
Menurut pegiat HAM itu, Indonesia baru sebatas komitmen normatif dan masih bersikap setengah hati di tingkat ratifikasi perjanjian internasional sehingga pelaksanaannya di lapangan menjadi tidak efektif.
“Bahkan ada sejumlah perjanjian penting yang relevan dengan situasi krisis di Palestina, Ukraina, hingga Myanmar tapi hingga kini tidak kunjung diratifikasi. Contohnya Konvensi Genosida, Konvensi Pengungsi dan Statuta Roma.”
“Bahkan agenda ratifikasi Statuta Roma kini dihapus dari RANHAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia),” ujar Usman.
Implikasinya, kata Usman, adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.
Menanggapi pertanyaan mengenai kenapa Indonesia masih belum meratifikasi perjanjian relevan untuk krisis HAM seperti Konvensi Genosida PBB, Usman menjawab, “Indonesia memiliki sejarah kekerasan politik yang panjang”.
“Termasuk yang dapat digolongkan ke dalam jenis kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida,” ujar Usman.
Sementara menurut Teuku Rezasyah, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Genosida “karena belum adanya kepaduan sikap diantara pemerintah, parlemen, dan masyarakat umum”.
Baca juga: Menanti Putusan Mahkamah Internasional Terkait Genosida Israel
Menurut Kishino Bawono, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan dengan fokus kajian Timur Tengah, posisi Indonesia di peta perpolitikan dunia belum bisa dikatakan middle power (kekuatan menengah) apalagi major power (kekuatan besar).
Hal ini membuat pengaruh Indonesia di mata internasional tidak akan terlalu signifikan dalam konteks menyuarakan isu kemanusiaan di Palestina.
“Tidak heran jika memang kita hanya sibuk dengan pernyataan-pernyataan saja dan pertemuan-pertemuan yang juga menghasilkan pernyataan-pernyataan serta resolusi tanpa realisasi signifikan,” tuturnya.
Di sisi lain, Kishino menambahkan bahwa Indonesia “masih dibebani isu-isu kemanusiaan” di negeri seperti ini.
Akademisi ini menggarisbawahi kasus kekerasan kepada pengungsi Rohingya di Aceh yang sempat viral pada bulan Desember 2023.
Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Indonesia tentang Palestina pun, menurut Kihsino, “juga akan terasa munafik dengan sempat merebaknya sentimen anti pengungsi Rohingya di Indonesia beberapa waktu terakhir ini.”
“Di satu sisi menyuarakan seruan membela Palestina, tapi kemudian melakukan tindak kekerasan kepada pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Lalu, tanpa meratifikasi Konvensi Genosida, apakah Indonesia berperan lebih dalam mendukung Palestina?
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, implikasi dari tidak diratifikasinya Konvensi Genosida-dan Statuta Roma-adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.
“Konvensi Genosida yang ada hingga saat ini, cenderung memojokkan negara berkembang saja. Tidak mampu menyebut genosida di masa lalu, yang telah dilakukan oleh negara-negara berkebudayaan Eropa, atas wilayah jajahan mereka di Asia, Afrika, dan Latin Amerika,” ujar Rezasyah kepada BBC Indonesia.
Menurut dia, Indonesia masih bisa melakukan langkah-langkah konkret lainnya seperti mendukung saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memboikot produk yang berhubungan dengan Israel di dalam negeri dan juga menggalang solidaritas Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB) di seluruh dunia dalam mendukung Palestina.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani mengatakan, lembaga peradilan internasional kerap tidak efektif dalam menegakkan putusan yang telah dibuat karena "tidak ada penegak hukum yang dapat memaksakan putusan".
"Dalam masyarakat internasional, yang berlaku adalah hukum rimba yaitu siapa yang kuat dia yang menang. Might is Right," ujarnya.
Walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Genosida, Hikmahanto mengatakan, Indonesia tetap bisa memanfaatkan resolusi Majelis Umum PBB yang meminta advisory opinion (saran dan pendapat) dari Mahkamah Internasional (ICJ).
Juru bicara Kemenlu Indonesia Lalu Muhammad Iqbal sebelumnya mengatakan, Menlu Retno Marsudi telah dijadwalkan menyampaikan pendapat lisan di depan Mahkamah Internasional terkait hal ini.
ICJ diperkirakan akan mengeluarkan keputusan mengenai permintaan Afrika Selatan untuk penghentian serangan bersenjata sebagai langkah-langkah darurat akhir bulan ini.
Menurut AFP, dalam konteks permohonan darurat ini, pengadilan tidak akan memutuskan bagian fundamental dari gugatan-apakah Israel benar-benar melakukan genosida-tetapi apakah hak warga Gaza untuk hidup berada dalam bahaya.
Adapun mengenai tuduhan genosida, proses persidangan bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Putusan-putusan ICJ adalah final dan tanpa banding, tetapi pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan putusan-putusan mereka.
Pada 2022, ICJ memerintahkan Rusia “segera menghentikan operasi militer” di Ukraina tetapi Moskwa mengindahkannya.
Pascakebijakan apartheid, Afrika Selatan telah lama mengadvokasi Palestina.
Hubungan antara Palestina dan Afrika Selatan terjalin ketika perjuangan Kongres Nasional Afrika menentang kepemimpinan orang kulit putih di negara mereka mendapat dukungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin mendiang Yasser Arafat.
Kebijakan apartheid di Afrika Selatan pada masa silam dilaksanakan oleh pemerintahan yang memiliki hubungan kerja sama dengan Israel.
Tokoh anti-apartheid Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa kemerdekaan Afrika Selatan “tidak akan lengkap tanpa kemerdekaan orang-orang Palestina”.
Menteri Kehakiman Afrika Selatan Ronald Lamola dalam persidangan Kamis (11/1/2024) mengatakan, Israel sudah “kelewat batas” dan melanggar Konvensi. Menurut Lamola, bahkan kebrutalan Hamas tidak dapat menjustifikasi apa yang dilakukan Israel.
Pengacara Afrika Selatan Blinne Ni Ghralaigh dalam sidang ICJ hari Kamis (11/1/2024) menyebut keadilan internasional dipertaruhkan dalam hal ini.
Di sisi lain, Israel menjuluki Afrika Selatan sebagai “tangan hukum” Hamas dan gugatan mereka adalah “salah satu pertunjukan kemunafikan terbesar dalam sejarah”.
Baca juga: Usai Sidang Genosida Israel, 47 Pengacara Afrika Selatan Akan Tuntut AS dan Inggris
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.