Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang menormalkan hubungan dengan Israel melalui Perjanjian Abraham, pada awalnya mengutuk serangan Hamas.
Namun, pekan lalu Bahrain menarik duta besarnya dari Israel, lalu duta besar Israel di Manama meninggalkan negara tersebut.
Baca juga: 18 Organisasi di Bawah Naungan PBB Desak Gencatan Senjata di Gaza
Yordania juga menarik pulang duta besarnya di Israel, dan menuduhnya telah menciptakan "bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya".
Arab Saudi -yang telah berdialog selama berbulan-bulan dengan Israel mengenai kemungkinan kesepakatan normalisasi, di luar dari Perjanjian Abraham- menyerukan agar kekerasan segera diakhiri. Mereka tidak secara eksplisit mengecam Hamas.
Pada tanggal 26 Oktober, para menteri luar negeri dari Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Oman, Qatar, Kuwait, Mesir, dan Maroko mengutuk "penargetan warga sipil dan pelanggaran hukum internasional di Gaza".
Pernyataan bersama mereka mengatakan bahwa hak untuk membela diri tidak membenarkan pelanggaran hukum dan pengabaian hak-hak warga Palestina.
Pekan lalu, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan Israel, dan menghentikan ekspor minyak dan makanan ke Israel.
Khamenei dan Presiden Iran, Ebrahim Raisi sama-sama mengucapkan selamat kepada Hamas setelah serangan mereka terhadap Israel Mereka juga memuji para militan atas "keberanian, kegigihan, keberanian, perlawanan, dan inisiatif mereka". Iran membantah terlibat dalam serangan tersebut.
Presiden Turkiye, Recep Tayyip Erdogan, yang pada awalnya mencoba untuk menjadi penengah dalam perang ini, makin mengeraskan suaranya setelah ledakan di rumah sakit Al-Ahli Arab pada tanggal 17 Oktober.
Baca juga: Israel Beri Waktu 4 Jam Warga Gaza Utara untuk Pergi ke Selatan
Ada beberapa dugaan saling tuduh mengenai penyebab ledakan dahsyat tersebut yang menyebabkan setidaknya 500 orang tewas - menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Jalur Gaza.
Dalam sebuah rapat umum pro-Palestina di Istanbul pada 28 Oktober, Erdogan mengatakan bahwa Turkiye sedang mempersiapkan pernyataan Israel sebagai "penjahat perang".
Tidak seperti kebanyakan sekutu NATO dan Uni Eropa, Turkiye tidak menganggap Hamas sebagai organisasi teroris dan mendukung para anggotanya.
Presiden Erdogan baru-baru ini menyebut Hamas sebagai "kelompok pembebasan yang berjuang untuk melindungi tanah Palestina".
Turkiye memberikan suara mendukung resolusi PBB pada tanggal 27 Oktober.
Satu-satunya negara Timur Tengah yang abstain adalah Irak.
Tidak ada negara di Timur Tengah yang memberikan suara menentang resolusi tersebut, kecuali Israel.
Pemimpin Rusia, Vladimir Putin, belum buka mulut selama beberapa hari pertama setelah serangan Hamas ke Israel. Komentar awalnya justru menyindir Amerika Serikat, dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi menunjukkan "kegagalan kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah".
Seminggu setelah konflik tersebut, Putin menyatakan bahwa "Israel telah menjadi sasaran serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh militan Hamas", tetapi mereka membalas dengan metode yang kejam.
Baca juga: Benarkah Rusia Diuntungkan dari Perang Israel-Hamas?
Kremlin tidak menyampaikan belasungkawa kepada Israel atau mengutuk Hamas -bahkan Rusia menjadi tuan rumah bagi delegasi Hamas di Moskwa pada 26 Oktober lalu untuk mendiskusikan pembebasan para sandera, termasuk warga negara Rusia.
Rusia, bersama dengan China, memveto rancangan resolusi yang disponsori oleh AS di Dewan Keamanan PBB, sementara resolusi kedua yang didukung Rusia gagal mendapatkan suara yang cukup.
Rusia memberikan suara mendukung resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan pada tanggal 27 Oktober.
Hampir semua negara di Asia mendukung gencatan senjata di Sidang Umum PBB, termasuk Indonesia.
"Posisi Indonesia sangat jelas dan tegas, mengutuk keras serangan acak terhadap masyarakat sipil dan fasilitas sipil di Gaza," tegas Presiden Jokowi dalam pernyataan resminya, Senin (30/10/2023).
China, yang mencoba memposisikan diri sebagai mediator perdamaian di Timur Tengah, meminta "pihak-pihak terkait untuk tetap tenang, menahan diri, dan segera mengakhiri permusuhan demi melindungi warga sipil" dalam sebuah pernyataan awal setelah serangan Hamas.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan, "jalan keluar dari konflik ini terletak pada penerapan solusi dua negara dan pendirian sebuah negara Palestina yang merdeka."
Seminggu setelah konflik, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi mengatakan bahwa tindakan Israel di Gaza telah "melampaui batas-batas pembelaan diri" dan pemerintah Israel harus "menghentikan hukuman kolektifnya terhadap rakyat Gaza".
Baca juga: Hamas Sebut Israel Intens Serang RS di Gaza Lebih dari 1 Jam
India merupakan salah satu negara yang abstain dalam pemungutan suara pada resolusi PBB. Sikap ini dikritik partai-partai oposisi sebagai sesuatu yang "mengherankan".