Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara yang Dukung dan Kecam Serangan Israel ke Gaza

Kompas.com - 07/11/2023, 10:05 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

JALUR GAZA, KOMPAS.com - Serangan Israel ke Gaza telah memecah belah suara negara-negara dunia seiring dengan meningkatnya korban jiwa dan memburuknya kondisi kemanusiaan di sana.

Banyak negara yang awalnya mendukung Israel setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, kemudian berbalik setelah Israel melancarkan gempuran udara besar-besaran dan serangan darat di Gaza untuk memerangi Hamas.

Di sisi lain, sejumlah negara nampaknya sudah memantapkan posisi mereka walau pertikaian terus memakan korban sipil.

Baca juga: PM Israel Sebut Negaranya Akan Ambil Alih Tanggung Jawab Keamanan Gaza Setelah Perang

Saat ini kedua kubu tengah berdebat mengenai gencatan senjata.

Pada 27 Oktober, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan "gencatan senjata untuk kemanusian segera, bertahan lama, dan berkelanjutan" antara pasukan Israel dan milisi Hamas.

Resolusi tidak mengikat yang diajukan oleh Yordania telah disepakati dengan rincian 120 suara setuju, 14 menentang, dan 45 abstain.

Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, menyebut resolusi PBB itu "tercela".

Adapun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak seruan gencatan senjata, dengan alasan bahwa menghentikan operasi saat ini berarti "menyerah" kepada Hamas.

Sejak saat itu, beberapa negara telah meningkatkan kritik mereka terhadap Israel. Beberapa negara lainnya bahkan telah memanggil pulang duta besar atau memutuskan hubungan diplomatik.

Amerika Serikat, yang memberikan suara menentang resolusi gencatan senjata, telah melunakkan posisinya melalui Presiden Joe Biden yang menyerukan "jeda" dalam pertempuran.

Berikut ini adalah apa yang dikatakan oleh negara-negara di seluruh dunia mengenai perang Hamas-Israel, dan bagaimana mereka memberikan suara di PBB.

Ada negara yang mendukung Israel, ada negara yang mengecam Israel.

Perlu dicatat bahwa ini adalah pandangan pemerintah, yang mungkin berbeda secara signifikan dengan sentimen publik di beberapa negara.

Baca juga: Duduki Patung Liberty, Warga Yahudi New York Tuntut Israel Akhiri Serangan di Gaza

Negara-negara Barat

Banyak pemerintah di negara Barat menyatakan mendukung Israel sejak pertikaian dimulai.

Pernyataan awal Presiden AS Joe Biden setelah serangan Hamas pada 7 Oktober lalu menegaskan bahwa Washington mendukung Israel dan akan memastikan bahwa "Israel akan memiliki apa yang dibutuhkan untuk melindungi warganya".

Namun, dalam sebuah acara kampanye pada tanggal 2 November, Presiden Biden menyerukan jeda dalam pertikaian tersebut setelah seorang pengunjuk rasa yang mendesak gencatan senjata menghadangnya.

Keesokan harinya, Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken melakukan kunjungan kedua ke Tel Aviv untuk mendorong jeda kemanusiaan sekaligus membahas langkah-langkah konkret untuk meminimalisir kerugian bagi warga sipil di Gaza.

Gedung Putih kemudian mengatakan, setiap jeda dalam pertempuran harus bersifat sementara dan terlokalisasi.

Gedung Putih menolak seruan dari negara-negara Arab dan negara-negara lain untuk melakukan gencatan senjata secara menyeluruh dalam perang tersebut.

Perdana Menteri Kanada dan Inggris juga memberi dukungan terhadap "hak Israel mempertahankan diri" dalam reaksi awal terhadap konflik tersebut. Namun, kedua negara tersebut abstain dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB.

Puluhan ribu pengunjuk rasa pro-Palestina berunjuk rasa di pusat kota London dalam beberapa pekan terakhir, menuntut gencatan senjata dalam pertikaian Israel-Hamas.

Baca juga: Korban Tewas di Gaza Capai 10.022 Orang, Cukup Sudah, Hentikan Perang...

Uni Eropa mengutuk "dengan sekeras-kerasnya serangan yang dilakukan oleh Hamas", dan menekankan solidaritas terhadap Israel. Namun berbagai anggota Uni Eropa mengungkapkan perbedaan pendapat mengenai gencatan senjata.

Jerman dan Italia, yang mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri, abstain dalam pemungutan suara di PBB. Negara-negara lain seperti Spanyol dan Perancis memberikan suara setuju.

Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang pada awalnya mengatakan bahwa Perancis "berkomitmen pada hak Israel untuk mempertahankan diri", tapi kemudian sedikit mengubah posisinya, kemungkinan karena meningkatnya jumlah korban sipil.

"Di Gaza, harus dibedakan antara Hamas dan penduduk sipil," tulis Macron di akun media sosial X, yang sebelumnya dikenal dengan nama Twitter.

"Gencatan senjata kemanusiaan diperlukan untuk melindungi mereka yang paling rentan dan memungkinkan tindakan yang lebih tepat sasaran terhadap para teroris."

Timur Tengah

Sebagian besar negara Timur Tengah memberikan suara mendukung resolusi PBB, dan banyak yang mengecam keras operasi militer Israel.

Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang menormalkan hubungan dengan Israel melalui Perjanjian Abraham, pada awalnya mengutuk serangan Hamas.

Namun, pekan lalu Bahrain menarik duta besarnya dari Israel, lalu duta besar Israel di Manama meninggalkan negara tersebut.

Baca juga: 18 Organisasi di Bawah Naungan PBB Desak Gencatan Senjata di Gaza

Yordania juga menarik pulang duta besarnya di Israel, dan menuduhnya telah menciptakan "bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya".

Arab Saudi -yang telah berdialog selama berbulan-bulan dengan Israel mengenai kemungkinan kesepakatan normalisasi, di luar dari Perjanjian Abraham- menyerukan agar kekerasan segera diakhiri. Mereka tidak secara eksplisit mengecam Hamas.

Pada tanggal 26 Oktober, para menteri luar negeri dari Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Oman, Qatar, Kuwait, Mesir, dan Maroko mengutuk "penargetan warga sipil dan pelanggaran hukum internasional di Gaza".

Pernyataan bersama mereka mengatakan bahwa hak untuk membela diri tidak membenarkan pelanggaran hukum dan pengabaian hak-hak warga Palestina.

Pekan lalu, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan Israel, dan menghentikan ekspor minyak dan makanan ke Israel.

Khamenei dan Presiden Iran, Ebrahim Raisi sama-sama mengucapkan selamat kepada Hamas setelah serangan mereka terhadap Israel Mereka juga memuji para militan atas "keberanian, kegigihan, keberanian, perlawanan, dan inisiatif mereka". Iran membantah terlibat dalam serangan tersebut.

Presiden Turkiye, Recep Tayyip Erdogan, yang pada awalnya mencoba untuk menjadi penengah dalam perang ini, makin mengeraskan suaranya setelah ledakan di rumah sakit Al-Ahli Arab pada tanggal 17 Oktober.

Baca juga: Israel Beri Waktu 4 Jam Warga Gaza Utara untuk Pergi ke Selatan

Ada beberapa dugaan saling tuduh mengenai penyebab ledakan dahsyat tersebut yang menyebabkan setidaknya 500 orang tewas - menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Jalur Gaza.

Dalam sebuah rapat umum pro-Palestina di Istanbul pada 28 Oktober, Erdogan mengatakan bahwa Turkiye sedang mempersiapkan pernyataan Israel sebagai "penjahat perang".

Tidak seperti kebanyakan sekutu NATO dan Uni Eropa, Turkiye tidak menganggap Hamas sebagai organisasi teroris dan mendukung para anggotanya.

Presiden Erdogan baru-baru ini menyebut Hamas sebagai "kelompok pembebasan yang berjuang untuk melindungi tanah Palestina".

Turkiye memberikan suara mendukung resolusi PBB pada tanggal 27 Oktober.

Satu-satunya negara Timur Tengah yang abstain adalah Irak.

Tidak ada negara di Timur Tengah yang memberikan suara menentang resolusi tersebut, kecuali Israel.

Rusia

Pemimpin Rusia, Vladimir Putin, belum buka mulut selama beberapa hari pertama setelah serangan Hamas ke Israel. Komentar awalnya justru menyindir Amerika Serikat, dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi menunjukkan "kegagalan kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah".

Seminggu setelah konflik tersebut, Putin menyatakan bahwa "Israel telah menjadi sasaran serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh militan Hamas", tetapi mereka membalas dengan metode yang kejam.

Baca juga: Benarkah Rusia Diuntungkan dari Perang Israel-Hamas?

Kremlin tidak menyampaikan belasungkawa kepada Israel atau mengutuk Hamas -bahkan Rusia menjadi tuan rumah bagi delegasi Hamas di Moskwa pada 26 Oktober lalu untuk mendiskusikan pembebasan para sandera, termasuk warga negara Rusia.

Rusia, bersama dengan China, memveto rancangan resolusi yang disponsori oleh AS di Dewan Keamanan PBB, sementara resolusi kedua yang didukung Rusia gagal mendapatkan suara yang cukup.

Rusia memberikan suara mendukung resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan pada tanggal 27 Oktober.

Asia

Hampir semua negara di Asia mendukung gencatan senjata di Sidang Umum PBB, termasuk Indonesia.

"Posisi Indonesia sangat jelas dan tegas, mengutuk keras serangan acak terhadap masyarakat sipil dan fasilitas sipil di Gaza," tegas Presiden Jokowi dalam pernyataan resminya, Senin (30/10/2023).

China, yang mencoba memposisikan diri sebagai mediator perdamaian di Timur Tengah, meminta "pihak-pihak terkait untuk tetap tenang, menahan diri, dan segera mengakhiri permusuhan demi melindungi warga sipil" dalam sebuah pernyataan awal setelah serangan Hamas.

Kementerian Luar Negeri China mengatakan, "jalan keluar dari konflik ini terletak pada penerapan solusi dua negara dan pendirian sebuah negara Palestina yang merdeka."

Seminggu setelah konflik, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi mengatakan bahwa tindakan Israel di Gaza telah "melampaui batas-batas pembelaan diri" dan pemerintah Israel harus "menghentikan hukuman kolektifnya terhadap rakyat Gaza".

Baca juga: Hamas Sebut Israel Intens Serang RS di Gaza Lebih dari 1 Jam

India merupakan salah satu negara yang abstain dalam pemungutan suara pada resolusi PBB. Sikap ini dikritik partai-partai oposisi sebagai sesuatu yang "mengherankan".

Pada tahun-tahun awal kemerdekaannya, India memiliki hubungan yang erat dengan Palestina dan kebijakan resminya adalah mendukung solusi dua negara.

Namun sejak pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri, Narendra Modi berkuasa, India semakin memperkuat hubungan dengan Israel.

Dalam pernyataan awalnya setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober, Modi mengatakan: "Rakyat India berdiri teguh bersama Israel di saat yang sulit ini. India dengan kuat dan tegas mengutuk terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya."

Pakistan, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, pada awalnya mengambil sikap yang hati-hati, ketika Presiden Arif Alvi menyerukan "pengendalian maksimum untuk mencegah pertumpahan darah lebih lanjut, dan hilangnya nyawa manusia".

"Situasi ini membutuhkan gencatan senjata segera," ucap dia di X.

Namun, setelah pengeboman kamp pengungsi Jabalia di Gaza pada tanggal 1 November, posisi Pakistan mengeras, dengan Kemenlu Pakistan mengutuk apa yang disebutnya sebagai "serangan biadab Israel".

Afrika

Organisasi negara-negara Afrika, yang berisi 55 anggota mengeluarkan pernyataan pada 7 Oktober untuk mendukung Palestina.

"Penyangkalan terhadap hak-hak dasar rakyat Palestina, khususnya hak untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, merupakan penyebab utama ketegangan permanen Israel-Palestina," demikian pernyataan tersebut.

Baca juga: Angka Putus Sekolah Anak Perempuan Afrika Meningkat

Perdana Menteri Somalia, Hamza Abdi Barre mengatakan, pemerintahnya tidak menganggap Hamas sebagai organisasi teroris, dan siap untuk memberikan dukungan penuh kepada organisasi tersebut.

Lalu, Tunisia. Awalnya negara ini menyatakan solidaritas "penuh dan tanpa syarat" dengan rakyat Palestina, tapi kemudian Tunisia dalam pemungutan suara di PBB.

Hal ini terjadi meskipun Presiden Tunisia Kais Saied mengutuk "kebungkaman internasional" atas "genosida" yang menurutnya dilakukan oleh Israel.

Parlemen Tunisia saat ini sedang memperdebatkan rancangan undang-undang yang akan mengkriminalisasi pengakuan terhadap Israel, dan pembentukan hubungan langsung atau tidak langsung dengan negara tersebut.

Negara-negara Afrika lainnya yang abstain adalah Kamerun, Ethiopia, Sudan Selatan dan Zambia.

Tidak ada negara Afrika yang menolak resolusi yang diadopsi di Majelis Umum PBB pada 27 Oktober lalu.

Amerika Latin

Sebagian besar negara di Amerika Latin memberikan suara untuk mendukung resolusi PBB tersebut.

Bolivia menjadi negara pertama di Amerika Latin yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sejak serangan ke Gaza dimulai.

Pemerintah Bolivia menyebut serangan Israel di Gaza sebagai "agresif dan tidak proporsional".

Israel menanggapi dengan mengecam langkah Bolivia sebagai "menyerah terhadap terorisme".

Dua negara Amerika Latin lainnya, Kolombia dan Cile, telah menarik pulang duta besar mereka karena krisis kemanusiaan yang meningkat di Gaza.

Cile, yang memiliki populasi Palestina terbesar di luar dunia Arab, mengatakan bahwa mereka mengambil tindakan ini sebagai bentuk protes atas "pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang tidak dapat diterima oleh Israel".

Baca juga: Bolivia Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel karena Gaza

Kolombia telah mengkritik keras serangan Israel ke Gaza sejak awal perang.

"Kami tidak mendukung genosida," kata Presiden Gustavo Petro, seraya mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

Sementara itu, Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silv,a pada awalnya mengutuk serangan Hamas terhadap warga sipil di Israel dan menyerukan pembebasan semua sandera dengan segera. Tapi dalam pernyataan terbaru ini ia mengkritik keras serangan Israel di Gaza.

Pada tanggal 25 Oktober, Lula da Silva mengatakan, "Apa yang sedang terjadi bukanlah perang. Ini adalah sebuah genosida yang menyebabkan terbunuhnya hampir 2.000 anak-anak yang tidak ada hubungannya dengan perang. Mereka adalah korban dari perang".

Hanya dua negara yaitu Paraguay dan Guatemala dari kawasan Amerika Selatan dan Tengah yang memberikan suara menentang resolusi PBB.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Terkini Lainnya

Israel Masih Gempur Rafah hingga Khan Younis, Korban Terus Berjatuhan

Israel Masih Gempur Rafah hingga Khan Younis, Korban Terus Berjatuhan

Global
Kisah Kakak Beradik di Vietnam Nikahi 1 Perempuan, Tinggal Bersama dan Punya 10 Anak

Kisah Kakak Beradik di Vietnam Nikahi 1 Perempuan, Tinggal Bersama dan Punya 10 Anak

Global
Rangkuman Hari Ke-830 Serangan Rusia ke Ukraina: Belgorod dan Kursk Diserang | Pemakaman Relawan Medis

Rangkuman Hari Ke-830 Serangan Rusia ke Ukraina: Belgorod dan Kursk Diserang | Pemakaman Relawan Medis

Global
Ukraina Serang Belgorod dan Kursk, 2 Wilayah di Perbatasan Rusia

Ukraina Serang Belgorod dan Kursk, 2 Wilayah di Perbatasan Rusia

Global
4 Tantangan Besar Ini Menanti Presiden Baru Meksiko

4 Tantangan Besar Ini Menanti Presiden Baru Meksiko

Global
Tak Bisa Temukan Susu, Ibu di Gaza Terpaksa Beri Tepung ke Sang Buah Hati...

Tak Bisa Temukan Susu, Ibu di Gaza Terpaksa Beri Tepung ke Sang Buah Hati...

Global
Apa Dampak Ukraina Diizinkan Pakai Senjata Barat untuk Serang Wilayah Rusia?

Apa Dampak Ukraina Diizinkan Pakai Senjata Barat untuk Serang Wilayah Rusia?

Internasional
3 Orang Berpelukan Sebelum Tersapu Banjir Bandang di Italia, 2 Ditemukan Tewas

3 Orang Berpelukan Sebelum Tersapu Banjir Bandang di Italia, 2 Ditemukan Tewas

Global
Perang Ukraina Jadi Peluang Besar bagi AS untuk Rekrut Mata-mata Rusia

Perang Ukraina Jadi Peluang Besar bagi AS untuk Rekrut Mata-mata Rusia

Internasional
Presiden Ukraina Bertemu Menhan AS Saat Hadiri Forum Keamanan di Singapura

Presiden Ukraina Bertemu Menhan AS Saat Hadiri Forum Keamanan di Singapura

Global
Ajudan Netanyahu Bocorkan Sikap Israel soal Usulan Gencatan Senjata Baru yang Diumumkan Biden 

Ajudan Netanyahu Bocorkan Sikap Israel soal Usulan Gencatan Senjata Baru yang Diumumkan Biden 

Global
Claudia Sheinbaum Terpilih Jadi Presiden Perempuan Pertama Meksiko

Claudia Sheinbaum Terpilih Jadi Presiden Perempuan Pertama Meksiko

Global
Dulu Hendak Larang TikTok di AS, Kini Trump Bikin Akun

Dulu Hendak Larang TikTok di AS, Kini Trump Bikin Akun

Global
Perang Elektronik Rusia-Ukraina Simbol Persenjataan Masa Kini

Perang Elektronik Rusia-Ukraina Simbol Persenjataan Masa Kini

Global
25.000 Kasus Serangan Panas Terjadi pada Maret-Mei di India

25.000 Kasus Serangan Panas Terjadi pada Maret-Mei di India

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com