SEBAGAI sebuah identitas, Melanesia tampaknya belum diperkenalkan secara jelas dan gamblang di bangku-bangku sekolah di Indonesia. Hanya kerap diidentifikasi sebagai orang-orang Indonesia Timur.
Makanya kata Melanesia masih asing bagi telinga sebagian orang Indonesia.
Meski secara fisik ada tampilan yang sejatinya memberikan petunjuk terhadap ras yang berdiam di pulau-pulau yang membentang dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua, yang kemudian disebut Melanesia.
Pengelompokan Melanesia sebagai wilayah yang berbeda dengan wilayah lain awalnya datang dari penjelajah Eropa ketika melakukan ekspedisi menjelajahi Pasifik.
Secara umum, ras Melanesia berkulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat, serta memiliki profil tubuh atletis.
Pada 1756, Charles de Brosses berteori ada orang-orang ras kulit hitam yang mendiami wilayah Pasifik, kemudian 1825 Jean Baptiste Bory de Saint-Vincent dan Jules Dumont d’Urville menyebut ras itu sebagai Melanesia, merujuk pada sekumpulan ras yang berbeda dari ras penghuni wilayah sekitarnya seperti ras Australian dan Neptunian.
Selanjutnya Robert Codrington pada abad-19 dalam sejumlah karyanya, seperti The Melanesian Languages (1885) dan The Melanesians: Studies in Their Anthropology and Folk-lore (1891), mendefinisikan Melanesia itu termasuk wilayah Vanuatu, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru dan Fiji.
Sedangkan Nugini dan pulau-pulau yang ada di timur Indonesia baru dimasukan ke ras Melanesia oleh para peneliti antropologi dalam studi-studi berikutnya.
Seiring dengan waktu, orang Eropa melihat Melanesia sebagai kelompok masyarakat yang berbeda budaya, bukan lagi sekadar berbeda ras dan daerah.
Codrington, bahkan menghasilkan serangkaian monograf pada orang Melanesia berdasarkan lama waktu mereka tinggal di wilayah tersebut.
Prof. Harry Truman Simanjuntak, Arkeolog senior dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, penulis Buku “Diaspora Melanesia di Nusantara”, menyebutkan bahwa sejak ribuan tahun lalu sudah ada interaksi di antara ras Melanesia, melihat peninggalan atau bukti-bukti arkeologi di Papua Nugini menyebar hingga Maluku, Maluku Utara, dan wilayah di sekitar itu.
Menurut Simanjuntak, perkembangan ras Melanesia di Papua sudah ditemukan buktinya sejak 45.000 tahun lalu, sementara di Indonesia secara umum bukti peninggalan sejarahnya pun sudah ditemukan sejak 45.000-50.000 tahun lalu. Australia lebih lama lagi, sudah ada sejak 50.000-60.000 tahun lalu.
Saat ini, secara populasi, ras Melanesia lebih banyak bermukim di wilayah Indonesia. Merujuk pada data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI tahun 2015, jumlah ras Melanesia di Indonesia bisa mencapai 13 juta jiwa.
Di negara yang mayoritas populasinya tergolong ras Mongoloid yang tersebar Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat ini, ras Melanesia-nya tersebar di tanah Papua, kepulauan Maluku dan pulau-pulau Nusa Tenggara Timur.
Adapun jumlah penduduk Melanesia di negara lainnya, bila digabungkan ada sekira 9 juta jiwa yang tersebar di Negara Papua Nugini, Timor Leste, Vanuatu, Kaledonia Baru, Kepulauan Solomon, hingga Fiji.
Sekadar menjadi catatan, sejauh ini masih ada perdebatan apakah kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur masuk dalam rumpun Melanesia atau tidak. Namun secara geografis, mereka lebih dekat ke wilayah Melanesia daripada wilayah Indonesia barat.
Faktanya, sejumlah pulau di Maluku dan Nusa Tenggara Timur penduduknya memiliki ciri-ciri budaya dan fisik yang terlihat lebih mirip dengan Melanesia daripada penduduk di bagian lain Indonesia.
Apalagi akulturasi atau percampuran budaya selama ratusan tahun telah ikut melahirkan gradasi tersendiri pada beberapa rumpun Melanesia.
Namun demikian, sejumlah upaya atau forum untuk lebih memperkenalkan dan mengangkat budaya dan identitas Melanesia telah atau terus dilakukan.
Misalnya pada 26 - 30 Oktober 2015, diadakanlah Melanesian Culture Festival atau Festival Budaya Melanesia untuk pertama kalinya, dan Indonesia didapuk sebagai penyelenggara.
Sesuatu yang merupakan manifestasi dari mulai terbangunnya kesadaran untuk meninggikan Melanesia, populasi minoritas yang seakan tenggelam.
Indonesia saat itu dipilih sebagai tuan rumah dengan pertimbangan lebih dari 50 persen populasi Melanesia dunia bermukim atau tinggal di wilayah Indonesia. Sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI, Kacung Marijan, dikutip dari Antara jelang pelaksanaan festival itu.
Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur kemudian menjadi tempat pelaksanaan festival yang dihadiri para pemangku kepentingan bidang kebudayaan dan seniman dari Indonesia, Fiji, Papua Nugini, Pulau Solomon, Timor Leste, Vanuatu dan Kaledonia Baru, serta sejumlah perwakilan dari Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi yang berpusat di Vanuatu.
Festival yang bersejarah itu menyuguhkan berbagai kebudayaan dari masing-masing wilayah berpenduduk ras Melanesia, terutama dari kawasan timur Indonesia.
Beragam tarian ditampilkan, seperti tarian suku Mollo di Timor Tengah Selatan, serta tarian dari Papua dan kepulauan Maluku. Selain itu ada pemutaran film bertema Melanesia.
Kepentingan tuan rumah atas digelarnya festival itu memang sulit ditepis. Antara lain ditengarai sebagai salah satu upaya untuk melunakkan dukungan negara di Pasifik terhadap isu Papua. Sesuatu yang dapat dimaklumi mengingat festival itu turut difasilitasi pemerintah Indonesia.
Selain festival Melanesia yang diinisai dan diadakan di Indonesia, sebetulnya juga ada Melanesian Arts and Culture Festival (MACFEST). Festival tersebut pertama kali diadakan di Kepulauan Solomon tahun 1998 dengan tema, “Satu orang, banyak budaya”.
Berikutnya pada 2002, Vanuatu menjadi tuan rumah acara MACFEST kedua dengan tema, “Melestarikan perdamaian melalui berbagi pertukaran budaya”.
Selanjutnya pada 2006, MACFEST ketiga diselenggarakan di Fiji dengan tema, “Budaya yang hidup, tradisi yang hidup”.
Kegiatan MACFEST keempat diadakan di Kaledonia Baru pada 2010 dengan tema “Identitas kita ada di depan kita”. Kemudian pada 2014, Papua Nugini menjadi tuan rumah MACFEST kelima, dengan tema “Merayakan keragaman budaya”.
Adapun MACFEST edisi keenam kembali diadakan di Kepulauan Solomon pada 2018 dengan tema “Kenangan masa lalu, koneksi masa depan”. Sementara edisi ketujuh pada 2023 ini adalah Vanuatu dengan slogan “Membangun kembali Melanesia kita untuk masa depan kita”.
Terlepas dari itu, upaya yang ada sejatinya telah menjadi embrio bagi lahirnya kesadaran komunitas Melanesia global untuk terus membangun komunikasi dan konsolidasi.
Antara lain guna menjalin kerjasama lebih strategis dalam berbagai bidang, seperti; pendidikan, kebudayaan, sosial dan ekonomi.
Semua itu tentu saja menjadi penting dan strategis, apalagi bila kedepan bisa diadakan dengan partisipasi yang lebih besar dan signifikan, oleh semua segmen Melanesian. Karena harus diakui, terkait konsolidasi, komunitas Melanesia global sejauh ini belum signifikan, sementara baru pada tataran kerjasama antar pemerintah, atau sebatas pada organisasi MSG.
Seperti pada 23-24 Agustus 2023 ini, diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) MSG ke-22 di Port Vila, ibu kota Vanuatu, yang sempat diwarnai satu peristiwa diplomatik ketika delegasi atau perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia melakukan walk out, tinggalkan arena berlangsungnya konferensi.
Aksi walk out saat sidang KTT MSG itu sebagai bentuk protes akibat salah satu pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) diberikan kesempatan untuk berpidato mewakili West Papua.
Peristiwa tersebut menyiratkan atau memberikan pesan kuat bahwa persoalan atau tarik-menarik kepentingan politik di kawasan masih menjadi sandungan bagi terbangunnya konsolidasi Melanesia yang lebih kuat, masif dan berkelanjutan.
Kedepan tentu perlu ada langkah dan upaya konsolidasi yang lebih kuat dan semakin maju, terutama yang terbangun atas inisiatif dari kalangan masyarakat sipil.
Komunitas orang Melanesia harus saling membuka diri dan pikiran, guna membangun sinergi dan kolaborasi yang lebih nyata dan terukur.
Forum-forum secara rutin dan reguler perlu terus diadakan, baik dalam konteks kultural, maupun berbagai bidang yang lebih substantif, sembari terus memperkuat kerjasama government to government, business to business.
Lebih penting lagi adalah people to people, sehingga melahirkan gagasan dan program yang relevan bagi kawasan serta masa depan generasi Melanesia.
Tentu saja dan lebih khusus bagi Melanesia di Indonesia dalam mengakselerasi pembangunan dan kemajuannya, keluar dari berbagai ketertinggalan selama ini, seperti yang saya tulis sebelumnya di kolom ini “Ketertinggalan Timur Indonesia: Menagih Tanggung Jawab Negara” (09/10/2023).
Kesadaran akan identitas bersama selain dapat mengakomodasi tujuan-tujuan strategis kolektif terutama dalam konteks kebudayaan, pun secara politik akan mendorong dan mendesak adanya keseimbangan dalam pembangunan dan distribusi keadilan, terutama terhadap lebih dari 50 persen Melanesian global yang ada atau tinggal di kawasan timur Indonesia.
Meninggikan atau meningkatnya kesadaran kolektif terhadap identitas bersama bukan untuk kemudian melahirkan segregasi dan polarisasi, tapi justru sebaliknya untuk memperkuat komitmen kebangsaan pada satu sisi dan meningkatkan penghargaan terhadap identitas kultural bangsa di sisi lain.
Semua menjadi penting untuk terus dilakukan atau diupayakan bagi masa depan yang lebih baik, dan dalam merawat serta menjaga integrasi nasional sebuah bangsa besar yang multikultural seperti Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.