Bagi pihak Amerika Serikat dan Barat, membatasi pasar migas Rusia tidak dalam makna yang ketat. Amerika tetap memberi batas "price cap" untuk migas Rusia, agar tidak memengaruhi harga minyak dunia terlalu besar.
Karena jika migas Rusia terlalu dibatasi, maka suplai migas akan terganggu yang berisiko membuat harga migas terbang tinggi.
Jadi dalam batas tertentu, Amerika masih menoleransi Jepang mengimpor migas dari Rusia, misalnya, untuk menjaga "price cap" komoditas migas global.
Pendeknya, hari ini meskipun kedua belah pihak sama-sama mengalami tantangan yang cukup berat, kelonggaran-kelonggaran masih ada. Sehingga, posisi yang sering disebut oleh para diplomat sebagai "hurting stalemate" belum benar-benar terbentuk.
Rusia masih bisa bernafas, Ukraina dan Amerika Serikat pun demikian. Dengan kata lain, kedua belah pihak masih akan bertahan dengan "aspirasi" geopolitiknya masing-masing. Walhasil, jalan menuju gencatan senjata, sebagaimana saran Prabowo, masih "out of context".
Meminjam istilah Winston Churchil, "Courage is what it takes to stand up and speak; courage is also what it takes to sit down and listen".
Jadi kedua belah pihak masih berada pada fase pertama, yakni keberanian untuk "stand up dan speak", tapi belum masuk pada fase keberanian untuk "sit down and listen".
Karena itu, proposal perdamaian Prabowo masih jauh dari kontekstual. Sangat ideal dan wishfull thinking, karena berangkat dari ruang hampa dan tidak terikat pada konteks yang ada, baik konteks geopolitik, geoekonomi, dan situasi lapangan yang ada.
Tentu sangat bisa dipahami konteks pernyataan Prabowo tersebut, terutama jika dikaitkan dengan posisi beliau sebagai calon presiden untuk pemilihan mendatang.
Proposal tersebut, terlepas "achievable" atau tidak, akan ikut memperbaiki profil internasional beliau di pentas dunia. Atau setidaknya karena wacana itu beliau akan dibicarakan di ruang publik nasional dan internasional.
Namun demikian, proposal semacam itu harus tetap kita benturkan dengan fakta dan kenyataan yang ada.
Kelembagaan internasional sekelas PBB pun belum menghasilkan apa-apa terkait konflik bersenjata Rusia-Ukraina.
Para pemimpin dunia sekelas Xi Jinping, Erdogan, Macron, termasuk Jokowi, pernah mengajukan hal serupa, tapi tidak bertemu dengan konteks yang ada.
Negosiasi bisa digapai jika di Rusia atau di Amerika Serikat terjadi pergantian kepemimpinan secara radikal. Misalnya, Donald Trump terpilih lagi atau Putin disingkirkan.
Seperti janjinya, Trump akan berhenti mendukung Ukraina jika memenangkan pemilihan Presiden tahun depan di Amerika.
Atau, salah satu pihak mengalami "sesak nafas", baik secara ekonomi maupun secara geopolitik, semacam "hurting stalemate".
Misalnya, krisis ekonomi akut di Rusia, atau sebaliknya di Eropa dan Amerika, yang membuat mereka tak mampu lagi memberikan bantuan kepada Ukraina.
Jika ini terjadi, salah satu pihak akan bersedia berembuk di meja perundingan. Namun, jika kondisi ini belum terbentuk, rasanya akan sulit untuk membangun kesepahaman yang akan membawa kedua belah pihak ke meja perundingan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.