Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Idealitas Proposal Prabowo untuk Perdamaian Rusia-Ukraina

Namun jika ditelisik lebih mendalam, sebenarnya yang ditawarkan Prabowo bukanlah paket komplit perdamaian yang biasanya mencakup insentif dan aturan main, tapi hanya berupa langkah umum tercapainya perdamaian dalam konflik bersenjata.

Lima langkah tersebut adalah gencatan senjata, keharusan pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 kilometer, membentuk zona demiliterisasi yang diawasi PBB, mengirim pasukan pemantau, dan penyelenggaraan referendum.

Masalahnya, prasyarat untuk menggapai gencatan senjata sama sekali belum terbentuk, sehingga langkah pertama dari lima langkah yang ditawarkan masih jauh dari tercapai.

Jadi Prabowo berangkat dari asumsi kosong dengan menafikan segala perbedaan yang menyebabkan terjadinya peperangan selama ini.

Suatu ketika, Albert Einstein pernah mengatakan bahwa "Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding".

Nah, pada persoalan "understanding" itulah persoalan perang Rusia-Ukraina berperkara. Kedua pihak masih memegang pemahaman yang berbeda atas konflik bersenjata yang terjadi, sehingga jalan menuju gencatan senjata nyaris sulit untuk dicapai.

Ukraina dan Blok Barat memiliki pemahaman yang berbeda dengan Rusia dan beberapa negara yang mendukung Rusia.

Sebagaimana sering kita dengar bahwa negosiasi tidak akan terjadi jika Rusia tidak mundur ke perbatasan sebelum perang dimulai.

Bahkan lantaran Rusia masuk ke teritori Ukraina awal 2022 lalu, aspirasi di Ukraina dan Eropa justru berkembang lebih luas, yakni prasyarat negosiasi hanya jika Rusia kembali ke batas wilayah yang disepakati tahun 1991.

Artinya, akan termasuk Crimea, yang notabene tidak akan pernah dilepas sejengkal pun oleh Putin.

Di sisi lain, bagi Rusia dan kelompok yang di-back up-nya, setelah beberapa wilayah didapat dan dideklarasikan merdeka dari Ukraina, opsi negosiasi berpeluang dibuka. Jelas Barat tidak menerima.

Sementara di sisi lain, opsi kalah tak ada, atau hingga hari ini belum ada, di dalam kamus geopolitik Vladimir Putin. Jika mundur ke perbatasan awal, atau kehilangan Crimea, Putin akan dimaknai kalah dan kemungkinan besar ia bisa tamat secara politik di dalam negerinya.

Penguasa seperti Putin, sampai hari ini, nampaknya masih mampu menoleransi ratusan ribu rakyat, baik sebagai relawan maupun tentara bayaran, tewas di parit-parit peperangan, karena "stok" manusia Rusia jauh lebih banyak di banding Ukraina, setidaknya begitulah menurut data populasi kedua negara.

Menurut dokumen dari Intelijen Amerika belum lama ini, berjudul "Russia/Ukraine - Assessed Combat Sustainability and Attrition", Rusia telah menderita dengan 189.500-223.000 total korban, termasuk 35.500-43.000 tewas dalam peperangan dan 154.000-180.000 yang menderita luka-luka.

Sementara, di pihak Ukraina dilaporkan total 124.500-131.000 manusia telah menjadi korban, termasuk 15.500-17.500 tewas dalam aksi dan 109.000-113.500 terluka dalam konflik yang terjadi. Ini belum termasuk korban sipil, baik tewas maupun luka, yang dikabarkan lebih dari 10.000 korban.

Karena itu, sebagian pakar menyarankan Amerika Serikat dan Ukraina agar menerima tawaran perundingan dengan Rusia alias menerima sebagian daerah Ukraina Selatan dijadikan "tembok besar (Great Wall)" oleh Rusia, ketimbang terus saling bunuh di medan peperangan.

Kedua, semua negara Barat lama-kelamaan akan bermasalah dengan rakyatnya sendiri jika konflik berkepanjangan karena uang pajak yang mereka bayar justru dipakai pemerintah untuk membeli aneka persenjataan demi membantu Ukraina.

Kondisi tersebut, bagaimanapun, cepat atau lambat, akan mendorong kelompok garis keras kanan menjadi semakin kuat di setiap negara Barat.

Di Amerika Serikat, Donald Trump dan para pendukungnya mengutuk keras "cawe-cawe" Joe Biden di Ukraina.

Mereka akan menggunakan kampanye antiperang atas nama menyelamatkan uang pajak rakyat, antiglobalisasi, proteksionisme, sebagai senjata politik untuk naik kembali ke puncak kekuasaan.

Sejarah membuktikan, beberapa presiden Amerika Serikat pernah dilanda tekanan perang seperti yang dialami Biden hari ini.

Harry Truman bahkan mengagalkan niatnya untuk maju kedua kalinya sebagai kandidat presiden karena kecamuk perang Korea. Lyndon Johnson pun sama, yakni karena kecamuk perang Vietnam.

George Herbert Walker Bush atau Bush senior yang merupakan Presiden ke 41 Negara Paman Sam masih ditoleransi karena berhasil mengusir Irak dari Kuwait, tapi karena terlalu mengedepankan isu global, Bill Clinton menggagalkan beliau untuk bertahan di Gedung Putih.

Namun setelah itu, Bill Clinton pun dipertanyakan oleh kelompok Republikan karena membawa NATO ke Kosovo dan Bosnia, yang menjadi awal cerita "NATO Enlargement", sebab utama mengapa Putin hari ini menginvasi Ukraina.

Presiden ke 43 Amerika Serikat Bush Yunior yang bernama lengkap George Walker Bush justru setara dengan Putin akibat menginvasi Irak, karena itu Bush membiarkan Putin menginvasi sebagian wilayah Georgia tahun 2008.

Sampai hari ini, Bush Yunior tidak pernah bersih dari noda "Perang Irak" karena tak mampu membuktikan keberadaan senjata pemusnah massal di Irak dan tidak bisa menghadirkan bukti keterkaitan Saddam Hussein dengan Al Qaeda.

Barack Obama tidak berbeda. Ia bergeming saat Putin menginvasi Crimea dan menjadi sebab perang saudara berkelanjutan di Libya karena memberi lampu kuning pada Hillary Clinton untuk membantu pemberontak antipemimpin Libya, Muammar Khadafi.

Semua ini berjalin kelindan dengan sebab lain yang melahirkan presiden seperti Donald Trump tahun 2016.

Di Perancis, Presiden Emmanuel Macron harus mengambil posisi berlawanan dengan rakyatnya. Macron terpaksa memperpanjang masa pensiun pekerja untuk mendapatkan "ruang" fiskal, karena Perancis harus ikut memberikan bantuan untuk Ukraina.

Kondisi ini membuat posisi partai sayap kanan di Perancis semakin mendapat angin.

Di sisi Rusia pun sebenarnya bukan tanpa beban. Ekonomi Rusia tidak lagi moncer. Tahun ini, Rusia harus mencatatkan defisit pada anggarannya.

Pertumbuhan ekonomi pun meleset jauh dari ekspektasi. Sanksi dari Barat cukup membebani perekonomian masyarakat Rusia dengan berkurangnya suplai barang di pasaran.

Tak lupa, pasar Migas Rusia semakin mengecil, pun dengan harga yang jauh di bawah harga pasar.

Rusia terselamatkan dengan statusnya sebagai negara dengan cadangan Migas nomor wahid di dunia, sehingga berani mengambil langkah "menekan harga jual" demi mempertahankan konsumen Migas utamanya, seperti China dan India.

Posisi Rusia, baik secara geopolitik maupun secara geoekonomi, terkuatkan oleh makin membesarnya gelombang negara-negara yang "kesal" dengan Amerika Serikat dan Blok Barat di tataran global. Sehingga banyak negara memilih untuk tidak memihak.

Di satu sisi, mereka menolak untuk mengutuk Rusia, seperti China, India, negara-negara Timur Tengah, termasuk Indonesia.

Namun di sisi lain berusaha untuk tidak memperlihatkan keberpihakan kepada Amerika Serikat dan Barat secara terbuka, tapi tetap membuka hubungan baik dengan mereka.

China dan India adalah contoh nyata. Ambiguitas yang dimainkan China dan India (termasuk negara-negara anggota BRICS) menjadi faktor utama terselamatkannya pasar Migas Rusia di satu sisi dan wajah geopolitik Rusia di sisi lain.

China dan India menjadi konsumen utama pasar migas Rusia dengan harga jauh di bawah harga pasar, pasca-Rusia menginvasi Ukraina.

Di Indonesia pun sempat beredar wacana Pertamina berencana membeli minyak dari Rusia.

Bagi pihak Amerika Serikat dan Barat, membatasi pasar migas Rusia tidak dalam makna yang ketat. Amerika tetap memberi batas "price cap" untuk migas Rusia, agar tidak memengaruhi harga minyak dunia terlalu besar.

Karena jika migas Rusia terlalu dibatasi, maka suplai migas akan terganggu yang berisiko membuat harga migas terbang tinggi.

Jadi dalam batas tertentu, Amerika masih menoleransi Jepang mengimpor migas dari Rusia, misalnya, untuk menjaga "price cap" komoditas migas global.

Pendeknya, hari ini meskipun kedua belah pihak sama-sama mengalami tantangan yang cukup berat, kelonggaran-kelonggaran masih ada. Sehingga, posisi yang sering disebut oleh para diplomat sebagai "hurting stalemate" belum benar-benar terbentuk.

Rusia masih bisa bernafas, Ukraina dan Amerika Serikat pun demikian. Dengan kata lain, kedua belah pihak masih akan bertahan dengan "aspirasi" geopolitiknya masing-masing. Walhasil, jalan menuju gencatan senjata, sebagaimana saran Prabowo, masih "out of context".

Meminjam istilah Winston Churchil, "Courage is what it takes to stand up and speak; courage is also what it takes to sit down and listen".

Jadi kedua belah pihak masih berada pada fase pertama, yakni keberanian untuk "stand up dan speak", tapi belum masuk pada fase keberanian untuk "sit down and listen".

Karena itu, proposal perdamaian Prabowo masih jauh dari kontekstual. Sangat ideal dan wishfull thinking, karena berangkat dari ruang hampa dan tidak terikat pada konteks yang ada, baik konteks geopolitik, geoekonomi, dan situasi lapangan yang ada.

Tentu sangat bisa dipahami konteks pernyataan Prabowo tersebut, terutama jika dikaitkan dengan posisi beliau sebagai calon presiden untuk pemilihan mendatang.

Proposal tersebut, terlepas "achievable" atau tidak, akan ikut memperbaiki profil internasional beliau di pentas dunia. Atau setidaknya karena wacana itu beliau akan dibicarakan di ruang publik nasional dan internasional.

Namun demikian, proposal semacam itu harus tetap kita benturkan dengan fakta dan kenyataan yang ada.

Kelembagaan internasional sekelas PBB pun belum menghasilkan apa-apa terkait konflik bersenjata Rusia-Ukraina.

Para pemimpin dunia sekelas Xi Jinping, Erdogan, Macron, termasuk Jokowi, pernah mengajukan hal serupa, tapi tidak bertemu dengan konteks yang ada.

Negosiasi bisa digapai jika di Rusia atau di Amerika Serikat terjadi pergantian kepemimpinan secara radikal. Misalnya, Donald Trump terpilih lagi atau Putin disingkirkan.

Seperti janjinya, Trump akan berhenti mendukung Ukraina jika memenangkan pemilihan Presiden tahun depan di Amerika.

Atau, salah satu pihak mengalami "sesak nafas", baik secara ekonomi maupun secara geopolitik, semacam "hurting stalemate".

Misalnya, krisis ekonomi akut di Rusia, atau sebaliknya di Eropa dan Amerika, yang membuat mereka tak mampu lagi memberikan bantuan kepada Ukraina.

Jika ini terjadi, salah satu pihak akan bersedia berembuk di meja perundingan. Namun, jika kondisi ini belum terbentuk, rasanya akan sulit untuk membangun kesepahaman yang akan membawa kedua belah pihak ke meja perundingan.

https://www.kompas.com/global/read/2023/06/12/090934870/menyoal-idealitas-proposal-prabowo-untuk-perdamaian-rusia-ukraina

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke