Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyoal Idealitas Proposal Prabowo untuk Perdamaian Rusia-Ukraina

Kompas.com - 12/06/2023, 09:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mereka akan menggunakan kampanye antiperang atas nama menyelamatkan uang pajak rakyat, antiglobalisasi, proteksionisme, sebagai senjata politik untuk naik kembali ke puncak kekuasaan.

Sejarah membuktikan, beberapa presiden Amerika Serikat pernah dilanda tekanan perang seperti yang dialami Biden hari ini.

Harry Truman bahkan mengagalkan niatnya untuk maju kedua kalinya sebagai kandidat presiden karena kecamuk perang Korea. Lyndon Johnson pun sama, yakni karena kecamuk perang Vietnam.

George Herbert Walker Bush atau Bush senior yang merupakan Presiden ke 41 Negara Paman Sam masih ditoleransi karena berhasil mengusir Irak dari Kuwait, tapi karena terlalu mengedepankan isu global, Bill Clinton menggagalkan beliau untuk bertahan di Gedung Putih.

Namun setelah itu, Bill Clinton pun dipertanyakan oleh kelompok Republikan karena membawa NATO ke Kosovo dan Bosnia, yang menjadi awal cerita "NATO Enlargement", sebab utama mengapa Putin hari ini menginvasi Ukraina.

Presiden ke 43 Amerika Serikat Bush Yunior yang bernama lengkap George Walker Bush justru setara dengan Putin akibat menginvasi Irak, karena itu Bush membiarkan Putin menginvasi sebagian wilayah Georgia tahun 2008.

Sampai hari ini, Bush Yunior tidak pernah bersih dari noda "Perang Irak" karena tak mampu membuktikan keberadaan senjata pemusnah massal di Irak dan tidak bisa menghadirkan bukti keterkaitan Saddam Hussein dengan Al Qaeda.

Barack Obama tidak berbeda. Ia bergeming saat Putin menginvasi Crimea dan menjadi sebab perang saudara berkelanjutan di Libya karena memberi lampu kuning pada Hillary Clinton untuk membantu pemberontak antipemimpin Libya, Muammar Khadafi.

Semua ini berjalin kelindan dengan sebab lain yang melahirkan presiden seperti Donald Trump tahun 2016.

Di Perancis, Presiden Emmanuel Macron harus mengambil posisi berlawanan dengan rakyatnya. Macron terpaksa memperpanjang masa pensiun pekerja untuk mendapatkan "ruang" fiskal, karena Perancis harus ikut memberikan bantuan untuk Ukraina.

Kondisi ini membuat posisi partai sayap kanan di Perancis semakin mendapat angin.

Di sisi Rusia pun sebenarnya bukan tanpa beban. Ekonomi Rusia tidak lagi moncer. Tahun ini, Rusia harus mencatatkan defisit pada anggarannya.

Pertumbuhan ekonomi pun meleset jauh dari ekspektasi. Sanksi dari Barat cukup membebani perekonomian masyarakat Rusia dengan berkurangnya suplai barang di pasaran.

Tak lupa, pasar Migas Rusia semakin mengecil, pun dengan harga yang jauh di bawah harga pasar.

Rusia terselamatkan dengan statusnya sebagai negara dengan cadangan Migas nomor wahid di dunia, sehingga berani mengambil langkah "menekan harga jual" demi mempertahankan konsumen Migas utamanya, seperti China dan India.

Posisi Rusia, baik secara geopolitik maupun secara geoekonomi, terkuatkan oleh makin membesarnya gelombang negara-negara yang "kesal" dengan Amerika Serikat dan Blok Barat di tataran global. Sehingga banyak negara memilih untuk tidak memihak.

Di satu sisi, mereka menolak untuk mengutuk Rusia, seperti China, India, negara-negara Timur Tengah, termasuk Indonesia.

Namun di sisi lain berusaha untuk tidak memperlihatkan keberpihakan kepada Amerika Serikat dan Barat secara terbuka, tapi tetap membuka hubungan baik dengan mereka.

China dan India adalah contoh nyata. Ambiguitas yang dimainkan China dan India (termasuk negara-negara anggota BRICS) menjadi faktor utama terselamatkannya pasar Migas Rusia di satu sisi dan wajah geopolitik Rusia di sisi lain.

China dan India menjadi konsumen utama pasar migas Rusia dengan harga jauh di bawah harga pasar, pasca-Rusia menginvasi Ukraina.

Di Indonesia pun sempat beredar wacana Pertamina berencana membeli minyak dari Rusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com