Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lapisan Es Antarktika Timur Mulai Mencair, Sang "Raksasa Tidur" Dikhawatirkan Bangun

Kompas.com - 07/04/2023, 08:01 WIB
BBC News Indonesia,
Danur Lambang Pristiandaru

Tim Redaksi

Tetapi ketika es laut pecah pada 2020 dan robot laut itu muncuk ke permukaan untuk mulai mengirimkan data suhu, ternyata ada yang hanyut hingga sejauh 700 kilometer di sepanjang pantai menuju ujung es Denman.

Di sinilah gletser Denman menabrak rak es Shackleton untuk mencapai laut yang oleh salah satu anggota ekspedisi digambarkan sebagai “air terjun es yang hancur, sehingga menonjol serupa luka putih besar yang ditutupi oleh es”.

Titik hanyutnya pelampung itu dianggap sebagai keberuntungan, karena para ilmuwan sebelumnya hampir tidak memiliki informasi tentang laut di sekitar Denman, selain sejumlah data dari sensor yang diikatkan pada gajah laut pada 2011.

"Itu adalah kejutan besar," kata Laura Herraiz Borreguero, seorang ahli kelautan di Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization di Tasmania.

"Saya sangat bersemangat. Saya pergi dan mengunduh semua data dari pelampung."

Data yang diterbitkan pada akhir tahun lalu itu mengungkapkan lebih banyak hal tentang perjalanan panas menuju titik ini dibandingkan di Totten.

Baca juga: BI: Agenda Perubahan Iklim Dapat Tingkatkan PDB Global 11-14 Persen

Selama empat bulan, pelampung tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar air hangat mengalir ke palung yang dalam di bawah lapisan es Denman. Cukup untuk mencairkan 70,8 miliar ton es per tahun.

Ini juga memberi penjelasan yang masuk akal soal mengapa garis landasan di mana es bertemu dengan dasar laut telah surut lebih dari 5 km dalam dua dekade sebelumnya.

Itu kemungkinan akan terus berlanjut, karena perubahan pola angin di sekitar Antarktika telah membawa air hangat dari laut dalam lebih dekat ke benua.

Yang paling mengkhawatirkan adalah bentuk tanah di bawah gletser Denman.

Peta batuan dasar Antarktika yang lebih rinci pada tahun 2019 menemukan bahwa gletser itu mengalir di atas ngarai sedalam 3,5 km di bawah permukaan laut, yang juga merupakan titik terdalam di Bumi.

Selanjutnya, ngarai ini mencapai pantai, dan tidak seperti Totten, Denman mulai mundur ke dalamnya.

Baca juga: Wapres: Warga Desa Lebih Terdampak Perubahan Iklim ketimbang Kota

Saat gletser mundur ke belakang menuruni lereng, semakin banyak esnya akan terpapar air laut. Para peneliti khawatir alirannya akan dipercepat hingga tidak dapat diubah.

Jika seluruh lapisan es Denman mencair, maka permukaan laut global akan naik 1,5 meter.

Kondisi itu bisa menyebabkan negara-negara di dataran rendah seperti Bangladesh berada di bawah permukaan laut sehingga ratusan juta orang terancam mengungsi.

Seberapa cepat itu bisa terjadi?

Sulit untuk memperkirakannya tanpa mengetahui, misalnya, berapa banyak air hangat yang mengalir di bawah lidah es yang sampai ke garis landasan.

“Sebagian besar ketidakpastian tentang seberapa banyak dan seberapa cepat permukaan laut akan naik berasal dari bagaimana kondisi lapisan es Antarktika Timur di bawah iklim yang menghangat,” kata Borreguero.

Baca juga: Jokowi: Yang Ditakuti Dunia Bukan Lagi Pandemi, tapi Perubahan Iklim yang Sebabkan Bencana Naik

Raksasa tidur

Perlu penelitian lebih lanjut untuk menjawab hal itu, terutama di laut. Palung laut adalah kuncinya, karena memungkinkan air dalam yang hangat di sekitar Antarktika mengalir ke landas kontinen dan mencairkan lapisan es.

Namun hanya sekitar 23 persen dari dasar laut di Antartika Timur yang telah dipetakan.

Pelayaran Geoscience Australia ke Cape Darnley saat ini memetakan petak-petak dasar mengandalkan gema dari pengeras suara multibeam.

Ekspedisi tersebut juga mengambil sampel air dan sedimen untuk melihat perubahan produksi air bawah Antarktika, air dingin dan asin yang tenggelam dan menggerakkan sabuk konveyor samudra besar, yang mengalirkan panas ke tempat lain seperti Eropa.

Air tawar dari gletser yang mencair mungkin mengerem sabuk konveyor itu.

"Kami ingin memahami apakah di masa lalu produksi air dalam melambat saat cuaca sedikit lebih hangat," kata ahli geosains kelautan Alix Post melalui telepon satelit dari kapal pelayaran Geoscience Australia.

Baca juga: Indosat dan GSMA Kembangkan Mitigasi Berbasis Seluler Atasi Perubahan Iklim

Pada 2023-2024, kapal pemecah es Polarstern Jerman akan mengambil sampel air dan sedimen di dekat rak es Amery dan Shackleton, juga lidah es Denman.

Pada 2025, pemecah es Australia Nuyina juga akan pergi ke Denman.

Divisi Antartika Australia juga telah mulai membangun perkembahan di Perbukitan Bunger yang berangin, sehingga para ilmuwan bisa mengebor inti es, mengumpulkan sedimen, dan mendirikan stasiun pemantauan otonom di gletser Denman.

Upaya penelitian seperti ini mencerminkan bahwa telah berkembang kesadaran soal Antarktika Timur yang bisa jadi mulai memengaruhi permukaan laut dan sistem iklim dalam beberapa dekade, kata peneliti Universitas Texas di Austin, Shuai Yan.

Tahun lalu, Yan menemukan sebuah danau pada kedalaman 3,2 kilometer di bawah es yang mungkin menyimpan catatan sedimen pembentukan lapisan es.

“Itu adalah raksasa yang sedang tidur, dan jika kita terus menyusuri jalan yang kita lalui sekarang, saya khawatir dia akan bangun suatu hari nanti,” ujarnya.

Baca juga: Wilayah China dan AS Paling Berisiko Terdampak Perubahan Iklim

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com