Posisi Asia bakal diambil-alih oleh Afrika sebagai zona penduduk paling banyak di Bumi. Penduduk Afrika naik 5 kali lipat sepanjang tahun 1950 hingga 2015, dari sekitar 200 juta jiwa menjadi 1,2 miliar jiwa.
Baca juga: Populasi Global Capai 8 Miliar dan Urgensi Pembangunan Berkelanjutan
Jumlah itu bakal meningkat sekitar 2,5 miliar tahun 2050 dan 4,4 miliar tahun 2100 (EU, 2014). Tentu saja, lonjakan jumlah itu melipat-gandakan konsumsi air, energi dan pangan dunia. Ini pula risiko overpopulasi kini dan ke depan.
Perubahan iklim terutama sangat berisiko pada penduduk miskin di Asia dan Afrika, maka overpopulasi zona Asia dan Afrika meningkatkan dampak risikonya.
Perihal ini, peneliti dan ahli lingkungan mencermati equilibrium alam guna menjaga stabilitas dan kontinuitas perubahan suatu ekosistem.
Maka pengetahuan interaksi biotik dengan atau dalam satu sistem, sangat penting (Monte-Luna et al., 2004). Awal abad 20, ahli ekologi Lotka (1925) dan Pearl et al., (1920), melihat bahwa ukuran populasi pada satu waktu sangat bergantung pada rata-rata pertumbuhan intrinsik, jumlah individu, dan secara historis berkaitan dengan batas tertinggi pertumbuhan.
Variabel-variabel ini adalah faktor utama membaca tren penduduk planet Bumi kini dan ke depan.
Tren selalu berisi mata-rantai perubahan. Kapan dan di mana saja di planet Bumi. Begitu pula tren penduduk planet Bumi. Sejak era pra-Masehi (SM), kita baca pesan zaman: Heraclitus (535 – 475 SM) asal Efesus (Yunani) abad ke-6 SM rilis pesan melalui On Nature (Drozdek, 2016:27): Ta panta rhei kai ouden menei, bahwa di alam semesta, apa saja terus mengalir, berubah, dan tidak ada tersisa tanpa berubah.
Bagi negara, tiap perubahan mesti memiliki dasar dan arah, terukur, tidak bias, dan terkontrol. Karena itu, konsep carrying capacity (daya-sangga) ekosistem memiliki asal-usul dan originalitas dari konsep dan filosofi dasar tentang perubahan.
Konsep ini semula diterapkan pada sektor rekayasa mekanik guna menghitung massa satu muatan yang dapat diangkut oleh kapal uap (Sayre, 2008), khususnya di Eropa Barat abad 19 M.
Selama ini, penerapan carrying capacity di bidang arus barang, jasa, manusia, dan alat transportasi atau angkut antara lain playload atau kapasitas angkut dari alat transportasi sehingga gerak sarana itu terarah dan terukur. Arus perubahan terukur, terarah, dan terkontrol tanpa bias ini pula merupakan fokus strategi tiap negara. Sebab faktor-faktor ini menjamin suatu ketertiban dan stabilitas negara.
Karena itu, populasi dunia menyentuh 8 miliar jiwa, bukan melulu total jumlah penduduk berbanding zona-huni atau level kepadatan (density) per km2. Tetapi, total jumlah penduduk yang dapat hidup secara sustainabel sosial, ekonomi, dan lingkungan pada satu negara atau kawasan pada satu rentang waktu tertentu. Ini pula poin utama membaca tren populasi selama ini, misalnya, sejak tahun 1950 hingga 2100.
Dalam hal ini, berdasarkan banyak indikator sustainabilitas, menurut Prescott Allen (2001), awal abad 21, nyaris tidak satupun negara mencapai fase sustainabilitas, khususnya indikator keragaman-hayati, penduduk, air, lahan, sampah, dan lain-lain. Tentu ini pula sisi lain dari kebutuhan antisipasi overpopulasi planet Bumi akhir-akhir, antara lain merosotnya
per kapita air dan lahan sehat di berbagai negara.
Awal abad 21, umat manusia memasuki era antariksa (space era) berupa persaingan senjata, privatisasi, komoditisasi, dan komersialisasi antariksa. Umat manusia juga mengalami revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, ledakan penduduk dunia, degradasi ekosistem planet Bumi dan rapuhnya karakter manusia.
Tren global ini sekaligus melahirkan banyak peluang baru, namun juga tantangan, ancaman, hambatan dan bahkan gangguan terhadap survival, sehat-lestari, kedamaian, dan sistem kehidupan pada negara-negara di seluruh dunia dan alam jagad-raya.
Baca juga: Populasi Dunia Capai 8 Miliar Jiwa, Adakah Risiko Serius di Baliknya?
Misalnya, pada 16 November 2022, dari Kennedy Space Center di Cape Canaveral, Florida (AS), badan antariksa AS (NASA) meluncurkan uji-perdana misi roket Artemis ke bulan. Misi uji-coba NASA itu tanpa awak, kecuali tiga boneka (moonikins)—sensor dan pengukur getaran, radiasi kosmik, dan akselerasi--dalam kapsul roket Artemis dengan kecepatan 160 kph dalam detik (Marcia Dunn, 2022).