Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Antisipasi “Overpopulasi” Planet Bumi

Kompas.com - 25/11/2022, 09:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Posisi Asia bakal diambil-alih oleh Afrika sebagai zona penduduk paling banyak di Bumi. Penduduk Afrika naik 5 kali lipat sepanjang tahun 1950 hingga 2015, dari sekitar 200 juta jiwa menjadi 1,2 miliar jiwa.

Baca juga: Populasi Global Capai 8 Miliar dan Urgensi Pembangunan Berkelanjutan

Jumlah itu bakal meningkat sekitar 2,5 miliar tahun 2050 dan 4,4 miliar tahun 2100 (EU, 2014). Tentu saja, lonjakan jumlah itu melipat-gandakan konsumsi air, energi dan pangan dunia. Ini pula risiko overpopulasi kini dan ke depan.

Perubahan iklim terutama sangat berisiko pada penduduk miskin di Asia dan Afrika, maka overpopulasi zona Asia dan Afrika meningkatkan dampak risikonya.

Perihal ini, peneliti dan ahli lingkungan mencermati equilibrium alam guna menjaga stabilitas dan kontinuitas perubahan suatu ekosistem.

Maka pengetahuan interaksi biotik dengan atau dalam satu sistem, sangat penting (Monte-Luna et al., 2004). Awal abad 20, ahli ekologi Lotka (1925) dan Pearl et al., (1920), melihat bahwa ukuran populasi pada satu waktu sangat bergantung pada rata-rata pertumbuhan intrinsik, jumlah individu, dan secara historis berkaitan dengan batas tertinggi pertumbuhan.

Variabel-variabel ini adalah faktor utama membaca tren penduduk planet Bumi kini dan ke depan.

Tren selalu berisi mata-rantai perubahan. Kapan dan di mana saja di planet Bumi. Begitu pula tren penduduk planet Bumi. Sejak era pra-Masehi (SM), kita baca pesan zaman: Heraclitus (535 – 475 SM) asal Efesus (Yunani) abad ke-6 SM rilis pesan melalui On Nature (Drozdek, 2016:27): Ta panta rhei kai ouden menei, bahwa di alam semesta, apa saja terus mengalir, berubah, dan tidak ada tersisa tanpa berubah.

Bagi negara, tiap perubahan mesti memiliki dasar dan arah, terukur, tidak bias, dan terkontrol. Karena itu, konsep carrying capacity (daya-sangga) ekosistem memiliki asal-usul dan originalitas dari konsep dan filosofi dasar tentang perubahan.

Konsep ini semula diterapkan pada sektor rekayasa mekanik guna menghitung massa satu muatan yang dapat diangkut oleh kapal uap (Sayre, 2008), khususnya di Eropa Barat abad 19 M.

Selama ini, penerapan carrying capacity di bidang arus barang, jasa, manusia, dan alat transportasi atau angkut antara lain playload atau kapasitas angkut dari alat transportasi sehingga gerak sarana itu terarah dan terukur. Arus perubahan terukur, terarah, dan terkontrol tanpa bias ini pula merupakan fokus strategi tiap negara. Sebab faktor-faktor ini menjamin suatu ketertiban dan stabilitas negara.

Karena itu, populasi dunia menyentuh 8 miliar jiwa, bukan melulu total jumlah penduduk berbanding zona-huni atau level kepadatan (density) per km2. Tetapi, total jumlah penduduk yang dapat hidup secara sustainabel sosial, ekonomi, dan lingkungan pada satu negara atau kawasan pada satu rentang waktu tertentu. Ini pula poin utama membaca tren populasi selama ini, misalnya, sejak tahun 1950 hingga 2100.

Dalam hal ini, berdasarkan banyak indikator sustainabilitas, menurut Prescott Allen (2001), awal abad 21, nyaris tidak satupun negara mencapai fase sustainabilitas, khususnya indikator keragaman-hayati, penduduk, air, lahan, sampah, dan lain-lain. Tentu ini pula sisi lain dari kebutuhan antisipasi overpopulasi planet Bumi akhir-akhir, antara lain merosotnya
per kapita air dan lahan sehat di berbagai negara.

Antisipasi overpopulasi

Awal abad 21, umat manusia memasuki era antariksa (space era) berupa persaingan senjata, privatisasi, komoditisasi, dan komersialisasi antariksa. Umat manusia juga mengalami revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, ledakan penduduk dunia, degradasi ekosistem planet Bumi dan rapuhnya karakter manusia.

Tren global ini sekaligus melahirkan banyak peluang baru, namun juga tantangan, ancaman, hambatan dan bahkan gangguan terhadap survival, sehat-lestari, kedamaian, dan sistem kehidupan pada negara-negara di seluruh dunia dan alam jagad-raya.

Baca juga: Populasi Dunia Capai 8 Miliar Jiwa, Adakah Risiko Serius di Baliknya?

Misalnya, pada 16 November 2022, dari Kennedy Space Center di Cape Canaveral, Florida (AS), badan antariksa AS (NASA) meluncurkan uji-perdana misi roket Artemis ke bulan. Misi uji-coba NASA itu tanpa awak, kecuali tiga boneka (moonikins)—sensor dan pengukur getaran, radiasi kosmik, dan akselerasi--dalam kapsul roket Artemis dengan kecepatan 160 kph dalam detik (Marcia Dunn, 2022).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Putusan Mahkamah Internasional Tak Mampu Hentikan Operasi Militer Israel di Rafah

Putusan Mahkamah Internasional Tak Mampu Hentikan Operasi Militer Israel di Rafah

Internasional
Israel Sebut Perang Lawan Hamas di Gaza Bisa sampai Akhir 2024

Israel Sebut Perang Lawan Hamas di Gaza Bisa sampai Akhir 2024

Global
[POPULER GLOBAL] Politisi AS Tulisi Rudal Israel | Taiwan Minta Dukungan Indonesia

[POPULER GLOBAL] Politisi AS Tulisi Rudal Israel | Taiwan Minta Dukungan Indonesia

Global
Swedia Janjikan Bantuan Militer Rp 20,26 Triliun ke Ukraina

Swedia Janjikan Bantuan Militer Rp 20,26 Triliun ke Ukraina

Global
Tank-tank Israel Terus Menuju Jantung Kota Rafah, Perang Bisa Berlanjut Sepanjang Tahun

Tank-tank Israel Terus Menuju Jantung Kota Rafah, Perang Bisa Berlanjut Sepanjang Tahun

Global
Polandia Minta Barat Izinkan Ukraina Pakai Senjata Pasokan untuk Serang Wilayah Rusia

Polandia Minta Barat Izinkan Ukraina Pakai Senjata Pasokan untuk Serang Wilayah Rusia

Global
Ikuti Rusia, Belarus Tangguhkan Partisipasi di Perjanjian Pasukan Konvensional Eropa

Ikuti Rusia, Belarus Tangguhkan Partisipasi di Perjanjian Pasukan Konvensional Eropa

Global
 Temuan Terbaru Penyelidikan Insiden Turbulensi Parah Singapore Airlines

Temuan Terbaru Penyelidikan Insiden Turbulensi Parah Singapore Airlines

Global
Rusia Bergeser ke Arah Ekonomi Perang, AS Mulai Siapkan Sanksi Khusus

Rusia Bergeser ke Arah Ekonomi Perang, AS Mulai Siapkan Sanksi Khusus

Global
WHO Beri Peringatan Keras, Serangan Israel ke Rafah Bisa Hancurkan Rumah Sakit Terakhir

WHO Beri Peringatan Keras, Serangan Israel ke Rafah Bisa Hancurkan Rumah Sakit Terakhir

Global
Korsel Sebut Korea Utara Terbangkan Balon Isi Sampah dan Kotoran ke Perbatasan

Korsel Sebut Korea Utara Terbangkan Balon Isi Sampah dan Kotoran ke Perbatasan

Global
Terkait Berita Presiden Lai Dikecam Publik, Berikut Klarifikasi Kantor Perwakilan Taiwan di Indonesia

Terkait Berita Presiden Lai Dikecam Publik, Berikut Klarifikasi Kantor Perwakilan Taiwan di Indonesia

Global
Kredibilitas Biden Dipertanyakan Setelah Serangan Brutal Israel ke Rafah

Kredibilitas Biden Dipertanyakan Setelah Serangan Brutal Israel ke Rafah

Global
Melihat Dampak dari Mengakui Palestina sebagai Negara

Melihat Dampak dari Mengakui Palestina sebagai Negara

Internasional
Israel Klaim Senjatanya Sendiri Tak Mungkin Picu Kebakaran Besar yang Tewaskan 45 Orang di Rafah

Israel Klaim Senjatanya Sendiri Tak Mungkin Picu Kebakaran Besar yang Tewaskan 45 Orang di Rafah

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com