ZAPORIZHZHIA, KOMPAS.com - Setiap hari, iring-iringan mobil tiba di tempat parkir pusat perbelanjaan di Kota Zaporizhzhia, Ukraina, dikawal oleh kendaraan polisi.
Mereka telah melakukan perjalanan yang berbahaya keluar dari wilayah yang diduduki Rusia di Ukraina selatan.
Mereka memutuskan mengungsi ke tempat yang relatif aman di ibu kota regional ini karena masih berada di bawah kendali Ukraina.
Baca juga: Pasukan Ukraina Kepung Ribuan Tentara Rusia di Kota Lyman
Namun kota ini adalah satu dari empat wilayah Ukraina yang secara resmi diumumkan telah dicaplok Rusia, setelah pelaksanaan lima hari yang disebut referendum.
Ukraina dan Barat mengutuk upaya itu sebagai rekayasa.
Di antara mereka yang menyerahkan surat-surat kepada polisi adalah Anton Osenev.
Dia mengatakan Rusia mencoba memobilisasinya dua kali untuk melawan negaranya sendiri, di sekitar kota asalnya, Melitopol.
"Kami tidak di rumah untuk upaya pertama. Pada kesempatan kedua mereka tinggal di rumah kami untuk beberapa waktu," katanya.
Baca juga: NATO Dukung Ukraina Rebut Wilayahnya dari Rusia Meski Ada Ancaman Nuklir
Jika bukan karena istrinya yang sedang hamil berada di kamar, mereka akan membawanya.
Ayahnya adalah tentara Ukraina, dan jika ditangkap, dia akan berada di pihak yang berlawanan.
"Saya masih tidak mengerti apa yang terjadi, kita perlu istirahat."
Hanya sedikit orang di sini yang peduli dengan deklarasi pencaplokan Moskwa.
Apa yang mereka takutkan adalah upaya yang akan dilakukan para penjajah untuk mempertahankan apa yang telah mereka ambil – baik itu dipaksa untuk berperang untuk Rusia, atau Moskwa menggunakan senjata yang lebih mematikan.
Baca juga: Rusia Veto Draf Resolusi DK PBB soal Pencaplokan 4 Wilayah Ukraina, China Abstain
Pekan lalu, Vladimir Putin mengancam akan menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, bahkan senjata nuklir.
Bagi Kremlin, itulah intinya - untuk menciptakan ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.