Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Martinus Ariya Seta
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hobi membaca dan jalan-jalan. Saat ini sedang menempuh studi doktoral dalam bidang Pendidikan Agama di Julius Maximilians Universität Würzburg

Documenta Diterpa Tudingan Antisemitisme Lagi Setelah Taring Padi

Kompas.com - 02/08/2022, 07:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu lalu, pergelaran seni Documenta di kota Kassel Jerman dihebohkan oleh karya seni People‘s Justice yang diduga mengandung unsur antisemitisme. Pepole‘s Justice ini merupakan karya dari kelompok Taring Padi Indonesia. Karena kritikan dari berbagai pihak, khususnya dari organisasi Yahudi, gambar People’s Justice ini akhirnya dicopot.

Pencopotan gambar ini belum mengakhiri polemik. Kritik keras masih dilayangkan pada pihak Documenta. Polemik ini pun berujung pada pengunduran diri CEO Documenta, Sabine Shormann pada 16 Juli 2022.

Baca juga: Bagimu Taring Padi, Aku Berbela Rasa

Polemik antisemitisme baru

Tidak lama berselang setelah pengunduran diri Sabine Shormann, mencuat polemik baru. Polemik ini dipicu oleh sebuah brosur yang berjudul Presence des Femmes. Brosur ini pertama kali diterbitkan tahun 1988 di Aljazair. Presence des Femmes berisikan karikatur karya Burhan Karkoutly, seorang seniman Suriah.

Seorang pengunjung Documenta yang melihat gambar karikatur tersebut melaporkan kepada Recherche- und Informationsstelle Antisemitismus (RIAS) Propinsi Hessen. RIAS adalah badan pemerintah yang menangani pengawasan dan pengaduan terkait antisemitisme di Jerman.

Menurut Susanne Urban, pimpinan RIAS Hessen, karikatur tersebut menggambarkan tentang Palestina yang menolak keabsahan negara Isreal. RIAS juga menduga adanya motif antisemitisme di dalam karya tersebut. Ada beberapa gambar yang diduga sangat provokatif. Dua di antaranya adalah sebagai berikut.

Gambar pertama menampilkan seorang serdadu seperti robot memakai helm dengan lambang bintang Daud. Sang serdadu sepertinya sedang menjewer kuping seorang anak kecil. Ada tudingan gambar ini merepresentasikan desas-desus di abad pertengahan. Pembunuhan anak kecil adalah stereotip orang Yahudi di abad pertengahan. Orang Yahudi dituduh melakukan penculikan anak-anak dan kemudian membunuh mereka untuk kepentingan ritual keagamaan. Karena desas-desus ini, orang Yahudi menjadi sasaran perekusi bahkan pembantaian di abad pertengahan.

Baca juga: Nasida Ria Sempat Grogi Saat Tampil di Acara Documenta Fifteen di Jerman

Gambar kedua menampilkan seroang wanita dan seorang serdadu yang memakai helm dengan lambang bintang Daud. Hidung sang serdadu cukup besar dan berbentuk seperti kail. Selain itu, terdapat deretan empat kaki di samping serdadu. Di kedua kaki yang berada di sisi paling pinggir, tertulis huruf Arab dan jari-jari kaki menghadap ke atas. Sedangkan, di kedua kaki yang berada di tengah tertulis huruf Ibrani dan jari-jari kaki menghadap ke bawah. Diduga gambar deretan empat kaki ini menggambarkan hubungan seksual atau bahkan pemerkosaan. Dari sini, pemaknaan dapat dilebarkan sebagai sepak terjang Israel terhadap Palestina. Barangkali, gambar ini merepresentasikan penjajahan atau penindasan.

Pihak Documenta kemudian melakukan pengkajian internal. Salah satu hal yang memicu polemik adalah gambar bintang Daud di dalam karikatur tersebut. Gambar bintang Daud memang merupakan simbol Yahudi. Akan tetapi, simbol tersebut juga melekat pada bendera Israel.

Sebagaimana diberitakan oleh BR24 pada 27 Juli 2022, pihak Documenta menegaskan bahwa karikatur karya Burhan Karkotuly menggambarkan konflik Palestina-Israel dan tidak mengandung unsur antisemitisme. Untuk menghindari kesalahpahaman, pihak Documenta menganggap diperlukannya sebuah kontekstualisasi. Konflik antara Israel-Palestina menjadi konteks dari karikatur tersebut dan harus diperhitungkan di dalam menangkap pesan dari karya tersebut.

Baca juga: AS Labeli Kampanye Gerakan Boikot Israel sebagai Anti-Semit dan Kanker

Penjelasan dari pihak Dokumenta ini tidak memuaskan banyak pihak. Salah satu kritik yang paling pedas dilontarkan oleh Josef Schuster, Presiden Central Comittee Yahudi Jerman. Sebagaimana dikutip Bild (27 Juli 2022), Schuster mengatakan, "Tidak ada seorangpun dari pihak Documenta yang mampu mengenali antisemitisme atau bahkan mau mencegah hal tersebut.“

Schuster tidak hanya mengkritik hasil pengkajian internal dari pihak Documenta, tetapi juga keengganan pihak Documenta untuk melibatkan pihak luar dalam pengkajian karikatur tersebut.

Muncul banyak tuntutan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif bahkan terhadap seluruh karya yang ditampilkan dalam perhelatan akbar ini dengan melibatkan pihak eksternal. Tuntunan ini dilontarkan antara lain oleh Helge Lindh yang merupakan anggota partai SPD dan Frank Müller-Rosentritt yang merupakan anggota partai FDP.

Apakah karikatur Burhan Karkoutly dapat ditampilkan sampai perhelatan akbar Documenta berakhir pada 25 September 2022? Barangkali nasib karikatur tersebut akan sama seperti nasib People‘s Justice dari Taring Padi. Polemik ini masih belum usai dan sudah menjadi polemik politik. Bukan tidak mungkin akan ada pihak-pihak yang akhirnya meletakkan jabatannya akibat dari polemik ini.

Meskipun tidak selalu berakhir dengan tindakan hukum, polemik politik di Jerman seringkali berujung pengunduran diri pejabat publik. Barangkali penggunaan simbol bintang Daud dan gambar hidup berbentuk kail yang besar di berbagai negara tidak menimbulkan kegaduhan. Akan tetapi, ceritanya menjadi lain jika itu terjadi di Jerman. Isu antisemitisme adalah persoalan yang sangat sensitif sekali di Jerman.

Apakah Burhan Karkoutly ingin mengkritik sepak terjang Israel terhadap Palestiana tanpa ada motif antisemitisme? Lebih baik jawaban ini dilontarkan oleh sang seniman tersebut.

Publik Jerman sudah terlanjur menghakimi. Rasanya sangat sulit sekali mengubah opini publik terkait hal ini meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa sang sang seniman tidak memiliki motif antisemitisme.

Antara kritik terhadap Israel dan antisemitisme

Tidak mudah memang menyampaikan kritik anti-Israel di Jerman. Kritik ini rentan untuk dibelokkan sebagai isu antisemitisme. Beban sejarah masa lalu menjadikan Jerman berada posisi yang sukar ketika harus berbicara tentang kritik terhadap Israel. Pembataian terhadap keturuan Yahudi secara sistematis (baca: Holocaust) adalah salah satu aib sejarah bangsa Jerman. Inilah yang menjadikan posisi Jerman sangat tidak mengenakkan ketika harus menanggapi isu-isu terkait Israel dan Palestina.

Peristiwa Holocaust ini bukanlah pemicu dari gerakan Zionisme yang mengusung impian pendirian negara Yahudi yang berdaulat. Gerakan Zionisme dibentuk tahun 1897. Gerakan ini dipelopori oleh orang-orang Yahudi liberal. Pada mulanya, kelompok Yahudi liberal dengan sangat getol mendukung usaha integrasi dan asimilasi bangsa Yahudi di Eropa sejak era Aufklrärung (baca: pencerahan). Akan tetapi proses ini gagal dan munculnya gerakan Zionisme adalah reaksi terhadap kegagalan ini.

Peristiwa Holocaust yang dilakukan oleh rezim Nazi semasa perang Dunia II menjadi katalisator pendirian negara Israel pada tahun 1948.

Pada pertengahan tahun 2020, sejumlah intelektual mengirimkan surat terbuka kepada Angela Merkel yang ketika itu masih menjabat sebagai Kanselir Jerman. Surat tersebut mengungkapkan keluhan atas pencampuradukan antara kritik terhadap Israel dan tudingan antisemitisme.

Sebagaimana dikutip dari Suddeutsche Zeitung (27 Juli 2020), keluhan tersebut berbunyi demikian, "Yang menjadi keprihatinan kami adalah ancaman aneksasi wilayah Palestina oleh pihak Israel dan penggunaan istilah antisemitisme yang sangat berlebihan, tanpa dasar objektif, dan tidak didasarkan pada aturan. Hal semacam ini digunakan untuk membungkam kritik terhadap politik pemerintah Israel. Kami begitu prihatian sekali karena hal ini mendapat dukungan politik dan finansial dari Komisi Antisemetisme.“

Baca juga: Berbau Anti-Semit, Nama Sebuah Dusun di Perancis Akan Diganti

Dua nama intelektual yang menandatangani surat tersebut adalah Jan Assmann dan Wolfgang Benz. Jan Assmann adalah arkeolog yang memiliki reputasi internasional. Wolfgang Benz adalah salah satu pakar antisemitisme terkemuka di Jerman.

Ada tudingan bahwa pembelakan kritik terhadap Isreal ke arah isu antisemitisme dilakukan secara sistematis dan didukung oleh insititusi resmi pemerintahan Jerman. Secara terang-terangan, surat terbuka tersebut menyebut nama Komisi Antisemitisme sebagai pihak yang harus bertanggungjawab. Komisi Antisemitisme adalah lembaga pemerintahan yang didirikan pada tahun 2018 untuk mencegah dan memerangi fenomena antisemitisme.

Saat ini pihak Documenta sedang menjadi sasaran empuk atas polemik antisemitisme. Tuduhan mulai dari keteledoran sampai keacuhan dilontarkan kepada pengelola perhelatan seni akbar internasional ini.

Apa yang sedang dialami pihak Documenta tidak lain merupakan akibat dari trauma sejarah bangsa Jerman. Argumen ekspresi kebebasan dan sikap kritis yang sering dijadikan keyakinan di dalam dunia seni tampaknya tidak terlontarkan di dalam polemik ini. Argumen kebebasan dan sikap kritis kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan tudingan antisemitisme.

Pesan dari sebuah karya seni tidak lagi menjadi monopoli dari sang seniman. Sang penonton pun memiliki kekuasaan untuk menentukan pesan dari sebuah karya seni. Itulah karya seni yang selalu memancing pertanyaan "Siapakah yang sebenarnya berkuasa mengendalikan pesan?“

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com