Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Lanka Terancam Kelaparan, Ingin Akhiri Krisis tapi Terganjal China

Kompas.com - 21/05/2022, 23:59 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: DW Indonesia

COLOMBO, KOMPAS.com - Keputusan Presiden Gotabaya Rajapaksa melarang impor pupuk kimia pada April 2021 lalu, berdampak memangkas hasil panen secara drastis di Sri Lanka.

Kini, di tengah bencana ekonomi, pemerintah mencabut kembali larangan tersebut dan berjanji akan menjamin ketersediaan pupuk pada musim tanam September-Maret depan.

"Walaupun kita tidak lagi punya waktu untuk mengimpor pupuk pada musim tanam ini (Mei-Agustus), langkah-langkah sudah diambil untuk menjamin ketersediaan cadangan yang cukup untuk musim tanam selanjutnya,” kata Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe via akun Twitternya, Kamis (19/5/2022) malam.

Baca juga: Sri Lanka Kehabisan Bensin dan Tidak Bisa Impor karena Tak Punya Dollar

"Saya memohon kepada semua warga untuk memahami situasinya.”

Presiden Rajapaksa menunjuk sembilan menteri baru pada Jumat (20/5/2022), antara lain untuk jabatan di Kementerian Kesehatan, Perdagangan dan Pariwisata. Adapun fungsi menteri keuangan diyakini masih akan diemban Wickremesinghe.

Kamis (19/5/2022), Bank Sentral Sri Lanka mengumumkan sudah mengamankan jumlah mata uang asing yang cukup untuk membayar impor bahan bakar. Uang didapat dari pinjaman Bank Dunia. Namun begitu, suplai gas dan minyak belum sepenuhnya pulih.

Krisis ekonomi di Sri Lanka diprediksi akan mencuatkan angka inflasi ke kisaran 40 persen dalam beberapa bulan ke depan. Bank Sentral mengatakan, kenaikan inflasi digerakkan oleh gangguan pada rantai suplai.

Angka inflasi menyentuh 29,8 persen pada April silam, dengan harga bahan pokok melonjak sebanyak 46,6 persen dari tahun lalu.

Negosiasi utang

Sri lanka tahun ini diwajibkan membayar cicilan utang senilai 7 miliar dollar AS atau sekitar Rp. 100 triliun kepada debitur luar negeri. Namun pembayaran dibekukan secara sepihak sementara pemerintah di Colombo bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Separuh utang Sri Lanka senilai 25 miliar dollar AS didapat dari sektor swasta. Sementara sisanya merupakan pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Jepang. Adapun China merupakan debitur terbesar ketiga bagi Sri Lanka.

Meski begitu, pemerintah di Beijing memiliki kekuatan hukum untuk memperlambat negosiasi restrukturisasi utang.

 

China sejauh ini berjanji akan "memainkan peranan positif” dalam perundingan dengan IMF terkait pinjaman darurat. Beijing menawarkan utang tambahan kepada Sri Lanka, tapi menolak terlibat dalam negosiasi restrukturisasi utang.

Baca juga:

Komplikasi dari Beijing

"Pemerintah China diyakini enggan memutihkan utang Sri Lanka lantaran mengkhawatirkan permintaan serupa dari negara-negara lain yang meminjam duit dari skema Belt and Road Initiative miliknya, kata ekonom Sri Lanka, WA Wijewardena.

"Jika China memberikan konsesi bagi Sri Lanka, ia juga harus memberikan konsesi serupa kepada kreditur lain,” ujarnya. "Mereka tidak ingin mengambil risiko tersebut.”

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com