ENAM tahun lalu pemerintah Sri Lanka optimis bisa menjadikan negara itu sebagai negari paling kompetitif di kawasan Samudra Hindia dan menjadi “kota megah” di yang teletak di tengah-tengah di antara Singapura dan Dubai. Hal itu diucapkan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dalam pertemuan Sri Lanka Economic Forum pada 2016 di Colombo, Ibu Kota Sri Lanka.
Cita-cita itu bukan tidak beralasan. Pada awal kemerdekaan Sri Lanka dari inggris (1948), indikator sosial Sri Lanka seperti tingkat kemiskinan, tingkat kematian bayi, dan capaian pendidikan dasar lebih baik dari India, Pakistan, dan Banglades (Arvind Subramanian, 2019). Namun konflik-konflik sosial telah menghambat kemajuan sosial-ekonomi Sri Lanka.
Penduduk Sri Lanka terdiri dari suku Sinhala (75 persen), Tamil (18 persen), dan Moor (9 persen).
Baca juga: Kehabisan BBM, Sri Lanka Tidak Bisa Impor karena Tak Punya Dolar
Konflik sosial pertama meletus karena parlemen pada 1956 menetapkan bahasa Sinhala sebagai satu-satunya bahasa resmi negara, padahal ada bahasa Tamil yang dipergunakan secara aktif oleh hampir seperlima penduduk.
Kemudian pada tahun 1970-an, terjadi pemberontakan oleh kelompok komunis. Setelah dapat diatasi, tidak lama kemudian terjadi lagi konflik berkepanjangan, yang melibatkan suku Tamil. Konflik ini dapat diatasi secara permanen pada 2009, dan sejak itu Sri Lanka memasuki era pembangunan ekonomi dan sosial yang lebih tenang.
Hingga beberapa tahun lalu ekonomi Sri Lanka tumbuh rata-rata enam persen, statistik kesehatan dan pendidikan meningkat pesat. Sri Lanka dikenal sebagai negara berkembang yang menggratiskan banyak pelayanan sosial.
Ekonomi dunia kala itu juga mendukung perkembangan ekonomi Sri Lanka, dengan harga teh dan gula (22 persen dari ekspor) yang tinggi. Turis mancanegara mulai meningkat dengan berhentinya konflik. George Soros menyatakan berminat untuk berinvestasi di Sri Lanka, mungkin membayangkan Sri Lanka dapat menjadi Bali, dengan alam dan budaya yang mirip.
Joseph Stiglitz (2016), penerima anugerah Nobel ekonomi, menyatakan bahwa Sri Lanka dapat menjadi economic hub untuk kawasan Samudra Hindia, yaitu sebagai pusat keuangan dan tempat yang aman (safe haven) untuk investasi.
Namun untuk itu perlu dilakukan banyak perubahan kebijakan, seperti mengatasi disparitas ekonomi termasuk di kalangan suku Tamil, diversifikasi ekspor, pembangunan infrastruktur di wilayah utara negara, pengenaan pajak progresif, mendorong sektor industri berteknologi lebih modern sesuai tingkat pendidikan penduduk yang relatif tinggi, pengembangan pertanian organik.
Namun apa yang terjadi kemudian ternyata cukup berbeda. Sejak tiga tahun terakhir ini Sri Lanka (berpenduduk 22 juta jiwa) mengalami kemunduran ekonomi yang berkepanjangan. Inflasi melonjak hampir 30 persen, obat-obatan menjadi langka, aliran listrik digilir untuk menghemat energi, pasokan bensin dan gas menipis.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.