Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Sri Lanka Mendayung di Antara Batu-batu Karang

Kompas.com - 21/05/2022, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ENAM tahun lalu pemerintah Sri Lanka optimis bisa menjadikan negara itu sebagai negari paling kompetitif di kawasan Samudra Hindia dan menjadi “kota megah” di yang teletak di tengah-tengah di antara Singapura dan Dubai. Hal itu diucapkan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dalam pertemuan Sri Lanka Economic Forum pada 2016 di Colombo, Ibu Kota Sri Lanka.

Cita-cita itu bukan tidak beralasan. Pada awal kemerdekaan Sri Lanka dari inggris (1948), indikator sosial Sri Lanka seperti tingkat kemiskinan, tingkat kematian bayi, dan capaian pendidikan dasar lebih baik dari India, Pakistan, dan Banglades  (Arvind Subramanian, 2019). Namun konflik-konflik sosial telah menghambat kemajuan sosial-ekonomi Sri Lanka.

Penduduk Sri Lanka terdiri dari suku Sinhala (75 persen), Tamil (18 persen), dan Moor (9 persen).

Baca juga: Kehabisan BBM, Sri Lanka Tidak Bisa Impor karena Tak Punya Dolar

Konflik sosial pertama meletus karena parlemen pada 1956 menetapkan bahasa Sinhala sebagai satu-satunya bahasa resmi negara, padahal ada bahasa Tamil yang dipergunakan secara aktif oleh hampir seperlima penduduk.

Kemudian pada tahun 1970-an, terjadi pemberontakan oleh kelompok komunis. Setelah dapat diatasi, tidak lama kemudian terjadi lagi konflik berkepanjangan, yang melibatkan suku Tamil. Konflik ini dapat diatasi secara permanen pada 2009, dan sejak itu Sri Lanka memasuki era pembangunan ekonomi dan sosial yang lebih tenang.

Hingga beberapa tahun lalu ekonomi Sri Lanka tumbuh rata-rata enam persen, statistik kesehatan dan pendidikan meningkat pesat. Sri Lanka dikenal sebagai negara berkembang yang menggratiskan banyak pelayanan sosial.

Ekonomi dunia kala itu juga mendukung perkembangan ekonomi Sri Lanka, dengan harga teh dan gula (22 persen dari ekspor) yang tinggi. Turis mancanegara mulai meningkat dengan berhentinya konflik. George Soros menyatakan berminat untuk berinvestasi di Sri Lanka, mungkin membayangkan Sri Lanka dapat menjadi Bali, dengan alam dan budaya yang mirip.

Joseph Stiglitz (2016), penerima anugerah Nobel ekonomi, menyatakan bahwa Sri Lanka dapat menjadi economic hub untuk kawasan Samudra Hindia, yaitu sebagai pusat keuangan dan tempat yang aman (safe haven) untuk investasi.

Namun untuk itu perlu dilakukan banyak perubahan kebijakan, seperti mengatasi disparitas ekonomi termasuk di kalangan suku Tamil, diversifikasi ekspor, pembangunan infrastruktur di wilayah utara negara, pengenaan pajak progresif, mendorong sektor industri berteknologi lebih modern sesuai tingkat pendidikan penduduk yang relatif tinggi, pengembangan pertanian organik.

Namun apa yang terjadi kemudian ternyata cukup berbeda. Sejak tiga tahun terakhir ini Sri Lanka (berpenduduk 22 juta jiwa) mengalami kemunduran ekonomi yang berkepanjangan. Inflasi melonjak hampir 30 persen, obat-obatan menjadi langka, aliran listrik digilir untuk menghemat energi, pasokan bensin dan gas menipis.

Itu semua berdampak negatif pada proses produksi, dan dengan sendirinya penghasilan pekerja. Maka warga marah, terjadi kerusuhan di jalan-jalan, unjuk rasa merebak di berbagai kota, dan pemerintah memberlakukan jam malam.

Sejumlah kebijakan keliru pemerintah

Persoalan ekonomi Sri Lanka diawali dengan perubahan fokus pembangunan ekonomi pemerintah dari luar negeri ke dalam negeri sejak 2009, akibatnya penerimaan devisa dari ekspor lebih rendah dari pengeluaran devisa untuk impor (Ayeshea Perera, 2022).

Pemerintah juga dinilai keliru telah membangun infrastruktur yang tidak mendesak seperti gedung konferensi megah di Colombo. Kebijakan Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk menurunkan tarif pajak sesuai janji saat kampanye Pilpres menambah berkurangnya penerimaan negara.

Baca juga: Kekurangan Pangan Memperburuk Kesengsaraan Warga Sri Lanka

Penyebab lain adalah pelarangan impor pupuk untuk menahan devisa agar tidak bocor ke luar negeri pada April 2021. Namun, keputusan ini bak bumerang yang menghantam badan sendiri. Petani tidak siap dengan pupuk organik seperti yang diinginkan pemerintah untuk mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan.

Produksi pertanian menyusut, pasokan tidak mencukupi kebutuhan, dan pemerintah harus impor pangan, yang mengurangi cadangan devisa. Lebih malang lagi, komoditas ekspor unggulan, yaitu teh dan karet, juga terkena imbas ketiadaan pupuk.

Dua kejadian berikutnya membuat krisis ekonomi bertambah parah. Penguncian wilayah (lockdown) untuk mencegah persebaran Covid-19 selama 2020 dan 2021 menyebabkan produksi berbagai sektor menurun.

Selanjutnya invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 berikut sanksi ekonomi terhadap Rusia menyebabkan Sri Lanka terkena dampaknya: ekspor turun dan impor naik. Kedua negara tersebut sebelumnya merupakan pasar ekspor yang cukup besar bagi Sri Lanka, sementara Sri Lanka juga mengimpor pangan dari kedua negara itu.

Berbagai kebijakan pemerintah dan kejadian di luar negeri tersebut menyebabkan utang luar negeri pemerintah semakin besar, yaitu 51 miliar dollar AS pada saat ini. Rasio utang negara terhadap PDB meningkat menjadi lebih dari 100 persen dari sebelumnya 79 persen (2016).

Tahun ini pemerintah harus membayar utang luar negeri sebesar 7 miliar dollar AS, sementara cadangan devisa hanya cukup untuk beberapa bulan. Kurs rupee merosot 30 persen pada Maret 2022. Pemerintah pun mendekati IMF untuk mendapat pinjaman baru.

Di bidang politik, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa terpaksa mundur, digantikan Ranil Wickremesinghe, mantan perdana menteri yang berpengalaman dan mempunyai hubungan dekat dengan diplomat India dan negara-negara Barat.

PM Anil Wickremesinghe kini tidak seoptimis enam tahun yang lalu. Ia harus menghadapi ekonomi dunia yang suram. Perang Rusia vs Ukraina masih belum jelas kapan berakhirnya, sementara ekonomi AS mengalami inflasi tertinggi selama beberapa tahun terakhir, yang memaksa bank sentral negera itu menaikkan suku bunga pinjaman. Dollar AS akan keluar dari negara-negara berkembang untuk mencari imbal hasil yang lebih besar di negara sendiri.

Upaya pemulihan

Bulan-bulan ini Sri Lanka menghadapi masalah ekonomi yang sangat pelik. Solusi awal yang akan dilakukan PM Anil Wickremesinghe adalah segera mencetak uang untuk membayar gaji 1,4 juta pegawai negeri dan menjual maskapai penerbangan nasional Sri Lanka Airlines untuk menambah keuangan negara. Dua hal ini merupakan pilihan yang sulit dan tentu belum cukup.

Sri Lanka harus menunggu IMF dan negara-negara pemberi pinjaman untuk restrukturisasi utang agar tidak gagal bayar. Bersamaan dengan itu pemerintah perlu menata kembali strategi pembangunan ekonomi yang kini harus benar-benar inklusif.

Keragaman ras, agama, dan politik menjadi tantangan cukup besar saat ini. Namun bisa juga menjadi modal untuk membangun kembali Sri Lanka yang lebih tangguh. Pemerintah perlu melakukannya dengan lebih penuh perhitungan, agar tidak tergelincir atau menabrak batu-batu karang yang menghadang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Orang Tewas di Rafah dalam Serangan Udara Israel Semalam

5 Orang Tewas di Rafah dalam Serangan Udara Israel Semalam

Global
Juara Angkat Besi Eropa Ini Tewas dalam Perang Membela Ukraina

Juara Angkat Besi Eropa Ini Tewas dalam Perang Membela Ukraina

Global
Israel Bersumpah Lanjutkan Serangan di Rafah, sebab Gencatan Senjata Tak Pasti

Israel Bersumpah Lanjutkan Serangan di Rafah, sebab Gencatan Senjata Tak Pasti

Global
Taiwan Kembangkan Sistem Satelit Serupa Starlink Milik Elon Musk

Taiwan Kembangkan Sistem Satelit Serupa Starlink Milik Elon Musk

Internasional
[POPULER GLOBAL] Warga Gaza Diperintahkan Mengungsi | Kucing Terjebak Masuk Kardus Paket

[POPULER GLOBAL] Warga Gaza Diperintahkan Mengungsi | Kucing Terjebak Masuk Kardus Paket

Global
Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata di Gaza, Jeda Perang 7 Bulan

Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata di Gaza, Jeda Perang 7 Bulan

Global
Inilah Wombat Tertua di Dunia, Usianya 35 Tahun

Inilah Wombat Tertua di Dunia, Usianya 35 Tahun

Global
Biden Akan Bicara ke Netanyahu Usai Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi

Biden Akan Bicara ke Netanyahu Usai Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi

Global
Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Global
Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Internasional
Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Global
Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Global
Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Global
Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Global
Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com