Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darmansjah Djumala
Diplomat dan Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri dan Dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.

Ukraina, Sang Pelanduk di Bumi Eropa

Kompas.com - 12/03/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sepertinya ambisi Uni Eropa mendekap Ukraina tidak hanya sebatas bidang politik dan ekonomi.

Uni Eropa merasa perlu menarik Ukraina ke dalam NATO untuk menjadi buffer zone menghadapi ancaman militer Rusia dari Timur.

Dalam konteks inilah bisa dimengerti mengapa Uni Eropa yang didukung AS begitu ngebet menarik Ukraina menjadi anggota NATO.

Ketiga, pun bagi Rusia, Ukraina tidak boleh dibiarkan jatuh ke dalam pengaruh Uni Eropa. Dari sekian banyak negara pecahan Uni Soviet, Ukraina adalah salah satu negara besar dan kaya sumber alam bersama Belarusia dan Kazakhstan.

Sampai dengan 2014, Ukraina bersama Belarusia adalah penopang utama gengsi politik Rusia di Eropa.

Setelah negara bekas sosialis-komunis - seperti Polandia, Hongaria, Ceko, Slowakia, Romania, Bulgaria, negara Balkan, dan negara Baltik - menjadi anggota Uni Eropa, reputasi politik Rusia seakan-akan terlecehkan. Jatuh ke titik nadir.

Dari takaran geopolitik, bagi Rusia, lepasnya pengaruh atas negara bekas sosialis-komunis itu masih bisa ditoleransi.

Tapi tidak untuk Ukraina. Bagi Rusia, Ukraina dan Belarusia adalah tapal batas toleransi terhadap perluasan keanggotaan Uni Eropa ke Timur.

Rusia juga sangat membutuhkan Ukraina, yang di bagian Selatannya ada Crimea di tepi Laut Hitam.

Dari Laut Hitam, Rusia mengembangkan lalu lintas perdagangannya ke Laut Tengah, yang menghubungkannya dengan benua Eropa belahan barat serta ke Afrika dan Timur Tengah.

Dari Laut Hitam ini armada laut Rusia bisa leluasa mengawasi Uni Eropa dari tepi barat Laut Hitam, melalui Romania dan Bulgaria.

Dalam konteks kepentingan geo-strategis seperti inilah mengapa Rusia langsung mencaplok Crimea segera setelah Ukraina dipimpin oleh presiden yang pro Uni Eropa.

Selain pertimbangan geo-politik di atas, dalam observasi seorang pengamat internasional dari Johns Hopkins University, Maria Snegovaya, paling tidak ada tiga perkembangan politik di Ukraina yang membuat Rusia tidak sabar untuk segera menginvasi Ukraina (Why Is Putin Acting Now? Foreign Policy, 26 January 2022).

Pertama, indikasi Ukraina bakal jatuh ke pangkuan NATO semakin jelas. Pada 2016, NATO memberi bantuan Comprehensive Assistance Package untuk Ukraina, yang berisi 16 jenis bantuan keamanan dan pertahanan.

Tidak itu saja. Pada 2018, AS mengirim rudal anti-tank jenis Javelin, diikuti Turki yang menyuplai pesawat tempur nirawak (combat drones) Bayraktar TB2.

Pasokan senjata pembunuh dari NATO kepada Ukraina tentu saja dipandang Rusia sebagai ancaman nyata bagi keamanannya.

Kedua, hubungan Ukraina-Rusia akhir-akhir ini diperburuk oleh perlakuan Kiev terhadap tokoh kepercayaan Putin di Ukraina, Viktor Medvedchuk.

Dia adalah seorang milyuner Ukraina pro Rusia yang dicurigai mendukung pendudukan Rusia atas Crimea dan gerakan separatisme di Ukraina Timur.

Akibat sikap politiknya itu, Pemerintah Ukraina membekukan asetnya dan melarang berbisnis di Ukraina.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com