Akhirnya, pada 2017, Sri Lanka sepakat menyerahkan saham mayoritas 70 persen di pelabuhan itu kepada badan usaha milik negara China Merchants dengan masa sewa 99 tahun sebagai imbalan atas suntikan investasi lebh besar dari China.
Baca juga: Sri Lanka Berencana Bayar Utang Minyak Iran dengan Teh
Analisis yang dilakukan oleh lembaga kajian Inggris Chatham House tentang proyek mempertanyakan apakah narasi jebakan utang ini benar, mengingat kesepakatan itu didorong oleh motivasi politik setempat, dan faktor bahwa China tidak pernah menguasai kepemilikan pelabuhan secara resmi.
Chatham House menggarisbawahi bahwa sebagian besar total utang Sri Lanka bukan kepada para pembeli pinjaman dari China, dan tidak ada bukti bahwa China menggunakan kedudukannya untuk mendapatkan keuantungan militer strategis dari pelabuhan.
Meskipun begitu, tak diragukan lagi bahwa keterlibatan China dalam bidang ekonomi di Sri Lanka meningkat selama satu dekade terakhir, dan muncul kekhawatiran jika hal itu dapat digunakan untuk mengusung ambisi politiknya di kawasan.
Ada kasus-kasus pinjaman dari China lain yang terbukti kontroversial. Kontrak-kontraknya dapat menguntungkan China dalam hal aset-aset penting.
Namun tidak ada kasus, di antara ratusan perjanjian pinjaman yang diteliti AidData dan sejumlah lembaga lain, yang menunjukkan kreditor China menyita aset besar karena gagal bayar utang.
Baca juga: Barang Maradona dari Cerutu, Mobil Mewah, hingga Vila Dilelang untuk Bayar Utang
China tidak mempublikasikan data pinjaman untuk luar negeri, dan mayoritas kontraknya mencantumkan klausul-klausul menjaga kerahasiaan informasi yang melarang peminjam membeberkan isi perjanjian.
Negara tersebut berpegang pada pandangan bahwa menjaga kerahasiaan sudah menjadi praktik umum dalam kontrak-kontrak utang internasional.
"Perjanjian menjaga kerahasiaan ini umum terjadi dalam pemberian pinjaman komersial internasional," kata Profesor Lee Jones di Queen Mary University, London.
"Dan sebagian besar pemberian pinjaman pembangunan dari China ini pada dasarnya adalah operasi komersial."
Mayoritas negara-negara industri besar berbagi informasi tentang aktivitas utang mereka melalui keanggotaan kelompok yang disebut Klub Paris.
China memilih tidak menjadi anggota, tapi dengan menggunakan data World Bank, laporan pertumbuhan pesat pemberian pinjaman dari China dibanding kreditor lain dapat diamati.
Baca juga: Cetak Rekor, Utang Global Sepanjang 2020 Terbesar sejak Perang Dunia II
China cenderung memberikan utang dengan bunga lebih tinggi dibanding pemerintah negara-negara Barat.
Dipatok sekitar 4 persen, bunga itu hampir sama dengan bunga untuk pasar komersial dan sekitar empat kali lebih tinggi dari bunga pinjaman biasa dari World Bank atau negara-negara seperti Perancis atau Jerman.