Selama empat bulan setelahnya, kapal China dan Indonesia saling terlihat di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali datang dalam jarak 1 mil laut satu sama lain, menurut analisis data identifikasi kapal dan citra satelit oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), proyek yang dijalankan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Amerika Serikat.
Data dan gambar yang ditinjau oleh AMTI dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), wadah pemikir independen yang berbasis di Jakarta, menunjukkan sebuah kapal penelitian China, Haiyang Dizhi 10, tiba di daerah tersebut pada akhir Agustus dan menghabiskan sebagian besar dari tujuh minggu berikutnya dengan bergerak lambat dalam pola yang berdekatan dengan Blok D-Alpha.
Blok D-Alpha adalah blok cadangan minyak dan gas yang juga berada di perairan yang diperebutkan, yang menurut studi Pemerintah Indonesia bernilai 500 miliar dollar AS (Rp 7,25 kuadriliun).
Pada 25 September, kapal induk Amerika USS Ronald Reagan datang dalam jarak 7 mil laut dari rig pengeboran Blok Tuna. Sebanyak empat kapal perang China juga dikerahkan ke daerah itu, menurut IOJI dan nelayan setempat.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tak Hentikan Pengeboran Minyak dan Gas di Natuna Utara meski Diprotes China
Pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik tadi kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna.
Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional.
Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.
"Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie dikutip dari BBC Indonesia.
Suara senada juga diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri. Baginya jika pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan China justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik.
Kemudian, meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang.
Ia menilai secara diplomatik Indonesia dan China memiliki kemitraan strategis.
"Dalam perdagangan, China bisa saja mengekspor bauksit dari Afrika, tapi selama ini China pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan di ASEAN. Makanya China berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya."
"Indonesia pun sadar mengakui China merupakan great power yang sedang rising dan Indonesia bisa mendapat keuntungan ekonomi di bidang perdagangan."
Arie dan Aisha lalu menyarankan, Pemerintah Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga dalam konflik Natuna dengan mengerahkan kekuatan keamanan laut.
Baca juga: 3 Alasan China Mengeklaim Hampir Seluruh Laut China Selatan
Artikel ini adalah rangkuman dari berita yang dimuat ABC Indonesia berjudul China Protes Pengeboran dan Latihan Militer Indonesia di Laut Natuna Utara, dan BBC Indonesia berjudul Laporan China minta Indonesia hentikan pengeboran minyak di Laut Natuna: 'Indonesia tidak perlu takut' karena beroperasi di wilayah hak berdaulat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.