KHARTOUM, KOMPAS.com - Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok, yang berada di bawah tahanan rumah setelah kudeta militer pada Senin (26/10/2021), menyatakan tidak akan pernah mundur dengan sukarela.
Pernyataan Hamdok datang sehari setelah ratusan ribu orang berdemonstrasi di seluruh negeri. Pengunjuk rasa menentang pengambilalihan kekuasaan pada 25 Oktober. Ini juga muncul ketika kecaman internasional atas tindakan militer tumbuh.
Baca juga: KABAR DUNIA SEPEKAN: Facebook Ganti Nama Jadi Meta | Kudeta Sudan, Militer Bubarkan Pemerintah
Hamdok, yang telah ditahan sejak kudeta, hanya dapat ditemui di hadapan pengawalan militer, kata sumber tersebut, yang berbicara kepada CNN secara eksklusif pada Minggu (31/10/2021).
Militer Sudan hanya mengizinkan mediator internasional dan lokal untuk bertemu dengannya. Pasalnya, tekanan dari Amerika Serikat (AS) dan aktor internasional lainnya meningkat untuk pembebasannya.
Sumber yang dekat dengan perdana menteri Sudan dan pembicaraan mediasi menjabarkan empat langkah yang perlu diambil untuk memulihkan ketertiban di negara itu dan melanjutkan negosiasi pada Minggu (31/10/2021). Langkah awalnya antara lain harus dimulai dengan pembebasan Hamdok dan kembalinya "status quo."
Sejak pemberontakan Sudan 2019 yang menyebabkan penggulingan pemerintahan tiga dekade Presiden Omar al-Bashir, Sudan diperintah oleh Dewan Berdaulat dan pemerintah transisi, aliansi kelompok militer dan sipil yang goyah.
Baca juga: 3 Warga Sipil Tewas Ditembak Militer dalam Protes Nasional Anti-kudeta Sudan
Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan pada Senin (26/10/2021) merupakan lanjutan dari meningkatnya ketegangan selama berbulan-bulan di negara itu.
Burhan seharusnya menyerahkan kendali dewan kepada seorang pemimpin sipil dalam beberapa minggu ke depan. Namun, dia malah membubarkan dewan dengan mengatakan akan mengadakan pemilihan pada Juli 2023. Setelah itu, dia baru mau menyerahkan kekuasaan kepada "pemerintah perwakilan yang independen dan adil" saat itu.
"PM Hamdok mengakui situasinya tidak dapat dipertahankan, tetapi perubahan perlu terjadi melalui proses politik," kata salah satu sumber melansir CNN.
PM Hamdok sekarang menyerukan perombakan proses politik, yang mengarah pada restrukturisasi dewan berdaulat.
Tujuannya agar dia memiliki otoritas dan kemerdekaan penuh, dalam membentuk kabinet teknokrat yang independen secara politik atas pilihannya sendiri, dan untuk memperluas partisipasi politik dengan lebih banyak perwakilan, kata sumber itu.
"Tanpa pengakuan ini dan tanpa komitmen untuk kembali seperti semula, Perdana Menteri tidak akan bernegosiasi. Dia menolak untuk mundur dengan sukarela sebagai Perdana Menteri," kata sumber itu.
Baca juga: Kudeta Sudan: Panglima Militer Pecat 6 Duta Besar
Sumber tersebut juga mengatakan bahwa sikap militer membuat negosiasi menjadi sulit.
"Apa yang menghalangi pembicaraan saat ini adalah bahwa kepemimpinan militer bersatu dalam tindakan mereka saat ini dan dalam keyakinan mereka bahwa ini bukan kudeta, tetapi 'koreksi revolusi', yaitu bagian dari proses politik," kata sumber itu.
Kampanye pembangkangan sipil nasional di Sudan pada Sabtu (30/10/2021) membuat ibu kota negara itu terhenti. Jalan-jalan dipenuhi demonstran meneriakkan slogan-slogan anti-militer dan melambaikan spanduk anti-kudeta.