Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Guru Afghanistan Bersumpah Terus Mengajar Meski Tahu Terancam Dibunuh Taliban

Kompas.com - 07/09/2021, 19:43 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KABUL, KOMPAS.com - Seorang guru di Afghanistan menolak untuk mengalah dan meninggalkan bangsanya saat puluhan ribu warga lainnya bergegas meninggalkan negara itu setelah Taliban menguasai ibu kota Kabul.

Matiullah Wesa (29 tahun) teringat pada kejadian kurang dari dua dekade lalu, saat dia berusia 14 tahun dan gerilyawan bersenjata Taliban mengetuk pintunya suatu sore, mencari ayahnya.

Mereka datang membawa pesan: “Tinggalkan rumahmu dan desa dalam waktu seminggu atau seluruh keluarga ini akan ditembak mati.”

Ancaman itu ditujukan kepada ayah dan kakek Wesa. Keduanya vokal dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak di Afghanistan, terutama bagi anak perempuan Afghanistan.

Baca juga: Demo Afghanistan di Kabul, Taliban Lepas Tembakan untuk Bubarkan Massa

Kejadian itu terjadi pada 2004, tak lama setelah koalisi pimpinan AS menggulingkan pemerintah Taliban, dan mengizinkan pemerintahan sipil baru untuk dibentuk.

Presiden Afghanistan saat itu Hamid Karzai memulai misi reformis untuk negaranya yang dilanda perang.

Rencananya ke depan membuka pendidikan untuk semua, kebebasan bagi perempuan Afghanistan untuk bekerja dan bergerak tanpa wali laki-laki, mengakhiri eksekusi publik dengan rajam dan sistem hukum baru menggantikan “pengadilan kanguru”, dimana prinsip-prinsip hukum dan keadilan diabaikan atau diselewengkan.

Tapi semua rencana itu kini terancam dengan jatuhnya kembali negara Asia selatan lagi di tangan kelompok militan Taliban.

Wesa sekarang mendapati dirinya menghadapi tekanan yang sama seperti ayah dan kakeknya, yang memulai perjuangan atas pendidikan di bawah pemerintah Taliban pada akhir 1990-an.

Aktivis berusia 29 tahun dan pendiri gerakan "Jalan Pena" tersebut telah memobilisasi dukungan dan sumber daya untuk pendidikan sejak 2009.

Dan dia bertekad tidak akan meninggalkan pekerjaannya atau anak-anaknya bangsanya.

Baca juga: Universitas di Kabul Nyaris Kosong Setelah Taliban Kuasai Afghanistan

Setelah keluarganya menentang Taliban di provinsi Kandahar pada 2004, rumah keluarga Wesa dibakar. Bisnis tradisional mereka yang menjual buah-buahan kering juga hilang selamanya.

Sadar akan apa yang telah mereka lalui, teman-teman dan bahkan orang asing meneleponnya untuk mendesak agar dia mencari keselamatan, katanya kepada The Independent dilansir Senin (6/9/2021).

“Suatu hari saya tahu saya bisa dibunuh karena pekerjaan saya. Saya telah kehilangan kekayaan dan bisnis keluarga saya. Itu tidak menghentikan saya untuk mendidik setiap anak, bahkan di sudut-sudut terpencil di pedesaan Afghanistan.”

“Jika Anda menginginkan perdamaian, jika Anda ingin mengakhiri kekerasan, jika Anda ingin Afghanistan berhenti menderita, maka Anda harus membiarkan anak-anak ini belajar,” tegasnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com