Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Guru Afghanistan Bersumpah Terus Mengajar Meski Tahu Terancam Dibunuh Taliban

KABUL, KOMPAS.com - Seorang guru di Afghanistan menolak untuk mengalah dan meninggalkan bangsanya saat puluhan ribu warga lainnya bergegas meninggalkan negara itu setelah Taliban menguasai ibu kota Kabul.

Matiullah Wesa (29 tahun) teringat pada kejadian kurang dari dua dekade lalu, saat dia berusia 14 tahun dan gerilyawan bersenjata Taliban mengetuk pintunya suatu sore, mencari ayahnya.

Mereka datang membawa pesan: “Tinggalkan rumahmu dan desa dalam waktu seminggu atau seluruh keluarga ini akan ditembak mati.”

Ancaman itu ditujukan kepada ayah dan kakek Wesa. Keduanya vokal dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak di Afghanistan, terutama bagi anak perempuan Afghanistan.

Kejadian itu terjadi pada 2004, tak lama setelah koalisi pimpinan AS menggulingkan pemerintah Taliban, dan mengizinkan pemerintahan sipil baru untuk dibentuk.

Presiden Afghanistan saat itu Hamid Karzai memulai misi reformis untuk negaranya yang dilanda perang.

Rencananya ke depan membuka pendidikan untuk semua, kebebasan bagi perempuan Afghanistan untuk bekerja dan bergerak tanpa wali laki-laki, mengakhiri eksekusi publik dengan rajam dan sistem hukum baru menggantikan “pengadilan kanguru”, dimana prinsip-prinsip hukum dan keadilan diabaikan atau diselewengkan.

Tapi semua rencana itu kini terancam dengan jatuhnya kembali negara Asia selatan lagi di tangan kelompok militan Taliban.

Wesa sekarang mendapati dirinya menghadapi tekanan yang sama seperti ayah dan kakeknya, yang memulai perjuangan atas pendidikan di bawah pemerintah Taliban pada akhir 1990-an.

Aktivis berusia 29 tahun dan pendiri gerakan "Jalan Pena" tersebut telah memobilisasi dukungan dan sumber daya untuk pendidikan sejak 2009.

Dan dia bertekad tidak akan meninggalkan pekerjaannya atau anak-anaknya bangsanya.

Setelah keluarganya menentang Taliban di provinsi Kandahar pada 2004, rumah keluarga Wesa dibakar. Bisnis tradisional mereka yang menjual buah-buahan kering juga hilang selamanya.

Sadar akan apa yang telah mereka lalui, teman-teman dan bahkan orang asing meneleponnya untuk mendesak agar dia mencari keselamatan, katanya kepada The Independent dilansir Senin (6/9/2021).

“Suatu hari saya tahu saya bisa dibunuh karena pekerjaan saya. Saya telah kehilangan kekayaan dan bisnis keluarga saya. Itu tidak menghentikan saya untuk mendidik setiap anak, bahkan di sudut-sudut terpencil di pedesaan Afghanistan.”

“Jika Anda menginginkan perdamaian, jika Anda ingin mengakhiri kekerasan, jika Anda ingin Afghanistan berhenti menderita, maka Anda harus membiarkan anak-anak ini belajar,” tegasnya.

Menurutnya, mereka yang ingin Afghanistan menjadi damai dan mengakhiri 43 tahun perang tanpa akhir, harus membuat semua siswa termasuk perempuan Afghanistan untuk tetap bersekolah.

Gerakan Pen Path Wesa telah membuka kembali lebih dari 100 sekolah yang ditutup karena konflik, dan mengawasi pendidikan 57.000 anak.

Dia dianugerahi medali Meer Bacha Khan, salah satu penghargaan sipil nasional tertinggi di negara itu, oleh presiden Ashraf Ghani pada 2018 untuk kampanyenya.

Negara yang berbeda

Gulali (13 tahun), adalah salah satu dari penerima bantuan pendidikan ini. Dia menerima set pertama buku sekolah, tas dan beberapa alat tulis ketika beberapa sukarelawan dari Pen Path mendistribusikan bantuan ke sekolahnya.

Saat ini di standar keempat (setara dengan Kelas 4), dia bercita-cita menjadi pilot. Tetapi dia mengatakan gangguan konflik pada pendidikannya berarti dia telah melewatkan dua tahun yang penting.

“Jika sekolah saya tidak ditutup, saya akan belajar di kelas enam,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia tidak ingin sekolahnya ditutup lagi.

Permohonan ini digaungkan oleh orang tua. Aminullah Ghaznawi, ayah dari dua anak yang masih bersekolah dari provinsi Ghazni di Afghanistan tenggara. Sekarang dia mengaku bersiap untuk hari ketika dia harus berjuang agar anak-anaknya tetap bersekolah.

“Saya ingin anak-anak saya terus belajar, bahkan saya ingin terus menjadi guru. Saya tidak akan berhenti,” kata ayah yang juga berprofesi sebagai guru ini.

Dia termasuk di antara lebih dari 2.000 sukarelawan dalam gerakan Pen Path yang berpendapat bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari konflik yang ada.

Negara yang sekarang dikuasai Taliban, tida sama dengan yang diperintahnya pada akhir 1990-an. Ada seluruh generasi perempuan Afghanistan yang pada waktu itu masih balita, tetapi sekarang berpendidikan, dan mengetahui hak-hak mereka.

Zarlasht Wali (27 tahun), mengatakan kepada The Independent bahwa dia memiliki pesan untuk Taliban.

“Saya meminta Taliban membiarkan perempuan dan anak perempuan pergi ke sekolah dan universitas. Lebih dari setengah populasi kita terdiri dari wanita. Kita harus membiarkan mereka berdiri di atas kaki mereka sendiri dan tidak bergantung pada orang lain seperti 25 tahun yang lalu.”

Wali juga seorang sukarelawan seperti Wesa, dia pun juga memutuskan untuk tetap tinggal dan membantu di negaranya daripada berusaha melarikan diri, dan menekankan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia.

“Tidak masalah jika rezim berubah dan kami bahkan mungkin menghadapi ancaman dan pembatasan. Saya akan tinggal di sini karena saya percaya bahwa secara khusus saat ini orang-orang saya, terutama wanita dan anak-anak, melihat ke arah saya (berharap bantuan).”

Semua waspada

Wesa mengatakan semua orang waspada terhadap Taliban saat ini, dan dia tahu betul bahaya yang mereka hadapi.

Pada saat yang sama, dia mengaku bersedia memfasilitasi pembicaraan dengan milisi Taliban jika itu memungkinkan pendidikan anak-anak Pen Path berlanjut.

“Saya bersedia mengirim para pemimpin suku dan ulama untuk bernegosiasi untuk hak pendidikan anak-anak ini,” katanya.

Tetapi dia juga siap secara mental untuk apa yang terjadi jika Taliban menolak untuk bernegosiasi.

“Bahkan jika Taliban ingin saya berhenti, saya tidak akan berhenti. Saya bersedia berjuang lebih jauh dalam beberapa hari mendatang,” katanya.

Dia berencana pergi dalam minggu mendatang untuk memobilisasi dukungan untuk perpustakaan umum.

Taliban menurutnya perlu menyadari bahwa ini bukan Afghanistan pada 1990-an. “Ini didukung oleh generasi baru dan muda, yang akan menuntut pendidikan,” pungkasnya.

https://www.kompas.com/global/read/2021/09/07/194345870/cerita-guru-afghanistan-bersumpah-terus-mengajar-meski-tahu-terancam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke