JAKARTA, KOMPAS.com – Untuk mencapai net zero emission atau emisi nol karbon, pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) harus digenjot.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, EBT harus tumbuh daripada pertumbuhan kebutuhan energi itu sendiri.
Kendati demikian, Fabby yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengakui itu bukanlah hal yang mudah.
Baca juga: PLTA Kayan Cascade Bakal Tambah 3.300 MW Kapasitas EBT Terpasang
Oleh sebab itu, dibutuhkan diskusi yang intens untuk merumuskan peta jalan yang baik untuk menargetkan penerapan EBT yang ambisius.
“Memang tidak mudah. Negara-negara di seluruh dunia pun tidak punya silver bullet. Semua punya caranya sendiri-sendiri,” kata Fabby dalam webinar yang digelar Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) pada Rabu (18/8/2021).
Sementara itu, Ketua IMEF Singgih Widagdo menyarankan agar pemerintah menyusun peta jalan baru transisi energi agar tidak menimbulkan disrupsi ekonomi.
Singgih mengatakan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang berlaku saat ini masih berorientasi terhadap pemanfaatan energi fosil.
Baca juga: Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap Dalam RUU EBT
"KEN dan RUEN yang seharusnya menjadi dasar kebijakan energi sudah tidak prospektif sebagai peta jalan untuk mencapai target emisi karbon," kata Singgih dalam keterangannya sebagaimana dilansir Antara.
Singgih menjelaskan terobosan pemerintah melalui Grand Strategy Energi Nasional (GSEN) perlu diapresiasi.
Namun, karena GSEN tidak termasuk dalam nomenklatur perundangan-undangan, maka perlu diformalkan atau diadopsi substansinya ke dalam revisi KEN dan RUEN.
Dalam KEN dan RUEN yang terakhir disusun pada 2017, pemerintah masih menempatkan porsi minyak dan gas bumi serta batu bara mencakup 77 persen porsi bauran energi nasional pada 2025. Sedangkan porsi EBT hanya 23 persen.
Baca juga: Konversi ke EBT, PLN Bakal Pensiunkan PLTU Batubara Mulai 2026
Bahkan sampai 2050, porsi energi fosil justru masih dominan yaitu 69 persen. Sementara itu, porsi EBT hanya naik menjadi 31 persen.
Regulasi tersebut membuat Indonesia harus menghadapi tantangan besar untuk dapat merealisasikan target penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi.
Sebagai salah satu negara penanda tangan Persetujuan Paris, Indonesia menghadapi dua pekerjaan rumah yang besar yakni mengejar target pertumbuhan ekonomi 8,0 persen dan menekan emisi karbon.
IMEF menilai tanpa ada kejelasan peta jalan transisi energi nasional, tidak hanya target terancam meleset, tetapi ancaman disrupsi ekonomi dapat terjadi.
"Ketersediaan energi yang memadai menjadi prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi," ujar Singgih.
Baca juga: PLTU Bakal Disetop, Harga Listrik Pembangkit EBT Diyakini Tak Lagi Jadi Masalah
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.