TOKYO, KOMPAS.com - Kota-kota di Asia Timur akan menghadapi ancaman cuaca panas ekstrem dengan frekuensi lebih tinggi yang bisa mendatangkan efek buruk bagi lingkungan.
Greenpeace Asia Timur menganalisis ada 57 kota di seluruh daratan China, Korea, dan Jepang akan dilanda cuaca panas ekstrem.
Cuaca panas akan tiba lebih awal pada 2021 ini di lebih dari 80 persen kota yang diteliti di Asia Timur.
Baca juga: Ribuan Orang Yunani Lari dari Rumah di Tengah Kebakaran dan Gelombang Panas 42 Celsius
"Awal musim panas ini, suhu ekstrem di Guangdong, China memaksa pabrik-pabrik tutup, dan di Korea ratusan ribu ternak dilaporkan mati karena gelombang panas,” kata manajer proyek urgensi iklim Greenpeace Asia Timur, Mikyoung Kim.
"Selama 2 pekan terakhir kami kami telah melihat beberapa atlet Olimpiade pingsan karena serangan panas," ucapnya seperti yang dilansir dari Al Jazeera pada Kamis (5/8/2021).
Greenpeace yang merilis temuannya pada Kamis (5/8/2021), mengatakan cuaca panas ekstrem yang terjadi itu "bukan kebetulan", dan terjadi secara konsisten sesuai perubahan iklim di kawasan tersebut.
"Suhu yang berbahaya akan intens terjadi, kecuali pemerintah beralih dari penggunaan bahan bakar fosil menjadi energi bersih, seperti bahan bakar angin dan surya," terang Kim.
Baca juga: Yunani Dilanda Gelombang Panas Terburuk Sejak 1987, Picu Kebakaran Hutan Luas
Efek cuaca panas ekstrem telah terlihat di beberapa daerah lain di dunia dalam beberapa hari terakhir, seperti kebakaran hutan di Turki, Yunani, dan sejumlah negara di Eropa selatan, yang juga merembet ke daerah pemukiman.
Di Tokyo dan Seoul, musim panas pertama 2021 ini terjadi 11 hari lebih awal dibandingkan periode 2001-2020, kata laporan Greenpeace itu.
Sementara itu, musim panas di kota Sapporo, Jepang, bergeser 23 hari lebih awal, paling awal dari semua kota yang diteliti.
Di Korea Selatan, kota Gwangju mengalami perubahan paling drastis, dengan musim panas pertama datang 12,7 hari lebih awal dibanding periode 2001-2020.
Baca juga: Kena Gelombang Panas, Salmon di Columbia Seperti Direbus Hidup-hidup
Studi Greenpeace menyebutkan gelombang panas yang berlangsung di kawasan Asia Timur tercatat lebih parah dan memiliki frekuensi lebih tinggi.
Antara 2001 hingga 2020, di ibu kota Beijing, China frekuensi gelombang panas hampir 3 kali lebih tinggi dari pada 40 tahun sebelumnya.
Di Tokyo, suhu di musim panas telah mencapai 33 Celcius atau 2 kali lebih tinggi sejak 1960-an.
Temperatur ekstrem dan datangnya cuaca panas lebih awal sangat mempengaruhi manusia dan lingkungan mata pencaharian mereka, seperti pertanian dan ekosistem lingkungan secara keseluruhan, menurut laporan itu.