Hayer mengaku menjadi bagian dari rencana untuk membunuh Malcolm, tetapi bersaksi bahwa Johnson dan Butler tidak terlibat, menurut artikel New York Times dari 1 Maret 1966. Pada saat persidangan, Hayer tidak menyebutkan nama pelaku lainnya.
Tidak ada bukti yang menghubungkan Butler atau Johnson dengan kejahatan itu. Butler bahkan memiliki alibi saat pembunuhan itu.
Meskipun demikian, ketiga pria itu dinyatakan bersalah pada 1966 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Baru pada 1977 dan 1978, Hayer mengajukan dua pernyataan tertulis di mana dia terus menegaskan bahwa Butler dan Johnson tidak terlibat dalam pembunuhan itu.
Hayer, akhirnya menyebutkan empat orang, semua anggota NOI cabang Newark yang dia duga telah merencanakan pembunuhan Malcolm X pada Mei 1964.
Tapi penegakan hukum tidak pernah melakukan penyelidikan terhadap orang-orang ini dan kasusnya tidak pernah dibuka kembali.
Butler dibebaskan bersyarat pada 1985. Johnson dibebaskan pada 1989 dan meninggal pada 2009. Hayer dibebaskan pada 2010.
Baca juga: Informan Penegak Hukum AS Terkait dalam Plot Pembunuhan Presiden Haiti
Para sejarawan telah mengajukan pertanyaan tentang kematian Malcolm selama bertahun-tahun.
Beberapa orang menuduh, penegak hukum sangat sadar Malcolm berada dalam bahaya. Tetapi karena pemerintah memiliki kepentingan untuk merusak pekerjaannya, mereka tidak campur tangan untuk membantunya.
Yang lain menyatakan bahwa penolakan pemerintah untuk menyelidiki tersangka lain yang disebutkan oleh Hayer adalah bukti peran yang "lebih jahat" dalam pembunuhan itu.
Garrett Felber, seorang profesor sejarah Afrika-Amerika di Universitas Mississippi, setuju bahwa peran potensial pemerintah dalam pembunuhan itu patut diselidiki.
“Narasi bahwa (pembunuhan) karena perseteruan geng internal adalah kiasan kekerasan rasial bagi kelompok kulit hitam yang dimainkan berulang-ulang, dan negara akan lolos,” katanya.
Banyak yang mengadvokasi agar kasus Malcolm ditinjau dalam FBI’s 2006 Cold Case Initiative, dan Emmett Till Unsolved Civil Rights Crime Act 2008. Hukum itu memungkinkan kejahatan kekerasan yang diduga sebagai akibat dari kebencian rasial untuk dibuka kembali dan diselidiki.
Namun, kasus Malcolm tidak dipertimbangkan, karena tidak dipandang sebagai kejahatan ketidakadilan rasial.
Ali mengatakan itu adalah kesalahan. “Kita harus selalu mengingat pembunuhan Malcolm X di benak kita tentang contoh keterlibatan negara, yang bermuka dua, atau tindakan aktif menentang komunitas kulit hitam,” katanya.
Sorotan atas kasus ini muncul kembali setelah film dokumenter Netflix "Who Killed Malcolm X," ditayangkan perdana pada 7 Februari 2020.
Masih pada bulan yang sama, Jaksa Distrik Manhattan Cy Vance akhirnya mengumumkan bahwa kantornya akan meninjau kasus tersebut, bekerja sama dengan Innocence Project, sebuah organisasi nirlaba yang bekerja untuk membebaskan orang yang tidak bersalah.
Baca juga: Kisah Perang Dunia 1: Pembunuhan Franz Ferdinand dan Alasan Penembakannya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.