Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

KISAH MISTERI: Teka-teki Pembunuhan Aktivis HAM Ternama AS, Malcolm X

Dia dibunuh pada usia 39 tahun, saat berbicara di Audubon Ballroom di Harlem, New York, pada 21 Februari 1965.

Namun lebih dari setengah abad sejak hari pembunuhannya, masih banyak misteri yang belum terungkap jelas dan menjadi bahan perdebatan di Negeri “Uncle Sam”.

Tiga anggota Nation of Islam (NOI), yaitu Talmadge Hayer atau Thomas Hagan (alias Mujahid Abdul Halim), Norman Butler (alias Muhammad Abdul Aziz) dan Thomas Johnson (alias Khalil Islam), telah dihukum atas pembunuhan Malcolm X pada 1966.

NOI adalah organisasi keagamaan dan politik Afrika-Amerika yang dibentuk pada 1930. Kelompok itu memiliki tujuan meningkatkan kondisi ekonomi dan spiritual komunitas Afrika-Amerika di AS.

TIME dalam laporannya mengatakan bahwa penegakan hukum AS pada saat itu membingkai pembunuhan Malcolm sebagai dampak dari perselisihan, yang berlangsung antara dia dan NOI.

Tetapi terdakwa pembunuhan itu, Butler (Aziz) dan Johnson (Islam), secara konsisten menyatakan mereka tidak bersalah. Para ilmuwan yang telah mempelajari kasus ini juga memiliki keraguan soal pembunuhan itu.

Hijrah di penjara

Pada akhir 1940-an, Malcolm dipenjara atas tuduhan pencurian dan pembobolan. Dalam masa kurungan di penjara, dia kemudian masuk Islam.

Setelah dibebaskan pada 1952, dia bergabung dengan NOI dan menjadi salah satu pembicara dan pemimpin terpenting kelompok itu.

Pada akhir 1950-an, dia muncul sebagai tokoh paling berpengaruh terkait gerakan hak-hak sipil.

Dia menjadi aktivis komunitas Afrika-Amerika, yang populer karena keyakinannya tentang penentuan nasib sendiri dan pemberdayaan orang kulit hitam.

“Dia tidak mengkhotbahkan kekerasan, dia menyuarakan pertahanan diri,” kata sejarawan Zaheer Ali, peneliti utama Manning Marable 2011, penyusun biografi “Malcolm X: A Life of Reinvention”.

"Amerika tidak pernah berperilaku tanpa kekerasan kepada orang kulit hitam, jadi alih-alih menuduh Malcolm melakukan kekerasan, kita perlu bertanya kepada Amerika tentang kekerasannya sendiri."

Malcolm menonjol dari para pemimpin kulit hitam lainnya pada saat itu, sebagian besar karena latar belakangnya yang rumit. Yakni sebagai mantan narapidana, yang muncul sebagai pemimpin utama dari sebuah organisasi yang berkembang.

Perseteruan NOI

Namun, beberapa insiden telah membuatnya mempertanyakan hubungannya dengan organisasi tersebut, salah satunya soal perselingkuhan Pemimpin NOI Elijah Muhammad.

Dia juga sangat tidak setuju dengan keputusan NOI untuk tidak menanggapi tindakan kekerasan terhadap Muslim di kepolisian Los Angeles.

Pemimpin NOI lalu membungkamnya di publik setelah berbicara tentang pembunuhan Presiden John F Kennedy pada November 1963.

Malcolm berpendapat bahwa pembunuhan presiden ke-35 AS sebagai "chickens coming home to roost" (bumerang dari masyarakat yang penuh kekerasan).

NOI menetapkan aturan bahwa kelompoknya tidak mengomentari kematian Kennedy. Malcolm X yang tidak setuju atas kebijakan itu akhirnya meninggalkan NOI pada 1964.

Dampak dari kepergiannya dari NOI sangat serius. Banyak anggota memandangnya sebagai pengkhianat organisasi. Dia menerima banyak ancaman pembunuhan dari dalam kelompok itu.

Dibawah pengawasan intelijen

Malcolm kemudian memulai dua organisasi baru, Muslim Mosque Inc (MMI) dan Organization of Afro-American Unity (OAAU).

Seperti yang terjadi pada banyak organisasi dan aktivis HAM, Malcolm berada di bawah pengawasan terus-menerus oleh pemerintah federal dan negara bagian New York.

FBI pertama kali membuka penyelidikan atas Malcolm sejak Maret 1953. Pemantauan cermat dilakukan selama dekade berikutnya, dengan pengawasan informan di NOI, OAAU, dan MMI.

Departemen Kepolisian New York (NYPD), pada saat itu, memiliki unit khusus yang disebut Biro Layanan Khusus (BOSS) yang telah menyusup sebagai informan ke banyak organisasi politik New York, termasuk organisasi Malcolm.

Alih-alih membantu mengembangkan misi organisasi, informan itu bekerja melemahkan gerakan Malcolm. Mereka menciptakan dan memperburuk konflik dan benar-benar mempercepat keadaan yang akan menyebabkan kematiannya.

Pesan yang bocor ke publik kemudian menambah pertanyaan soal pembunuhannya. Terungkap bahwa pada 6 Juni 1964, Direktur FBI J Edgar Hoover mengirim telegram ke kantor FBI di New York City. Isinya mengatakan "lakukan sesuatu soal Malcolm X".

Dihujani 21 tembakan

Hanya seminggu sebelum pembunuhannya, rumah Malcolm X di wilayah Queens, New York City, dibom. Saat itu, dia, istrinya Betty Shabazz, dan keempat anak mereka tertidur di dalam.

Tidak ada yang pernah didakwa terkait dengan insiden tersebut. Meskipun tidak ada yang terluka, menjadi jelas bagi Malcolm dan orang-orang di sekitarnya bahwa dia dalam bahaya serius.

Saat Malcolm berbicara di Audubon Ballroom pada 21 Februari 1965, ada sekitar 400 orang menghadiri acara itu. Tetapi tidak ada kehadiran penegak hukum yang terlihat di dalam Audubon Ballroom. Ini tidak biasa karena polisi biasanya sangat terlihat di agenda besar.

Ketika Malcolm naik ke panggung untuk memulai pidatonya, perselisihan terjadi di antara para hadirin.

Saat Malcolm dan tim keamanannya mencoba menenangkan keributan, seseorang berlari ke atas panggung, mendekati Malcolm dan menembaknya.

Dua orang lainnya kemudian berlari ke atas panggung dan menembak juga. Malcolm ditembak sebanyak 21 kali.

Talmadge Hayer ditembak di kaki oleh seorang pengawal dan ditangkap oleh anggota kerumunan ketika dia mencoba melarikan diri sebelum polisi tiba.

Dua tersangka lainnya, Butler dan Johnson, ditangkap seminggu kemudian setelah para saksi diduga mengidentifikasi mereka sebagai pria bersenjata lainnya. Butler dan Johnson adalah anggota terkemuka dari Harlem NOI.

Tersangka punya alibi

Narasi NYPD “adalah bahwa NOI membunuh Malcolm. Mereka mengira ini hanya kejahatan kecil-kecilan antara dua rival," kata Ali.

Namun, selama persidangan berikutnya, baik Johnson dan Butler mempertahankan pernyataannya bahwa mereka tidak bersalah.

Hayer mengaku menjadi bagian dari rencana untuk membunuh Malcolm, tetapi bersaksi bahwa Johnson dan Butler tidak terlibat, menurut artikel New York Times dari 1 Maret 1966. Pada saat persidangan, Hayer tidak menyebutkan nama pelaku lainnya.

Tidak ada bukti yang menghubungkan Butler atau Johnson dengan kejahatan itu. Butler bahkan memiliki alibi saat pembunuhan itu.

Meskipun demikian, ketiga pria itu dinyatakan bersalah pada 1966 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Baru pada 1977 dan 1978, Hayer mengajukan dua pernyataan tertulis di mana dia terus menegaskan bahwa Butler dan Johnson tidak terlibat dalam pembunuhan itu.

Hayer, akhirnya menyebutkan empat orang, semua anggota NOI cabang Newark yang dia duga telah merencanakan pembunuhan Malcolm X pada Mei 1964.

Tapi penegakan hukum tidak pernah melakukan penyelidikan terhadap orang-orang ini dan kasusnya tidak pernah dibuka kembali.

Butler dibebaskan bersyarat pada 1985. Johnson dibebaskan pada 1989 dan meninggal pada 2009. Hayer dibebaskan pada 2010.

Peran potensial pemerintah

Para sejarawan telah mengajukan pertanyaan tentang kematian Malcolm selama bertahun-tahun.

Beberapa orang menuduh, penegak hukum sangat sadar Malcolm berada dalam bahaya. Tetapi karena pemerintah memiliki kepentingan untuk merusak pekerjaannya, mereka tidak campur tangan untuk membantunya.

Yang lain menyatakan bahwa penolakan pemerintah untuk menyelidiki tersangka lain yang disebutkan oleh Hayer adalah bukti peran yang "lebih jahat" dalam pembunuhan itu.

Garrett Felber, seorang profesor sejarah Afrika-Amerika di Universitas Mississippi, setuju bahwa peran potensial pemerintah dalam pembunuhan itu patut diselidiki.

“Narasi bahwa (pembunuhan) karena perseteruan geng internal adalah kiasan kekerasan rasial bagi kelompok kulit hitam yang dimainkan berulang-ulang, dan negara akan lolos,” katanya.

Banyak yang mengadvokasi agar kasus Malcolm ditinjau dalam FBI’s 2006 Cold Case Initiative, dan Emmett Till Unsolved Civil Rights Crime Act 2008. Hukum itu memungkinkan kejahatan kekerasan yang diduga sebagai akibat dari kebencian rasial untuk dibuka kembali dan diselidiki.

Namun, kasus Malcolm tidak dipertimbangkan, karena tidak dipandang sebagai kejahatan ketidakadilan rasial.

Ali mengatakan itu adalah kesalahan. “Kita harus selalu mengingat pembunuhan Malcolm X di benak kita tentang contoh keterlibatan negara, yang bermuka dua, atau tindakan aktif menentang komunitas kulit hitam,” katanya.

Sorotan atas kasus ini muncul kembali setelah film dokumenter Netflix "Who Killed Malcolm X," ditayangkan perdana pada 7 Februari 2020.

Masih pada bulan yang sama, Jaksa Distrik Manhattan Cy Vance akhirnya mengumumkan bahwa kantornya akan meninjau kasus tersebut, bekerja sama dengan Innocence Project, sebuah organisasi nirlaba yang bekerja untuk membebaskan orang yang tidak bersalah.

https://www.kompas.com/global/read/2021/07/15/231519970/kisah-misteri-teka-teki-pembunuhan-aktivis-ham-ternama-as-malcolm-x

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke