NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Kelompok hak asasi manusia dan orang-orang di Myanmar telah mengkritik kesepakatan antara Min Aung Hlaing, jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta militer hampir tiga bulan lalu, dengan para pemimpin Asia Tenggara untuk mengakhiri krisis negara yang dilanda kekerasan itu.
Kesepakatan itu disebut gagal memulihkan demokrasi, dan meminta pertanggungjawaban tentara atas pembunuhan ratusan warga sipil.
Baca juga: Komandan Militer Tertinggi Myanmar Keluarkan Memo Internal Bunuh Pengunjuk Rasa
Tidak ada protes langsung di kota-kota besar Myanmar sehari setelah kepala angkatan bersenjata terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan para pemimpin ASEAN, dan menyetujui rencana lima poin. Menyerukan diakhirinya segera kekerasan dan kekerasan agar "semua pihak" menahan diri.
"Pernyataan ASEAN adalah tamparan di wajah orang-orang yang telah dianiaya, dibunuh dan diteror oleh militer. Kami tidak membutuhkan bantuan Anda dengan pola pikir dan pendekatan itu," kata seorang pengguna Facebook bernama Mawchi Tun pada Minggu (25/4/2021).
Menurut pernyataan dari Brunei, ketua ASEAN saat ini, konsensus dicapai dengan lima poin, untuk mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, penerimaan bantuan, utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi diskusi dan kunjungan berikutnya ke Myanmar.
Pernyataan itu tidak memiliki batas waktu, dan tidak menyebutkan tahanan politik, meskipun pernyataan ketua mengatakan KTT ASEAN itu "mendengar seruan" untuk pembebasan mereka.
“ASEAN tidak dapat menutup-nutupi fakta bahwa tidak ada kesepakatan bagi junta untuk membebaskan para tahanan politik yang saat ini ditahan. Termasuk tokoh politik senior yang mungkin akan terlibat dalam penyelesaian yang dinegosiasikan untuk krisis tersebut,” Phil Robertson, Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch, mengatakan dalam sebuah pernyataan melanjir Al Jazeera pada Minggu (25/4/2021).
Myanmar mengalami krisis pada 1 Februari, ketika para jenderal menangkap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan anggota Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa. Militer lalu mengambil alih kekuasaan itu untuk diri mereka sendiri.
Kudeta tersebut memicu gerakan pembangkangan sipil dan protes massa di seluruh negeri, yang ditanggapi oleh pasukan keamanan peningkatan kekerasan.
Baca juga: Ramadhan dalam Cengkeraman Militer Myanmar: Rakyat Takut ke Masjid
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok advokasi yang melacak penangkapan dan kematian, mengatakan 748 orang telah terbunuh sejak pemerintahan Aung San Suu Kyi digulingkan. Catatannya menunjukkan 3.389 orang ditahan.
"Pernyataan tidak mencerminkan keinginan orang mana pun," tulis Nang Thit Lwin dalam komentarnya pada berita di media domestik Myanmar tentang kesepakatan ASEAN.
"(Yaitu) Untuk membebaskan narapidana dan tahanan, untuk bertanggung jawab atas nyawa yang meninggal, untuk menghormati hasil pemilihan dan memulihkan pemerintahan sipil yang demokratis," protesnya.
Aaron Htwe, pengguna Facebook lainnya, menulis: "Siapa yang akan membayar harga untuk lebih dari 700 nyawa yang tidak bersalah."
Militer telah mempertahankan kudeta dengan menuduh bahwa kemenangan telak NLD dalam pemilihan November adalah penipuan, meskipun komisi pemilihan menolak keberatan tersebut.
Pertemuan ASEAN adalah upaya internasional terkoordinasi pertama untuk meredakan krisis di Myanmar, yang bertetangga dengan China, India dan Thailand dan telah bergejolak sejak kudeta.