Peternak terkenal itu memutuskan untuk mengambil kembali Stephen.
"Frank Thompson mendengar berita bahwa saya dalam perjalanan ke sekolah, tapi diambil di dekat Wallal, dan dibawa ke Port Hedland," kata Stephen.
"Frank dan dua paman saya datang dengan kuda menjemput saya," katanya.
Kapal MV Koolinda dijadwalkan berangkat dalam waktu 3 hari setelah Frank tiba di Port Hedland.
Ia pun langsung mengadopsi Stephen dan menyelamatkan hidupnya dari kerja paksa.
Baca juga: Pohon Keramat Aborigin Ditebang untuk Jalan Raya, Publik Australia Marah
Sejak itulah Stephen membangun reputasinya sebagai seorang peternak dan pemimpin di Pardoo Station. Namun, kehidupan peternakan di Pilbara bukannya tanpa tantangan.
"Tidak pernah ada uang saat itu. Pekerja pribumi tak pernah dibayar," katanya.
"Saya mulai bekerja sejak masih kecil, tak lama setelah kehilangan ayah saya," ujarnya.
"Pekerjaan pertama saya adalah di Pardoo, di toko besar, di mana mereka memberi saya satu kunci pas untuk mengencangkan semua baut untuk tukang kayu," jelas Stephen.
"Kemudian saya dipromosikan ke pekerjaan besar. Saya membuat wisma tempat tinggal, yang masih ada di sana sampai hari ini," katanya.
Bekerja berjam-jam di bawah suhu 40 derajat dengan imbalan sangat kecil merupakan hal yang biasa dialami pekerja pribumi.
Pada 1 Mei 1946, sebanyak 800 pekerja termasuk Stephen, meninggalkan peternakan dan memulai Pemogokan Pilbara.
Tuntutan mereka untuk upah yang adil dan kondisi kerja yang baik, telah membuka jalan bagi diakuinya hak-hak pribumi di Australia.
"Kami menginginkan hak untuk hidup normal," kata Stephen, generasi terakhir dari yang tertua.
"Kami melakukan pekerjaan besar, mengumpulkan ternak, semuanya, dan kami menginginkan upah lebih baik. Jika bukan karena pemogokkan itu, kami tidak akan berada di sini hari ini," ujarnya.
Setelah itu, Stephen bergabung dengan sahabatnya bernama Peter Coppin, menjalankan peternakan Yandeyarra.
Kedua pria ini kemudian dijuluki sebagai Nomor Satu dan Nomor Dua.
Pada 2021, julukan Nomor Dua masih melekat pada Stephen dan dikenal luas di Pilbara.
Baca juga: Suku Aborigin Ternyata Punya Motif Batik yang Mirip Indonesia
Stephen mengaku minatnya untuk menjadi penunggang kuda tak bisa dihindarkan.
"Saya ini penunggang kuda sepanjang hidup saya. Akhirnya saya menjadi joki," katanya.
Pacuan kuda di Pilbara menjadi salah satu kegiatan ketika pekerjaan di peternakan berhenti.
Keluarga Aborigin menikmati momen ini karena mereka dapat terhubung kembali di arena pacuan kuda.