Berdasarkan percakapannya dengan perwakilan-perwakilan etnik di Myanmar, ia menyimpulkan mereka tidak menghendaki desentralisasi pemerintahan ala Indonesia yang digulirkan sesudah reformasi.
"Karena menurut mereka, desentralisasi itu kekuasaan penuh tetap ada di tingkat nasional dan mereka hanya diberi kekuasaan yang sifatnya sedikit."
Baca juga: Korban Tewas dari Kudeta Myanmar telah Lampaui 500 Orang, Para Pejabat di Dunia Marah
Seorang insinyur dan aktivis muda dari etnik mayoritas Bamar, mengaku kini sudah waktunya mengakomodir gagasan kelompok minoritas untuk membentuk federalisme dalam negara kesatuan Myanmar.
"Mereka selalu dinafikkan hak-hak dasar manusia mereka dan saya juga merasa bahwa mereka tidak diakui oleh kami, termasuk oleh orang-orang Bamar. Fakta bahwa kami tinggal diam karena tidak berdampak pada kami, itu membuat kami sangat sedih sekarang," June Khine membeberkan pemikirannya dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Namun dengan adanya kudeta, perjanjian damai antara pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata dibatalkan oleh junta militer.
Bahkan militer melancarkan serangan terhadap posisi gerilyawan Persatuan Nasional Karen yang beroperasi di wilayah timur, berbatasan dengan Thailand. Sekitar 3.000 penduduk Karen dilaporkan mencari perlindungan ke wilayah Thailand.
Hingga kini Tatmadaw belum memberikan keterangan terkait dengan serangan tersebut, tetapi sebelumnya selalu menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata merupakan satu-satunya lembaga yang mampu menjamin persatuan nasional.
Dr Sasa, utusan parlemen Myanmar yang digulingkan untuk PBB baru-baru ini berusaha merangkul komunitas Rohingya.
Selama ini sebutan 'Rohingya' tak diakui dalam daftar etnik di Myanmar dan asal-usulnya dianggap sebagai pendatang dari Bangladesh. Milisi Buddha bersama aparat keamanan menyerang desa-desa Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Ketika mengomentari kebakaran dahsyat di kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, yang menewaskan banyak orang pada Senin (22/3/2021), dr Sasa segera mencuit.
"Saya menyampaikan belasungkawa mendalam kepada keluarga-keluarga dari saudara dan saudari Rohingya yang telah kehilangan orang-orang tercinta. Saya tak sabar menunggu kepulangan Anda dan hidup berdampingan secara damai," tulisnya.
Baca juga: Pimpinan Junta Militer Myanmar Gelar Pesta Mewah pada Hari Paling Berdarah sejak Kudeta
Bagi seorang pengungsi Rohingya di Indonesia, pengalaman pahit yang dialaminya tak terlupakan sehingga ia tidak tahu apakah akan pernah bisa pulang.
"Di Myanmar, Buddhis membakar semua kampung kita. Selain itu, kita tidak boleh tinggal di sana. Kata mereka kita bukan Rohingya, tidak ada Rohingya di Myanmar. Kata mereka, kita orang Bangla," tutur Muhammad Ismail.
Padahal, masih menurutnya, nenek moyang dan keluarganya turun temurun hidup di Myanmar dan baru meninggalkan negara itu untuk lantas mengarungi samudra setelah keselamatannya terancam.
Isu Rohingya telah mencoreng nama Myanmar di mata internasional, tak terkecuali Aung San Suu Kyi dan para petinggi militer. Bahkan sebelum kudeta, Min Aung Hlaing sendiri telah diganjar dengan sanksi oleh Amerika Serikat.
Sementara Muhammad Ismail masih menjadi pengungsi dan pembangunan kebangsaan Myanmar belum terwujud, korban meninggal dunia akibat ditembak aparat keamanan terus berjatuhan dalam skala mengkhawatirkan.
Hingga Rabu (31/3/2021) jumlah korban meninggal melewati 520 orang, termasuk anak-anak, menurut organisasi pemantau Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP).
Dalam pidato peringatan Hari Angkatan Bersenjata atau Tatmadaw pada tanggal 27 Maret, Panglima Jenderal Senior Min Aung Hlaing, membela keputusannya menggulingkan pemerintahan sah hasil pemilu pimpinan NLD.
"Tatmadaw tak punya pilihan lain kecuali memikul tanggung jawab negara dengan cara-cara sah karena pemrerintahan pimpinan NLD melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum dalam pemilu tahun 2020.
"Setelah masa keadaan darurat berakhir, pemilu yang jurdil akan digelar dan akan dilanjutkan dengan penyerahan tanggungjawab negara."
Sebagian besar rakyat Myanmar tidak percaya dengan janji-janji penguasa militer itu, apalagi ia tidak pernah menetapkan tanggal pemilu sejauh ini.
Namun satu hal yang setidaknya membuat Khin dan June Khine senang, mereka merasa bersaudara dan sama-sama menjadi bagian dari bangsa Myanmar.
Baca juga: Kelompok Pemberontak Rebut Bukit Strategis dari Militer Myanmar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.