NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Berbagai kalangan masyarakat Myanmar dari etnik dan latar belakang agama yang berbeda kini bersatu menentang kudeta militer di Myanmar, termasuk kaum minoritas yang selama ini merasa termarjinalkan di banyak bidang.
Khin, seorang perempuan dari komunitas Muslim di Yangon, kota terbesar Myanmar, menangis ketika menceritakan bagaimana ia bahu-membahu mengumpulkan dan menyalurkan bantuan kepada gerakan pembangkangan sipil (civil disobedience movement, CDM).
Gotong royong ia lakukan dengan sesama warga tanpa memandang etnik maupun agama, sekatan yang selama ini amat kental.
Baca juga: 43 Anak-anak Tewas di Myanmar, Korban Kejahatan Junta Militer
"Dulu mereka membenci Muslim secara sengaja. Kami tidak bisa beramah tamah, kami membenci satu sama lain. Hampir semua masalah yang timbul dikaitkan dengan agama," ungkapnya seraya menambahkan bahwa sebutan "mereka" ini mengacu pada penduduk mayoritas yang beragama Buddha.
"Mereka kini tahu kami semua bersaudara, semuanya satu keluarga," tambah Khin dengan suara tersekat.
Penuturan Khin dikukuhkan oleh June Khine.
Perempuan penganut Buddha itu mengakui meskipun kudeta membawa banyak kemunduran, peristiwa tersebut telah pula menyatukan berbagai etnik dan agama serta memberi ruang untuk saling memahami.
"Sebelumnya etnik-etnik minoritas kesulitan bertahan hidup ketika militer menyasar mereka, ketika terjadi perang saudara terus menerus di daerah mereka.
"Karena sekarang kami mulai memahami bagaimana rasanya hidup setiap hari di bawah penumpasan dengan kekerasan dan pembunuhan. Kami mulai bersimpati dan menyampaikan permintaan maaf yang sudah lama terlambat kepada mereka. Dan mereka menerima kami," kata June.
Baca juga: Myanmar di Ambang Perang Saudara Berskala Besar, Dewan Keamanan PBB Diminta Bertindak
Khin dan warga Muslim lain menerima permintaan maaf antara lain lewat sosial media.
"Sekarang tidak seperti itu lagi. Mereka mendukung kami. Di Facebook, mereka mendukung kami dan menyampaikan pesan 'maafkan kami atas perlakuan di masa lalu, kami tidak tahu apa-apa'. Itu kata mereka," jelasnya seraya buru-buru menambahkan bahwa ia yakin permintaan maaf tersebut adalah ungkapan tulus.
Khin, 52, dan June Khine, 24, berasal dari etnik Bamar, suku terbesar dari total penduduk sekitar 54 juta jiwa.
Jika Khin dilahirkan di keluarga Muslim dan kerap disebut Muslim Bamar, June Khine menganut agama utama di Myanmar, Buddha.
Keduanya tinggal di kota terbesar Yangon, mereka mengaku menyesal sebesar-besarnya atas ketidakakuran dalam hidup berdampingan dalam masyarakat selama ini, bahkan justru condong mengedapankan perbedaan.
Di luar suku Bamar, terdapat etnik-etnik minoritas yang tersebar di seluruh wilayah negara itu, mirip dengan kondisi di Indonesia. Tentu dengan perbedaan-perbedaannya.
Berikut sejumlah hal menarik tentang masyarakat Myanmar, sebagian mirip dengan Indonesia.
Myanmar secara alami terdiri dari masyarakat yang majemuk dengan 135 etnik dengan bahasa masing-masing. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding 1.340 suku bangsa di Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilansir Badan Pusat Statistik.
Sebagai agama terbesar, Buddha dianut oleh etnik mayoritas Bamar, disusul dengan Shan, Mon, dan etnik Rakhine, suku yang tinggal di negara bagian Rakhine.
Baca juga: Takut Dijatuhi Bom, Warga Myanmar Gali Bunker Perlindungan
Adapun Rohingya, pada umumnya tinggal di Negara Bagian Rakhine, secara resmi tidak diakui sebagai warga negara, meskipun keberadaan mereka di Myanmar secara turun-temurun tak dapat dinafikkan.
Pada tahun 2017, Angkatan Bersenjata atau Tatmadaw menggempur warga sipil Rohingya. Dalihnya, menumpas terorisme.
Operasi militer terhadap gerilyawan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) tersebut dilaporkan menewaskan ribuan orang dan menyebabkan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Hingga baru-baru ini, sebagian besar orang Bamar mengabaikan atau bahkan menolak dugaan kekejaman yang dilakukan oleh Tatmadaw terhadap Rohingya dan minoritas-minoritas lain yang menuntut persamaan hak dan pengelolaan sumber daya alam, seperti di Negara Bagian Kachin, Shan, dan Karen.
"Pada saat ini musuh bersama kami hanya satu yaitu militer Myanmar itu sendiri. Tak seorang pun ingin hidup di bawah rezim militer, termasuk Bamar dan etnik-etnik serta agama-agama minoritas, sebab mereka akan semakin terpuruk di bawah pemerintahan militer karena akan semakin susah mewujudkan cita-cita mereka," jelas June Khine.