WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Amerika Serikat (AS) pada Rabu (10/3/2021) menjatuhkan sanksi kepada dua anak dewasa pemimpin militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing.
Selain itu, enam perusahaan yang mereka pegang juga tak luput dari sanksi, akibat kudeta Myanmar sejak 1 Februari dan membunuh para demonstran.
Kementerian Keuangan AS mengatakan, mereka memasukkan Aung Pyae Sone dan Khin Thiri Thet Mon ke daftar hitam (blacklist).
Baca juga: Korban Tewas Demo Myanmar Sedikitnya 70 Orang, Penyelidik: Rezim Pembunuh
Kemudian Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan, akan lebih banyak hukuman yang keluar, sebagai tanggapan penahanan 1.700 orang lebih dan tindakan keras yang menewaskan sedikitnya 53 orang di demo Myanmar.
"Kami tidak akan segan mengambil tindakan lebih lanjut terhadap mereka yang memicu kekerasan dan menekan keinginan rakyat," kata Blinken dikutip dari Reuters.
Sanksi yang dijatuhkan pada Rabu itu adalah yang terbaru dalam serangkaian hukuman Washington terhadap militer Myanmar.
Reuters mewartakan, pada dasarnya sanksi berupa pembekuan semua aset di AS dari mereka yang masuk daftar hitam, serta melarang orang-orang Amerika berurusan dengan mereka.
Baca juga: Suster Ann Roza Kisahkan Keberaniannya Kembali Berlutut di Depan Aparat Myanmar
Kelompok aktivis Justice for Myanmar menerangkan pada Januari, Min Aung Hlaing yang menjadi panglima tertinggi sejak 2011 telah menyalahgunakan kekuasaannya guna menguntungkan keluarganya sendiri.
Keuntungan itu antara lain berwujud akses ke sumber daya negara dan impunitas total militer.
Keenam perusahaan Myanmar yang masuk daftar hitam AS tadi termasuk A&M Mahar yang dipegang Aung Pyae Sone.
Justice for Myanmar menerangkan, A&M menawarkan akses perusahaan farmasi asing ke pasar Myanmar, dengan mencari persetujuan dari BPOM Myanmar.
Baca juga: Cara Perempuan Myanmar Lawan Junta Militer dengan Takhayul Sarung
John Sifton direktur advokasi Asia di Human Rights Watch memuji kebijakan Kemenkeu AS yang secara langsung menyentuh kekayaan Min Aung Hlaing, tetapi juga meminta tindakan yang lebih kuat.
"Ini bukan hukuman yang kami yakini akan membawa perubahan perilaku."
"Kami menyarankan mereka fokus ke aliran pendapatan yang lebih besar, dan kalau dipotong akan jauh lebih menyakitkan bagi militer sebagai sebuah institusi," menurut Sifton.
Ia mengacu pada pundi-pundi uang dari proyek-proyek minyak dan gas yang melibatkan perusahaan internasional.
Baca juga: Mengenal Min Aung Hlaing, Jenderal Senior yang Jadi Pemimpin Sementara Myanmar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.