Keran kebebasan mulai dibuka pelan-pelan sesudah ada pemerintahan transisi 2011 hingga pemerintahan demokratis pertama hasil pemilu 2015, tetapi digulingkan lewat kudeta 1 Februari 2021.
Pertaruhan ketiga adalah kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di era pemerintahan sipil itu.
"Karena sebelum 2015, hotel berbintang lima di Myanmar hanya 3. Sekarang sudah puluhan. Gaya hidup masyarakat Myanmar sekarang sudah sangat modern. Angka pertumbuhan ekonomi mereka bahkan melampaui Indonesia, sedemikian pesat." Demikian Ito menjelaskan.
Dengan adanya kudeta, maka konsekuensinya para investor kemungkinan menahan diri, sehingga perekonomian bakal kembali terpuruk, apalagi jika semakin banyak negara menjatuhkan sanksi kepada junta militer sebagai respons atas perebutan kekuasaan.
Alih-alih menjatuhkan junta militer sebelumnya, sanksi internasional secara bertubi-tubi justru menyengsarakan penduduk dan mengucilkannya dari percaturan dunia.
Baca juga: Korban Demo Myanmar Makin Bertambah, 10 Demonstran Tewas
Menurut Gubernur Lemhanas, Letjen (Purn) Agus Widjojo, sulit bagi junta militer Myanmar untuk melepaskan kekuasaan karena ada gerakan anti-kudeta yang sekarang terjadi.
Ini dikarenakan militer negara itu belum siap, berbeda dengan kondisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesudah rezim Orde Baru tumbang.
"Yang memudahkan reformasi militer adalah karena TNI menginisiasi reformasi dirinya dari dalam, dari dirinya sendiri sehingga TNI tahu apa yang perlu direformasi dan nilai-nilai apa yang perlu dipertahankan," jelas Agus Widjojo.
Dikatakannya proses tersebut berjalan lancar pula.
"Karena pada waktu itu ada vakum de facto dari otoritas politik ketika Presiden Suharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998 sehingga TNI agak leluasa tanpa harus campur tangan, tarik ulur kepentingan politik."
Di era reformasi, lanjutnya, TNI tidak melibatkan diri dalam reformasi politik melainkan menyerahkannya kepada elite politik.
"Militer Myanmar belum membuka diri bagi proses demokratisasi," tambah Agus Widjojo. Pada 2007, ia diutus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghadiri pemakaman Perdana Menteri Soe Win, yang juga berasal dari militer.
Berdasarkan konstitusi 2008 yang disusun pemerintahan peralihan militer, Tatmadaw atau Angkatan Bersenjata Myanmar secara otomatis mendapat alokasi 25 persen kursi parlemen, mirip dengan Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR sebelum dihapus pada 2004.
Selain alokasi otomatis, Tatmadaw juga mempunyai proksi di legislatif melalui Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP). Ini mirip dengan Golkar di zaman Orde Baru.
Di tataran eksekutif, militer mendapat jatah tiga pos kabinet strategis; menteri urusan perbatasan, menteri pertahanan dan menteri dalam negeri.
Sehari sesudah kudeta, junta militer Myanmar langsung membentuk Dewan Pemerintahan Negara, beranggotakan 11 orang dan dipimpin langsung oleh Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Pemerintahan de facto itu menjanjikan pemilu dalam tempo setahun, kendati belum menetapkan tanggal dan memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun pula.
Setidaknya jika dilihat dari massa yang berunjuk rasa atau melakukan gerakan pembangkangan sipil, sebagian besar publik Myanmar bersikukuh pemilu baru tidak diperlukan.
Sebaliknya, mereka menuntut kekuasaan dikembalikan ke pemerintahan sipil hasil pemilihan umum.
"Kami meyakini betul gerakan pembangkangan sipil ini akan berhasil, mungkin dua hingga tiga bulan lagi kami akan menang. Kami harus menang," pungkas Khin Lay, salah seorang pemimpin masyarakat madani Myanmar, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia melalui sambungan telepon.
Baca juga: Setelah Digulingkan, Presiden Myanmar Hadapi 3 Dakwaan