Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Protes Kudeta Militer di Myanmar Makin Besar, Ingatkan Peristiwa 1998 di Indonesia

Kompas.com - 04/03/2021, 10:17 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

"CDM oleh PNS dampaknya paling signifikan karena roda pemerintahan tidak bisa menggelinding tanpa mereka. Oleh karena itu pemimpin militer memerintahkan kepada pegawai negeri lewat medianya untuk kembali bekerja," jelas Khin Lay, seorang pemimpin masyarakat madani di Myanmar.

Mereka yang mengabaikan perintah tentu menanggung akibat.

"Jika mereka menolak, maka militer akan mengambil tindakan. Oleh karena itulah, setiap malam, sosok-sosok penting di kalangan PNS diciduk. Mereka ditangkapi," tambahnya.

Sejauh ini kubu pengunjuk rasa tampak menahan diri untuk tidak melancarkan serangan frontal kepada aparat keamanan atau melakukan pengrusakan.

Terinspirasi konsep ahimsa atau tanpa kekerasan yang diusung Mahatma Gandhi, masyarakat Myanmar mengedepankan taktik-taktik yang berisiko rendah untuk mengobarkan semangat pembangkangan sipil.

Menurut Khin Lay, strategi itu sudah mengakar di masyarakat dan teruji dalam berbagai pergolakan sebelumnya.

Mereka di antaranya menunjukkan salam tiga jari ala novel dan film Hunger Games, sebagai isyarat perlawanan.

Di jalan-jalan, pengendara mengemudikan mobil dengan pelan, atau bahkan membuatnya seolah-olah mogok sehingga mengganggu lalu lintas.

Setiap pukul 20.00, warga keluar rumah untuk memukul-mukul panci dan wajan sebagai simbol menolak bala.

Mayoritas adalah anak muda dalam kelompok generasi Z.

"Artinya generasi di mana mereka muda sekali, produk dari perubahan politik-ekonomi selama sembilan tahun ini yang membuka kembali kran demokrasi, ekonomi dan partisipasi," kata pengamat politik Myanmar dari Universitas Flinders, Australia, Dr Priyambudi Sulistiyanto.

Baca juga: Menolak Mundur, Militer Myanmar Nyatakan Siap Hadapi Sanksi dan Isolasi

Artikulatif dan paham geopolitik

Penulis buku Thailand, Indonesia and Burma in Comparative Perspective itu mencatat bahwa gerakan di Myanmar mirip dengan gerakan prodemokasi di Thailand dan Hong Kong yang tak mempunyai kepemimpinan sentral wakil semua elemen.

"Tapi dari sumber-sumber yang kita lihat dari media dan media sosial, mereka sangat artikulatif dan paham sekali tentang percaturan geopolitik," jelas Dr Priyambudi dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.

Keberhasilan perjuangan mereka antara lain tergantung pada konsolidasi seluruh elemen sipil dalam masyarakat Myanmar. Itulah argumen yang dikemukan oleh mantan aktivis '98, Syafiq Ali, berdasarkan pengalaman Indonesia.

"Kita tahu ada pertemuan. Pak Harto membantuk Dewan Reformasi, mengundang tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Amien Rais, Nurcholis Madjid, Kyai Yafie dan banyak sekali lainnya. Semua yang diundang memang tidak mau mendukung Pak Harto," kata Syafiq.

"Mereka menyarankan tuntutan mahasiswa atau rakyat pada umumnya bahwa sebaiknya Pak Harto harus mundur," jelasnya.

Adapun wacana demokratisasinya sendiri sudah lama marak sebelum Presiden Suharto lengser pada 21 Mei 1998. Kondisi tersebut berbeda dengan Myanmar.

"Di Myanmar civil society (masyarakat madani) tidak selincah civil society di Indonesia dan wacana tentang demokrasi praktis tidak ada. Karena warga Myanmar yang bersekolah keluar negeri tidak kembali ke Myanmar karena tahu pasti akan dibungkam sehingga bermukim di negara-negara lain." Demikian dikatakan Letjen (Purn) Agus Widjojo, gubernur Lemhanas.

Baca juga: Ketegangan di Myanmar Semakin Tinggi, Hampir 40 Orang Tewas dalam Sehari

Hotel bintang lima dulu hanya lima

Bagaimanapun, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertaruhan kubu prodemokrasi di Myanmar dewasa ini.

Pertama, menurut mantan Duta Besar RI untuk Myanmar periode 2013-2018, Ito Sumardi, menyangkut rasa keadilan karena suara mereka melalui pemilu pada 8 November 2020 dirampas oleh militer.

Berbarengan dengan perebutan kekuasaan, beberapa sosok yang disanjung, terutama pemimpin nasional Aung San Suu Kyi, ditahan.

Penasihat Negara yang kedudukannya lebih tinggi dari presiden tersebut didakwa dalam kasus pidana yang tampak sepele, bukan lagi sebagai tahanan politik.

Kedua, masyarakat Myanmar khawatir tak akan menikmati kebebasan lagi sebagaimana pengalaman mereka di bawah junta militer selama beberapa dekade sebelumnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com