Menurutnya, ada beberapa kasus di mana hal itu tidak ada dalam undang-undang. Dalam beberapa kasus Anda menemukan orang-orang meminta kepada wanita memohon izin “wali”, bahkan untuk keperluan melamar pekerjaan atau mencari apartemen.
"Hal itu bahkan tidak ada dalam hukum yang berlaku (di Dubai). Tapi ketentuan itu paling terlihat dalam dalam hal pernikahan dan perceraian," katanya.
Baca juga: Inggris Akan Bantu Putri Latifa, Anak Syekh Dubai yang Disekap Keluarganya
Perceraian juga jauh lebih sulit bagi wanita. Sementara pria bisa menceraikan istrinya secara sepihak. Wanita yang ingin bercerai harus mengajukan permohonan pengadilan.
Kekerasan dalam rumah tangga juga jadi bidang lain di mana perempuan terus mengalami diskriminasi.
Meski demikian, pihaknya melihat ada beberapa perubahan hukum yang positif dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya di permukaan.
Misalnya, hukum pidana UEA yang sebelumnya digunakan untuk secara eksplisit mengizinkan pria melakukan kekerasan terhadap istri mereka. Hukum ini telah dihapus pada 2016.
Selain itu, persyaratan dalam Undang-Undang Status Pribadi bagi wanita untuk "patuh" kepada suaminya dicabut pada 2019. Maret lalu sebuah Undang-undang baru mulai berlaku, yang memungkinkan perempuan mengakses permohonan perlindungan untuk pertama kalinya. Ada reformasi hukum lebih lanjut pada akhir tahun lalu.
Namun, para aktivis mengatakan undang-undang yang ditulis ulang tidak cukup menawarkan perubahan.
Undang-undang baru mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pelecehan atau ancaman, yang "melebihi perwalian, yurisdiksi, wewenang atau tanggung jawab individu."
Artinya keputusan apakah akan menghukum seseorang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada akhirnya bergantung pada pendapat subyektif hakim. Mereka yang dapat menentukan apakah tertuduh bertindak dalam "otoritas" mereka. Jadi, dalam praktiknya, perlindungan bagi korban pelecehan masih lemah.
"Apa yang terjadi adalah negara itu tampaknya berupaya menghapus hal-hal paling mengerikan yang telah ditulis dalam hukumnya. Namun perubahan hanya ada pada tulisan di buku undang-undang. Hal ini menunjukkan sikap yang memusuhi kesetaraan jender," Devin Kenney, peneliti Teluk untuk Amnesty International, mengatakan kepada BBC News.
Amnesti, katanya, belum bisa masuk ke UEA untuk melakukan penelitiannya sendiri sejak 2014, ketika menerbitkan laporan yang mengkritik undang-undang diskriminatif di negara tersebut.
"Jadi kami cenderung mengandalkan apa yang negara tulis dalam undang-undang untuk menggambarkan bagaimana sikap mereka terhadap pertanyaan jender," tambahnya.
Menurutnya masih banyak ketimpangan dalam hukum di negara itu sendiri, bahkan selama masa reformasinya. Jadi para peneliti cenderung curiga, karena aturan hukum tidak selalu mencerminkan perubahan mendalam dalam sikap sosial atau sikap pemerintah.
Baca juga: Ketakutan Disekap Keluarganya, Putri Latifa Anak Syekh Dubai: Aku Khawatir Keselamatan dan Nyawaku
Setiap orang yang tinggal di atau mengunjungi UEA tunduk pada hukumnya, tidak ada pengecualian untuk turis. Ada beberapa kasus turis yang ditangkap saat berlibur di Dubai.