DUBAI, KOMPAS.com - Kasus Putri Latifa Al Maktoum, putri dari penguasa Dubai, telah mengejutkan dunia. Dalam video yang direkam secara rahasia yang dibagikan oleh BBC, dia menuduh sang ayahn menyanderanya di kota itu.
Penyanderaan dilakukan sejak dia mencoba melarikan diri pada 2018. Dalam video itu, sang putri bahkan mengkhawatirkan keselamatan nyawanya.
Setelah berita ini berkembang cepat PBB pun menyatakan akan mempertanyakan Uni Emirat Arab (UEA) tentang kondisi Latifa.
Dia bukan satu-satunya anggota keluarganya yang melarikan diri dari kota itu. Pada Juni 2019, Putri Haya binti Hussein, istri ayah Putri Latifa yang berusia 45 tahun, melarikan diri ke Jerman dan mencari suaka politik. Adik Latifa, Shamsa, juga berusaha melarikan diri.
Ini adalah cerita sangat memprihatinkan. Terlebih ada tuduhan penindasan, pelecehan dan kontrol terhadap salah satu orang paling kuat di wilayah teluk tersebut.
Tapi bagaimana dengan kehidupan wanita lainnya di Dubai dan di UEA secara lebih luas? Apakah hak dan kesempatan mereka ditentukan oleh laki-laki dalam kehidupan mereka?
Wanita di UEA diizinkan untuk mengemudi, memilih, bekerja, dan memiliki serta mewarisi properti. Sebuah laporan dari Forum Ekonomi Dunia memberi peringkat UEA sebagai negara terbaik kedua di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Mena) untuk kesetaraan jender.
Baca juga: Putri Penguasa Dubai yang Disekap Kisahkan Upaya Pelariannya yang Gagal
Akan tetapi, konteks itu penting.
Dalam laporan Kesenjangan Jender Global WEF, kawasan Mena memiliki skor terendah dari semua kawasan. Selain itu, kecuali Israel, tidak ada negaranya yang masuk dalam 100 teratas kesetaraan jender global.
UEA menduduki peringkat ke-120 di dunia dari 153. Meskipun UEA memiliki undang-undang anti diskriminasi, jenis kelamin dan jender tidak termasuk dalam definisi diskriminasi.
Selain itu, meskipun wanita memiliki hak, berdasarkan Undang-Undang Status Pribadi beberapa di antaranya bergantung pada persetujuan formal dari "wali pria”. Pria dalam hal ini sering kali adalah pasangan atau kerabat pria lainnya. Mereka harus terlebih dulu memberikan izin kepada wanita untuk melakukan hal-hal tertentu.
Meskipun undang-undang perwalian UEA tidak seketat atau seluas negara tetangga Arab Saudi, undang-undang tersebut masih berdampak pada kehidupan perempuan.
Di lain kesempatan, di mana perempuan memang memiliki hak, pada praktiknya sulit bagi perempuan untuk membela mereka di pengadilan.
Salah satu aspek kehidupan pribadi wanita yang banyak terpengaruh adalah soal pernikahan. Seorang wanita Dubai membutuhkan izin dari wali pria untuk menikah. Area lain termasuk hak asuh anak, dan warisan.
“Tetapi ada juga bentuk perwalian tidak resmi yang tidak dikodifikasikan dalam undang-undang, tetapi dilaksanakan dalam praktiknya,” kata Hiba Zayadin, peneliti Mena dari Human Rights Watch, kepada BBC News dilansir Kamis (18/2/2021).
Menurutnya, ada beberapa kasus di mana hal itu tidak ada dalam undang-undang. Dalam beberapa kasus Anda menemukan orang-orang meminta kepada wanita memohon izin “wali”, bahkan untuk keperluan melamar pekerjaan atau mencari apartemen.
"Hal itu bahkan tidak ada dalam hukum yang berlaku (di Dubai). Tapi ketentuan itu paling terlihat dalam dalam hal pernikahan dan perceraian," katanya.
Baca juga: Inggris Akan Bantu Putri Latifa, Anak Syekh Dubai yang Disekap Keluarganya
Perceraian juga jauh lebih sulit bagi wanita. Sementara pria bisa menceraikan istrinya secara sepihak. Wanita yang ingin bercerai harus mengajukan permohonan pengadilan.
Kekerasan dalam rumah tangga juga jadi bidang lain di mana perempuan terus mengalami diskriminasi.
Meski demikian, pihaknya melihat ada beberapa perubahan hukum yang positif dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya di permukaan.
Misalnya, hukum pidana UEA yang sebelumnya digunakan untuk secara eksplisit mengizinkan pria melakukan kekerasan terhadap istri mereka. Hukum ini telah dihapus pada 2016.
Selain itu, persyaratan dalam Undang-Undang Status Pribadi bagi wanita untuk "patuh" kepada suaminya dicabut pada 2019. Maret lalu sebuah Undang-undang baru mulai berlaku, yang memungkinkan perempuan mengakses permohonan perlindungan untuk pertama kalinya. Ada reformasi hukum lebih lanjut pada akhir tahun lalu.
Namun, para aktivis mengatakan undang-undang yang ditulis ulang tidak cukup menawarkan perubahan.
Undang-undang baru mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pelecehan atau ancaman, yang "melebihi perwalian, yurisdiksi, wewenang atau tanggung jawab individu."
Artinya keputusan apakah akan menghukum seseorang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada akhirnya bergantung pada pendapat subyektif hakim. Mereka yang dapat menentukan apakah tertuduh bertindak dalam "otoritas" mereka. Jadi, dalam praktiknya, perlindungan bagi korban pelecehan masih lemah.
"Apa yang terjadi adalah negara itu tampaknya berupaya menghapus hal-hal paling mengerikan yang telah ditulis dalam hukumnya. Namun perubahan hanya ada pada tulisan di buku undang-undang. Hal ini menunjukkan sikap yang memusuhi kesetaraan jender," Devin Kenney, peneliti Teluk untuk Amnesty International, mengatakan kepada BBC News.
Amnesti, katanya, belum bisa masuk ke UEA untuk melakukan penelitiannya sendiri sejak 2014, ketika menerbitkan laporan yang mengkritik undang-undang diskriminatif di negara tersebut.
"Jadi kami cenderung mengandalkan apa yang negara tulis dalam undang-undang untuk menggambarkan bagaimana sikap mereka terhadap pertanyaan jender," tambahnya.
Menurutnya masih banyak ketimpangan dalam hukum di negara itu sendiri, bahkan selama masa reformasinya. Jadi para peneliti cenderung curiga, karena aturan hukum tidak selalu mencerminkan perubahan mendalam dalam sikap sosial atau sikap pemerintah.
Baca juga: Ketakutan Disekap Keluarganya, Putri Latifa Anak Syekh Dubai: Aku Khawatir Keselamatan dan Nyawaku
Setiap orang yang tinggal di atau mengunjungi UEA tunduk pada hukumnya, tidak ada pengecualian untuk turis. Ada beberapa kasus turis yang ditangkap saat berlibur di Dubai.
Pada 2017, misalnya, seorang wanita ditangkap dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Wanita berkewarganegaraan Inggris itu dituduh melakukan hubungan seks suka sama suka dengan pria yang tidak menikah dengannya.
Dia melaporkan pria pasangannya ke pihak berwenang karena mengirim pesan yang mengancam, yang kemudian mengungkap keduanya telah berhubungan seks.
Tetapi apakah undang-undang ini benar-benar diterapkan secara setara adalah masalah yang berbeda.
Salah satu perubahan hukum ada yang memberlakukan apa yang sebelumnya merupakan hierarki tidak resmi. Di mana terdapat wanita ekspatriat kaya di puncak, wanita Emirat di urutan kedua, dan kemudian pekerja rumah tangga migran.
"UEA tampaknya bergerak menuju pelembagaan perpecahan ini sekarang," kata Kenney.
Menurutnya, pada akhir tahun lalu UEA mengumumkan maksud dari paket reformasi UU Status Pribadi ini secara terbuka kepada publik. Kantor berita negara Wam, bahwa mewartakan beleid ini bertujuan menarik modal dan lebih banyak ekspatriat masuk ke negara itu sebagai lokasi investasi.
"Dan secara eksplisit dilaporkan di pers nasional bahwa perubahan aturan tentang warisan dan perceraian hanya akan berlaku untuk ekspatriat, bukan untuk wanita Emirat."
Kenney mengutip laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pada 2017. Disebutkan bahwa pekerja migran bergaji rendah mengalami "ketidakberuntungan ekstrem" dan jumlahnya merupakan sekitar 80 persen dari total populasi UEA.
Para migran perempuan khususnya, yang sebagian besar adalah pekerja rumah tangga dari Asia Selatan dan Tenggara, diawasi dengan ketat.
Baca juga: Kisah Putri Latifa, Anak Syekh Dubai yang Disekap Keluarganya Sendiri dan Ketakutan
Kenney mengatakan migran “kelas tersebut” memiliki "hak yang sangat terbatas". Sebuah pasal hukum pidana UEA berbunyi “pelanggaran kehormatan atas dasar suka sama suka” dapat dituntut.
“Dalam praktiknya, itu digunakan untuk menargetkan seks suka sama suka, terutama jika melanggar norma jender,” kata dia.
"Buruh migran perempuan yang telah dibawa ke rumah sakit di UEA dengan kehamilan, ketika mereka tidak dapat menunjukkan suami yang merupakan ayah yang bertanggung jawab atas kehamilan tersebut, telah dituntut berdasarkan undang-undang ini. Jadi pada dasarnya mereka telah dituntut karena menggunakan hak seksualnya, "kata Kenney.
Wanita yang hamil di luar nikah menghadapi hukuman satu tahun penjara. Bagi pekerja migran, ini adalah hukuman yang harus dijatuhkan sebelum mereka dapat meninggalkan negara.
Menurut seorang pejabat UEA yang dikutip dalam laporan Guardian tahun lalu, beberapa ribu perempuan migran di negara itu memiliki anak yang lahir di luar nikah.
Korban pemerkosaan juga telah dituntut berdasarkan undang-undang yang melarang hubungan seks di luar nikah.
Investigasi BBC Arab pada 2015 menemukan bahwa ratusan wanita, termasuk korban pemerkosaan, dijatuhi hukuman penjara berdasarkan undang-undang ini setiap tahun, dan bahwa pembantu rumah tangga sangat rentan.
Baca juga: Perempuan Berdaya: Sarah al-Amiri di Balik Misi ke Mars UEA Pertama
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.