Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Masyarakat Adat Kenya Selamatkan Hutan, Tetap Melawan Meski Diusir dari Rimba

Kompas.com - 08/12/2020, 13:11 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

Otoritas Kenya telah melaksanakan kebijakan dan menggunakan kekerasan untuk mengusir masyarakat adat dari hutan.

Penggunaan kekerasan selama ini identik dengan Dinas Kehutanan Kenya, yang memiliki sejarah pelanggaran HAM menurut sejumlah organisasi HAM, termasuk Komisi HAM Kenya.

Dalam gugus tugas presiden tahun 2018 untuk pengelolaan sumber daya hutan, diperkirakan bahwa hutan Kenya telah habis sekitar 5.000 hektare per tahun, menuduh Dinas Kehutanan Kenya melembagakan korupsi dan menjadi sistem yang sarat dengan praktik korupsi yang mengakar, kurangnya akuntabilitas dan perilaku tidak etis.

"Model konservasi benteng kuno yang digunakan oleh Dinas Kehutanan Kenya, yang mengharuskan semua tempat tinggal manusia dipindahkan dari hutan lindung, telah gagal secara spektakuler," kata Brezhnev Otieno, manajer kampanye Amnesty International Kenya.

Bank Dunia dan Uni Eropa, yang mendanai pekerjaan konservasi di Embobut, mengecam pelanggaran HAM di hutan.

Baca juga: Misteri Hilangnya Nora Quoirin di Hutan Malaysia, Ayah Dengar Suara Aneh Tengah Malam

John Miringa, anggota masyarakat adat Ogiek, meyakini bahwa hilangnya pohon asli di Hutan Mau tidak akan terjadi jika hutan berada di bawah pengawasan mereka.

Dia yakin bahwa ada benih pohon asli di seluruh Hutan Mau.

"Jika tanah ini dibiarkan tidak digarap, pohon-pohon asli ini bisa berkecambah. Nenek moyang kami tidak menanam pohon, mereka membiarkan bijinya berkecambah tanpa gangguan," ujar Miringa.

Victoria Tauki Corouz, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, mengatakan kepada Pengadilan Afrika pada April bahwa masyarakat adat diusir dari tanah mereka karena pemerintah dan organisasi konservasi terus gagal dalam menerapkan pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk konservasi, meskipun banyak komitmen internasional untuk melakukannya.

Dia mengamati bahwa di banyak negara, kurangnya kapasitas dan kemauan politik otoritas pemerintah untuk melindungi hutan telah menyebabkan daerah-daerah tersebut berubah menjadi pemukiman yang merusak, industri ekstraktif, penebangan liar, perluasan agribisnis, pariwisata dan pembangunan infrastruktur skala besar.

Baca juga: Lawan Kerusakan Hutan, Kehadiran Militer Brasil di Amazon Bakal Diperpanjang

Namun, melihat contoh konservasi adat yang berhasil di tempat lain, Tauli-Corpuz yakin bahwa perubahan di hutan Kenya juga mungkin terjadi.

Tauli-Corpuz, yang merupakan anggota suku Kankana-ey Igorot di Filipina, merujuk pada sistem "batangan" dalam komunitasnya sendiri, yang merupakan sistem konservasi hutan melalui pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.

Ini diakui oleh Pemerintah Filipina pada 1997, ketika mengesahkan undang-undang yang memasukkan kebutuhan untuk mengakui pengetahuan dan budaya asli.

"Itu terjadi karena advokasi yang kuat dari masyarakat adat," kata Tauli-Corpuz.

Dia menambahkan, jika diterapkan, pengetahuan adat tentang konservasi hutan kemungkinan besar akan lebih baik daripada strategi benteng saat ini.

Baca juga: Kebakaran Hutan Colorado Bergerak Lebih Lambat dari Biasanya

"Pengetahuan dan praktik ini telah ada sejak lama dan sekarang bukti menunjukkan bahwa di mana hal ini masih dipraktikkan dan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya mereka dihormati," katanya.

"Hutan lebih terlindungi dan dilestarikan," imbuh Tauli-Corpuz.

Di tengah sisa-sisa desa Nessuit di Hutan Mau, orang-orang perlahan-lahan mengambil bagian dari kehidupan mereka di antara sisa-sisa bangunan mereka yang hancur terbakar.

Namun dalam jangka panjang, keamanan kelompok ini kini bertumpu pada pengakuan terhadap hukum adat mereka yang sudah ada sejak dulu, yang berpotensi melindungi diri mereka sendiri dan hutan leluhur mereka.

Baca juga: Kebakaran Hutan Colorado Bergerak Lebih Lambat dari Biasanya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com