Dalam hasil penyelidikannya, FSC mengesampingkan tudingan bahwa Korindo Group melakukan pembakaran hutan dan tidak terlibat dalam segala aktivitas ilegal lainnya yang menggunakan api dalam praktik pembukaan lahan.
Namun, investigasi terbaru yang dilakukan Forensic Architecture dan Greenpeace yang dirilis pada Kamis (12/11) mengungkap bukti kebakaran lahan "yang disengaja" di area konsensi Korindo, selama periode 2001-2016.
Baca juga: Komplotan Begal Duren Sawit Dibekuk Polisi Setelah Curi Tiga Motor
Para peneliti dari Forensic Architecture yang berbasis di Goldsmith University, Inggris, menerapkan analisis spasial dan arsitektural serta teknik pemodelan dan penelitian canggih untuk menyelidiki perusakan lingkungan.
Kelompok ini mempelajari citra satelit untuk mengungkap pola pembukaan lahan di dalam konsesi PT Dongin Prabhawa.
Mereka kemudian membandingkan citra satelit itu dengan data titik api dari satelit NASA di area yang sama, dan menggabungkan keduanya dalam periode waktu yang sama, 2011 hingga 2016.
"Jika kebakaran terjadi dari luar sisi konsesi atau karena kondisi cuaca, maka api akan bergerak dengan arah yang berbeda. Mereka akan tersebar," jelas Moafi kemudian.
Kepada BBC, Korindo bersikukuh bahwa pembukaan lahan bukan dilakukan dengan pembakaran lahan, melainkan menggunakan alat berat dan menegaskan kebakaran yang terjadi di area itu karena kemarau berkepanjangan.
Korindo juga mengklaim kebakaran di area konsesinya dipicu oleh warga yang berburu tikus tanah yang bersembunyi di bawah tumpukan kayu, aksi yang oleh perusahaan disebut "menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi operasional kami".
Namun, warga yang tinggal di dekat area konsesi PT Dongin Prabhawa berkata lain.
Sefnat Mahuze, warga Kampung Tagaepe, mengaku melihat dengan kepala sendiri pembakaran lahan yang dilakukan pekerja perusahaan.
"Saya melihat mereka kumpul batang-batang kayu, ranting-ranting kayu. Itu alat-alat berat yang kumpul, mereka tumpuk. Tumpuk di jalur," jelas Sefnat, menuturkan peristiwa yang dilihatnya pada 2012 silam ketika dia berkunjung ke perusahaan untuk mengurus permohonan dari warga.
"Panjang, mungkin sekitar 100 - 200 [meter] baru mereka siram pakai solar, baru mereka bakar," ujarnya kemudian.
Dia menambahkan, kebakaran ini "sudah berjalan bertahun-tahun" sejak perusahaan membongkar hutan.
"Sampai 2016 baru selesai."
Baca juga: Jaksa Ungkap Suap Rp 45,7 Miliar kepada Nurhadi untuk Beli Tas Mewah hingga Lahan Sawit
"Wei, tertutup (asap) ini, kalau pembongkaran itu. Sisa-sisa kayu yang tidak dipakai itu kan dibakar, tertutup ini dunia ini," serunya.
"Apalagi kalau sudah sore begini, itu lain lagi, sudah gelap," tegasnya.
Padahal dalam regulasi di Indonesia hal itu "tidak dibenarkan".
"Tidak diperbolehkan atau melanggar hukum apabila ada perusahaan menggunakan api, karena api adalah cara termurah bagi perusahaan bagi perusahaan untuk (melakukan) land clearing."
Praktik pembakaran untuk pembukaan adalah ilegal di Indonesia, menurut UU Perkebunan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Namun, perusahaan kelapa sawit yang diduga melakukannya kerap lolos dari sanksi.
Adapun FSC mengatakan Korindo telah setuju untuk menghentikan semua pembukaan hutan lebih lanjut, untuk saat ini.
Kendati hutan adat milik masyarakat adat telah beralih fungsi jadi kebun kelapa sawit, tak sedikit dari mereka memilih bekerja di perkebunan kelapa sawit milik Korindo.
Salah satunya adalah Kornelis Kaize, pemuda berusia 19 tahun dari Kampung Tagaepe.
Pemuda lulusan sekolah menegah atas (SMA) itu beralasan bekerja di perusahaan demi bisa melanjutkan kuliah.
"Akhirnya saya pulang ke kampung, kembali kerja di perusahaan sambil cari uang kuliah," tutur Kornelis.
Kepada BBC dia mengaku gaji sebesar Rp 5 juta yang dia terima per bulan dari perusahaan akan dia tabung untuk biaya melanjutkan kuliah.
Yasinta Yaimahe menuturkan pengalamannya bekerja sebagai buruh di bagian perawatan kebun di PT Dongin Prabhawa, sekitar satu jam perjalanan dari kampungnya.
"Kita kerja itu jalan sambil mata lihat di bawah, takut ular, kayu tajam," tuturnya.
"Jadi kita kerja berat, nanti waktu gajian, gaji dorang dipotong lagi, masuk di utang bama (bahan makanan) kantin," tuturnya.
Baca juga: Emiten Ini Pasok Cangkang Sawit ke Jepang untuk Pembangkit Listrik
Sementara itu, Wiro Lindep, pekerja di PT TSE di Boven Digoel, mengaku gaji yang dia terima dari perusahaan bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Meski begitu, dia mengungkap kegetiran yang dia rasakan saat melihat pepohonan hijau di hutan berubah jadi deretan kelapa sawit.
"Saya rasa rugi, saya ini mau dikemanakan kalau hutannya sudah habis ini?," kata Wiro.
Tak ingin hal serupa terjadi pada hutan adatnya, Petrus Kinggo berjuang mati-matian untuk mempertahankan hutan adatnya di Boven Digoel demi generasi mendatang.
"Jadi itu yang saya pertahankan, bahwa tanah ini tidak bisa saya kasih ke orang," kata Petrus kemudian.
Baca juga: Gara-gara Puntung Rokok, 15 Mobil dan 3 Motor di Bengkel Duren Sawit Terbakar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.