PARIS, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin mengatakan bahwa Perancis "melancarkan perang melawan Islam radikal", saat dia memberikan rincian dari RUU tentang "hukum separatisme".
Presiden Perancis Emmanuel Macron menyampaikan pidato pada Jumat (2/10/2020), yang mengatakan rencana untuk membahas apa yang disebutnya sebagai "separatisme Islam".
Dia mengumumkan beberapa langkah yang akan membentuk RUU dan dibahas bersama dengan parlemen, mencakup meningkatkan pengawasan pembiayaan masjid, dan meneliti sekolah serta asosiasi yang melayani komunitas agama.
Dalam pidatonya, sebagaimana yang dilansir dari Al Jazeera pada Senin (2/11/2020), dia mengatakan Islam adalah agama yang "dalam krisis" secara global, sebuah pernyataan yang sekarang menjadi salah satu alasan mengapa Muslim di seluruh dunia memprotesnya.
Pada Minggu (31/10/2020), Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar, La Voix du Nord, yang berbasis di Lille, mengatakan bahwa Perancis "melancarkan perang melawan Islam radikal" saat dia memberikan rincian lebih lanjut dari RUU tersebut.
Baca juga: Pembunuh 3 Orang di Gereja Perancis Positif Virus Corona
Dalam komentar yang membuat marah para aktivis dan minoritas Muslim Perancis, yang terbesar di Eropa, Darmanin mengatakan bahwa siapa pun yang mencari perawatan medis "yang menolak dirawat oleh seorang wanita" dapat menghadapi hukuman 5 tahun penjara dan denda 75.000 euro (Rp 1,3 miliar).
Darmanin mengatakan, langkah-langkah itu akan berlaku untuk siapa saja yang "menekan pejabat publik" serta "siapa pun yang menolak pelajaran guru".
Meski tidak jelas, detailnya memicu reaksi balasan di media sosial, dengan banyak yang menentang hukuman penjara dan denda besar karena menolak dokter atau perawat lawan jenis tersebut.
Philippe Marliere, profesor politik Perancis dan Eropa di University College London, memberikan pernyataan melalui Twitter, "Perancis Macron dengan cepat menjadi rezim otoriter yang jahat."
Pemerintah akan mengajukan RUU "hukum separatisme" pada Desember dalam upaya untuk memperkuat undang-undang 1905 yang secara resmi memisahkan gereja dan negara di Perancis.
Di tempat lain, mereka berencana membatasi homeschooling untuk mencegah sekolah Muslim dijalankan oleh apa yang disebut Macron sebagai "ekstremis religius", dan membuat program sertifikat khusus untuk para imam Perancis.
Baca juga: Dua Geng di Perancis Ini Terlibat Perang di Siang Bolong
Pengumuman terbaru Darmanin tampaknya memperkuat langkah-langkah tersebut. Dalam wawancaranya, dia mengatakan telah berbicara tentang penambahan isi dengan Macron selama pertemuan keamanan pada Jumat lalu (30/10/2020).
Rim Sarah Alouane, seorang akademisi Perancis yang meneliti kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan kebebasan sipil di Perancis, berkata, “Tak perlu dikatakan bahwa ada wanita (terlepas dari keyakinan, agama, filosofi, dan lainnya), yang lebih suka ditangani oleh (petugas medis) wanita karena berbagai alasan."
Selain itu, ia mengatakan bahwa hak untuk bebas memilih dokter dijamin oleh kode etik kedokteran.
"Tidak mungkin undang-undang ini dapat sepenuhnya dianggap konstitusional, tapi saat ini, Anda tidak pernah tahu," ucap Alouane.
Pernyataan Darmanin telah menimbulkan kontroversi, saat ia mengambil peran utama dalam urusan keamanan negara menyusul dua serangan mematikan.
Baca juga: Dapat Stigma akibat Teror di Perancis, Umat Islam Merasa Tertekan
Dalam sebuah wawancara dengan BFMTV setelah guru Samuel Paty terbunuh, Darmanin mengatakan dia “terkejut” melihat lorong makanan halal dan kosher di supermarket, yang dia yakini berkontribusi pada “separatisme” di Perancis.
Komentarnya itu langsung dihujat di media sosial.
Saat ini, pihak kementerian dalam negeri Perancis belum menanggapi pemberitaan yang beredar itu.
Paty dipenggal pada 16 Oktober di siang bolong dekat sekolahnya di pinggiran kota Paris, setelah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya.
Kematiannya menyebabkan curahan kesedihan dan melihat para pejabat tinggi memperbarui dukungan mereka untuk hak menunjukkan gambar Nabi Muhammad, yang sangat menyinggung umat Islam karena mereka sering menghubungkan Islam dan "terorisme".
Seorang pria Tunisia diduga membunuh 3 orang di sebuah gereja Nice pada Kamis (29/10/2020).
Darmanin mengatakan kepada BFMTV bahwa dia akan melakukan perjalanan ke Tunisia dan Aljazair pekan ini untuk membahas langkah-langkah keamanan dengan rekan-rekannya.
Muslim di seluruh dunia mengutuk serangan mematikan tersebut, termasuk para pemimpin negara mayoritas Muslim seperti Turki, Iran dan Arab Saudi.
Di Perancis, umat Islam semakin khawatir bahwa mereka akan menjadi korban "hukuman kolektif" karena tanggapan pemerintah terhadap serangan pembunuhan tersebut.
Beberapa juga kecewa dengan dukungan publik yang diperbarui untuk hak menunjukkan kartun Nabi Muhammad, sosok yang sangat dihormati dalam Islam.
Beberapa kartun tersebut telah diproyeksikan untuk disebar ke gedung-gedung pemerintah Perancis, setelah kematian Paty.
Baca juga: Pelaku Penembakan Pendeta Ortodoks di Perancis Ternyata Masih Berkeliaran
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.