Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sikap Saling Klaim Sejarah, Halangi Perdamaian antara Armenia dan Azerbaijan

Kompas.com - 12/10/2020, 14:48 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

KOMPAS.com - Beban historis antara Armenia dan Azerbaijan diyakini akan mempersulit upaya internasional untuk mendamaikan kedua negara tersebut.

Ketika Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev berbagi panggung dengan PM Armenia Nikol Pashinyan dalam kesempatan langka di sela-sela Konferensi Keamanan München, Februari silam, keduanya diajak membahas sejarah perseteruan di Nagorno-Karabakah. Pembicaraan itu berlangsung pedas.

“Untuk menyudahi konflik, pertama kita harus kembali dan melihat masalah sejarah,” kata Aliyev yang bersikeras mengeklaim teritorial Azerbaijan terhadap Nagorno-Karabakh didukung “kebenaran sejarah”.

“Saya ingin meminta Presiden Aliyev agar tidak terlalu jauh kembali ke sejarah,” sahut Pashinyan.

Dia menegaskan, kawasan pegunungan itu hanya menjadi bagian Azerbaijan atas dasar sebuah keputusan yang diambil di masa-masa awal Uni Soviet.

Baca juga: Gencatan Senjata antara Armenia dan Azerbaijan Masih Diwarnai Serangan Rudal dan Tembakan

Pertukaran pemikiran tersebut mengungkap betapa tafsir sejarah yang berpaut jauh mempersulit resolusi konflik paling liar yang diwariskan Soviet Rusia di Asia Tengah.

Sejarawan meyakini, beban sejarah merintangi kedua negara mencapai kesepakatan jangka panjang.

Bagi Azerbaijan, Nagorno-Karabakh adalah wilayah teritorialnya. Klaim ini juga didukung secara resmi oleh PBB.

Sebaliknya bagi Armenia, Karabakh yang direbut Kekaisaran Rusia pada awal abad ke-19 hanya menjadi bagian Azerbaijan lantaran keputusan mendadak pemerintah Uni Soviet.

Dalam pembicaraan di München, Pashinyan mengatakan, keputusan memasukkan Nagorno-Karabakah ke dalam wilayah Azerbaijan dibuat pada awal 1920-an, menyusul “insiatif pribadi” Joseph Stalin, yang kala itu menjabat komisaris bangsa-bangsa di Uni Soviet.

Ucapan Pashinyan dibantah oleh Aliyev.

Baca juga: Azerbaijan-Armenia Sudah Gencatan Senjata, Ledakan Masih Melanda Nagorno-Karabakh

Jalinan rumit antara Armenia dan Azerbaijan

Upaya Armenia merebut Karabakh sudah dimulai sejak era Uni Soviet. Langkah ini tidak didukung pemerintah Moskwa saat itu.

Namun, konflik kembali menyeruak ketika pengaruh Rusia melemah dan Uni Soviet berada di jurang keruntuhan.

Armenia kemudian memenangi perang melawan Azerbaijan ketika gencatan senjata disepakati. Akibatnya, ratusan ribu warga Azerbaijan terusir dari Karabakh dan tujuh wilayah lain di Azerbaijan yang diduduki Armenia.

Oleh karena itu juga, warga etnis Armenia saat ini mendominasi populasi penduduk di Nagorno-Karabakh.

Status quo tersebut, pendudukan tanpa deklarasi kemerdekaan, didukung oleh pemerintah Yerevan hingga kini.

“Posisi Armenia dan Azerbaijan sudah sedemikian membatu, dunia internasional tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap kedua negara,” kata Nicu Popescu, Direktur Program Eropa Luas di Dewan Eropa untuk Kebijakan Luar Negeri.      
      
Dia meyakini bahwa skenario paling realistis saat ini adalah eskalasi perang yang akan “mengiris” wilayah Karabakh.

“Kita harus kembali ke sana,” kata Presiden Aliyev, akhir pekan silam, dan menyebut wilayah pegunungan itu sebagai “rumah kita.”

Agustus silam, saat PM Pashinyan mengunjungi Karabakh, dia untuk pertama kalinya menyerukan penyatuan dengan Armenia. “Artsakh (Karabakh) adalah Armenia. Titik.”

Baca juga: Azerbaijan Tuding Armenia Bombardir Kota Ganja, 9 Orang Tewas

Punya tafsir sejarah masing-masing

Hingga kini kedua negara merawat tafsir sejarah versi masing-masing yang fokus membahas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan masing-masing lawan, serta melewatkan sejarah kekejaman sendiri.

Armenia misalnya mengenang pembantaian Sumgait di Azerbaijan, ketika kerusuhan massal pada Februari 1988 menyisakan 26 korban jiwa warga etnis Armenia.

Tapi di Khojaly, 1992, Armenia menembaki warga sipil yang berusaha melarikan diri dalam sebuah pembantaian, yang menurut Azerbaijan, menewaskan ratusan orang.

Sejak gencatan senjata berakhir pada ketegangan terakhir tahun 2016 silam, “proses perundingan damai dihentikan melalui komunikasi yang dilakukan dalam retorika yang penuh amarah,” tulis seorang analis di lembaga penelitian, International Crisis Group.

Adapun keterlibatan Turki, memicu dendam sejarah bagi Armenia yang menuduh Ankara berusaha mengingkari tanggung jawab Kesultanan Ottoman dalam pembantaian etnis Armenia pada 1924, yang ditaksir menewaskan hingga 1,5 juta orang.

Meski demikian analis meyakini tafsir nasionalistik terhadap sejarah tidak memupus budaya kehidupan damai antara kedua bangsa selama kekuasaan Uni Soviet.

“Seseorang sebaiknya mencetak ulang naskah Perjanjian Persahabatan 1724 di era Persia dan ditandatangani oleh penguasa Karabakh dari Armenia dan Khan Ganje di Azerbaijan untuk melawan Kesultanan Ottoman,” ujar Tom de Waal, peneliti senior di Carnegie Europe, usai perang mulut antara Aliyev dan Pashinyan dalam Konferensi Keamanan di München.

Baca juga: Paus Fransiskus Sesalkan Gencatan Senjata yang Rapuh Antara Armenia dan Azerbaijan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com