Michael mengatakan di tengah pandemi seperti ini mereka berusaha mencari setiap peluang untuk mempertahankan bisnis agar usahanya tetap terbuka dan berlanjut.
"Kami kehilangan 83 persen pelanggan. Kami sangat terpukul," kata Michael.
Pihaknya lalu menghubungi para pekerja untuk lebih menanyakan kualifikasi mereka. Khususnya para pekerja migran yang bekerja di sana.
"Dari 25 orang pekerja migran yang bekerja di Hobart, ternyata ada 31 gelar sarjana atau gelar lebih tinggi, karena beberapa di antaranya memiliki lebih dari satu gelar master," jelasnya.
Menurut Michael, para pekerja migran umumnya berada di posisi inti dalam bidang operasional, yang selama ini sulit diisi oleh pekerja lokal.
Misalnya posisi tukang cuci, seperti yang dijalani Pramila KC Maharjan, pekerja asal Nepal, yang mulai bekerja di sana sejak November tahun lalu.
Baca juga: Perjuangan Bripda Andri, Anak Tukang Cuci yang Kini Jadi Polisi
Pramila memiliki gelar sarjana farmasi dari Nepal dan gelar master bidang teknologi dan informasi dari Universitas Tasmania.
Sebelumnya, ia tidak memiliki pengalaman bekerja di bidang yang sesuai di Australia.
Sejak bulan lalu, Pramila pun mulai magang membantu manajer operasi di Blueline dalam bidang jaminan mutu.
"Bidang pekerjaan ini sangat memuaskan bagi saya," katanya.
"Saya bisa mengetahui soal administrasi di sini, bisa mengenal budaya kerja Australia seperti apa. Saya mendapatkan pengalaman baru," ujar Pramila.
Pekerja migran lainnya, Malis Yunn aal Kamboja, juga memulai karir sebagai tukang cuci di perusahaan itu.
Kini, ia menjadi pemimpin tim di bagian menjahit, sesuai dengan latar belakang keterampilan yang dimilikinya ketika masih berada di Kamboja.
Baca juga: Buka Pidato Debat, Jokowi Sebut Nama Tukang Cuci hingga Guru
Malis mengaku senang bisa memimpin tim di bagian menjahit, yang umumnya merupakan pekerja pendukung di perusahaan itu.
"Awalnya saya sedikit gugup, tapi ketika saya sudah menjalaninya, saya menyukai mereka dan mereka pun menyukai saya," katanya.