Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Sulit Cari Kerja di Australia: Punya Gelar S2 Jadi Tukang Cuci

Kompas.com - 02/10/2020, 16:42 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

CANBERRA, KOMPAS.com - Meskipun memegang dua gelar master di bidang teknologi informasi, Manu Kaur kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor tersebut. Akhirnya ia bekerja di sebuah 'laundry' atau tempat cuci baju (penatu) di Tasmania.

Ketika masih kuliah, Manu merasa aturan pembatasan jam kerja bagi pemegang visa pelajar menyebabkan dirinya ditolak bekerja di bidang Teknologi Informasi (TI).

Pemegang visa pelajar di Australia memang hanya boleh bekerja maksimal 40 jam dalam dua minggu.

Baca juga: Pengangguran di Australia: 6.000 Orang Melamar Jadi Pencuci Piring

"Hal itu membuat saya frustrasi, terkadang juga sangat tertekan," katanya kepada ABC.

Setelah lulus dari Universitas La Trobe di Melbourne, upayanya mencari kerja berakhir ke Blueline Laundry di Kota Hobart.

Perusahaan "laundry" ini beroperasi di Hobart dan Launceston dengan mencuci hingga 50.000 pakaian sehari.

Pakaian tersebut berasal dari hotel, rumah sakit, dan panti jompo di negara bagian Tasmania.

"Meski senang rasanya mendapatkan pekerjaan tapi kadang saya berpikir, 'mengapa saya jadi pekerja pabrik begini?'," ujar perempuan asal India itu.

Dua bulan lalu, saat mengobrol dengan bosnya di sela-sela jeda makan siang, latar belakang pendidikan Manu pun akhirnya diketahui oleh si bos: ia menyandang dua gelar S2.

"Sekarang saya ditempatkan sebagai koordinator sistem, bertugas memelihara sistem dan perlindungan data. Saya mengurus semua dokumentasi," katanya.

Baca juga: Dua Tukang Cuci Kendaraan Tewas di Dalam Tangki Truk Pertamina, Ini 5 Faktanya

"Saya juga menyiapkan komputer dan dukungan teknis. Saya menikmati pekerjaan ini," kata Manu.

Latar belakang pendidikan Manu terungkap sebagai bagian dari upaya perusahaan nirlaba ini bertahan dari dampak penurunan ekonomi akibat pandemi virus corona.

Lebih dari sepertiga pekerja 'Blueline Laundry' merupakan penyandang disabilitas dan 20 persen lainnya berasal dari latar belakang budaya dan bahasa yang beragam.

Diektur utama perusahaan ini, Michael Sylvester, mengatakan pihaknya berusaha mencari potensi yang belum dimanfaatkan di antara para pekerja lepas.

"Salah satu pemborosan dalam bisnis adalah tidak terpakainya potensi secara maksimal," katanya.

Baca juga: Dipaksa Masuk Hari Minggu, Tukang Cuci Piring Dapat Ganti Rugi Rp 11 Miliar

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com