Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabur dari Korut, Pembelot Ini Susah Payah Sampai Inggris, Ini Kisah Perjuangannya

Kompas.com - 01/08/2020, 19:05 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

Sumber The Sun

LONDON, KOMPAS.com - Jihyun Park, bersama putranya pada 2005 silam selamat dalam pelarian mereka dari Korea Utara ke China di mana dia dijual melalui sistem perdagangan manusia.

Dari China, Park berusaha pergi ke Mongolia dengan memanjat pagar perbatasan bersama putranya yang masih berusia 6 tahun kala itu.

Dia berusaha agar tidak ditangkap polisi. Jika sampai ditangkap, dia akan dideportasi ke Korea Utara dan sekali lagi dikurung di kamp kerja paksa DPRK Korut.

Kepada The Sun, Jihyun Park menceritakan pengalaman pahit hidupnya. 

"Kim Jong Un adalah seorang pembunuh dan dia telah membunuh banyak orang," ujar Jihyun Park. "Dia sedang membunuh 25 juta orang di Korea Utara, kita harus ingat itu."

Baca juga: Cegah Adanya Pembelot, Korea Utara Terapkan Aturan Berlapis

Mati kelaparan

Sebelum melarikan diri, Park menyaksikan ribuan orang kelaparan termasuk anggota keluarganya sendiri selama Kelaparan Hebat sekitar tahun 1990-an.

Park dibesarkan di kota Chongjin, bagian Utara Provinsi Hamgyung, Korea Utara.

Di sana, dia bekerja sebagai guru sekolah. Karena ibunya seorang pebisnis dan ayahnya seorang anggota dari Partai Buruh Korea Utara, dia hidup dalam perekonomian yang relatif stabil sebelum kelaparan dimulai.

Di dalam rumahnya, terdapat foto sosok pendiri negara itu, Kim Il Sung, sebagaimana dimiliki oleh kebanyakan orang lainnya.

"Sampai tahun 1990, saya tidak mengerti makna dari kelaparan," ungkap Park kepada The Sun.

Namun, setelah tahun 1990, bisnis ibunya hancur dan keluarganya mengalami keterpurukan perekonomian.

Karena Uni Soviet hancur pada 1991, Korea Utara berhenti menerima bantuan dari negara besar itu.

Kurangnya dukungan membuat negara itu lemah dalam perekonomian dan mengalami periode kelaparan akibat kekurangan bahan pangan.

Menurut Park, dia melihat banyak mayat berjatuhan di jalan.

"Tidak ada makanan," ujar wanita itu, "Pada 1996, paman saya meninggal karena kelaparan di hadapan kami."

"Ketika dia meninggal, dia tidak tampak seperti manusia. Tubuhnya tinggal tulang. Di jalanan, semua orang muram."

Saat itu, ayahnya mulai sakit-sakitan.

Di pagi hari, Park akan meninggalkan semangkuk nasi untuk sang ayah dan pergi bekerja. Namun ketika kembali, ayahnya tidak memakan nasi itu. 

Ayahnya tidak memakannya karena tidak ingin anaknya kelaparan.

Lambat laun, kondisi ayah Park semakin parah dan tidak bisa berkomunikasi melalui verbal. Dia hanya bisa berkomunikasi melalui tulisan dengan gerakan lemah.

Selain kelaparan hebat, adik laki-laki Park juga terlibat masalah serius selama bekerja dengan militer Korut sehingga aparat mengincarnya.

"Harapan terakhir ayah saya adalah menyelamatkan adik laki-laki saya," ujar Park, "Suatu hari dia terbangun dan memberi isyarat kepada saya agar saya pergi."

"Itulah alasan mengapa saya melarikan diri dari Korea Utara."

Seperginya Jihyun Park, sang ayah yang sekarat pun meninggal dunia karena kelaparan.

Baca juga: Pembelot Korea Utara yang Dicurigai Terinfeksi Covid-19, Tersandung Kasus Pelecehan Seksual

Pergi dari Korea Utara

Kebanyakan warga Korut yang membelot melintasi perbatasan ke China sebelum melakukan perjalanan ke negara ketiga, biasanya negara-negara Asia Tenggara, tempat di mana mereka bisa mengajukan permohonan suaka.

Pelarian itu sangat berbahaya, bahkan bagi mereka yang berhasil meloloskan diri. Mereka dianggap imigran ilegal dan bisa dideportasi kapan saja jika tertangkap di China.

Mereka yang dideportasi ke Korut biasanya akan menghadapi hukuman brutal di pusat-pusat penahanan, termasuk kerja paksa, kamp re-edukasi dan penyiksaan.

Pada Februari 1998, Park dan adik laki-lakinya berhasil lolos melewati sungai beku dan pegunungan ke China dengan bantuan seorang pria yang menjanjikan kehidupan lebih baik di negara baru.

Namun, ketika sampai di tempat tujuan, Park menyadari kalau dirinya ditipu. Dia menjadi korban perdagangan manusia.

"Saya dijual dan dipisahkan dari adik saya," ujar Park, "Dia dikirim kembali ke Korea Utara. Sampai saat ini saya tidak tahu apakah dia hidup atau mati."

Di China, Park ditahan oleh orang yang menipunya sampai menemukan pembeli yang tepat.

"Saya dijual ke seorang pria China seharga 5.000 yuan," ujar Park. Orang yang menipunya mengancam dengan kekerasan apabila dia tidak menurut dan bahkan akan mendeportasinya jika Park tidak melakukan perintah.

Park bahkan punya anak dari hasil hubungannya dengan pria penipu itu, dan dia dipaksa bekerja selama 5 tahun dalam ketakutan.

Hingga tiba suatu malam pada 2004, Otoritas China datang ke rumahnya dan menangkap Park. Dia pun dideportasi ke Korea Utara.

Lebih parahnya, dia dipisahkan dari anak laki-lakinya yang masih berusia 5 tahun.

"Anak saya adalah keluarga terakhir yang saya miliki," ungkap Park. "Saya sangat takut tidak bisa kembali. Saya katakan pada anak saya, 'tunggu Mama, Nak.' Karena polisi tidak memberi saya dan anak saya kesempatan terakhir untuk saling bicara." 

Kembali ke Korea Utara untuk kerja paksa

Kembali ke tanah airnya, Jihyun Park dimasukkan ke pusat penahanan dan kamp kerja paksa negara itu.

Puluhan tahanan dijejalkan ke sel lembab tanpa listrik atau toilet (hanya ada sebuah ember untuk buang hajat).

"Bau di sana mengerikan," kenang Park. "Di pagi hari, area ember itu menjijikkan karena tidak ada cahaya." 

Kondisi mengerikan itu ditambah dengan para tahanan yang diserang kutu, para wanita yang tidak boleh memakai pembalut dan sebagai gantinya menggunakan robekan kain yang tak boleh dicuci.

Tempat Park berada adalah kamp kerja paksa Chongjin, tidak jauh dari tempat asalnya.

Di sana, dia mulai bekerja sejak pukul 4.30 pagi dan terus berlangsung sampai larut malam dan diwajibkan menyanyikan lagu-lagu patriotik serta melafalkan prinsip-prinsip partai buruh negara itu.

"Mereka memperlakukan kami seperti binatang," ujar Park. "Kami tidak dianggap manusia. Kami bekerja menggunakan tangan dan kaki kami tidak memakai alas."

Mereka dipaksa bekerja di sisi gunung untuk membuat lahan perkebunan dan persawahan dengan tangan-tangan mereka, tanpa alat apa pun.

Para wanita dipaksa menarik berton-ton hasil ladang dan di bulan-bulan musim panas, para tahanan akan memakan kentang mentah yang mereka temukan dalam keadaan kotor untuk membuat diri mereka tetap hidup.

"Kami benar-benar merasa seperti mau mati, karena saat itu hidup kami sangat keras," ujar Park. 

Dia mengatakan kalau para tahanan sangat lapar karena makanan yang disediakan tidak layak. Mereka juga kekurangan air mau pun obat-obatan.

"Yang saya pikirkan adalah putra saya. Saya bukan orang yang relijius tapi saya berdoa setiap hari. Kepada Buddha, kepada Tuhan, kepada Bunda Maria, tolong selamatkan putra saya. Suatu hari saya berharap bisa berkumpul kembali dengannya.

Saya hanya memikirkan itu, itulah yang membuat saya bertahan di kamp kerja paksa."

Suatu pagi, Jihyun Park terbangun dengan rasa sakit hebat di kakinya. Dia meminta tolong kepada penjaga untuk menolongnya.

Namun, bukannya ditolong, Park malah dipukuli habis-habisan karena dianggap telah berdusta.

Pada hari berikutnya, kaki Park bengkak dan bernanah. Dia akhirnya dibawa untuk diperiksa.

"Mereka akhirnya membebaskan saya karena mereka pikir saya tak akan selamat," ujar Park. "Infeksinya sangat buruk."

Dia dibebaskan ke kehidupan normal Korea Utara dengan kondisi seperti itu, tanpa uang, tidak ada rumah yang dituju dan kondisi kesehatan yang sangat mengerikan.

Baca juga: Dari Pemerkosaan sampai Sterilisasi, Ini Pengakuan Muslim Uighur yang Berhasil Bebas

Berjuang ke China lagi demi berjumpa anak

Keinginan Park bersatu dengan putranya sangat kuat. Jihyun Park sekali lagi memutuskan untuk menyelinap dan melarikan diri ke China.

Kali ini dia tahu dia akan diperdagangkan di negara tujuannya namun dia tetap memilih pergi.

"Saya menerima - saya tidak punya pilihan karena saya tidak punya uang, dan kesehatan saya sangat buruk," kata Jihyun.

Menurut Park, orang yang menjadi perantaranya ke China iba melihat kondisinya dan membantu dia bertemu dengan anaknya di negeri "Panda" itu.

Melalui orang yang menjadi perantaranya, Park berhasil bertemu dengan putranya yang selama ini diberitahu bahwa ibunya telah meninggalkannya.

"Nak, ini ibu," ujar Park kepada putranya melalui telepon yang hanya menjawab, "Ibu?" Lalu, dia dan putranya sama-sama menangis.

Singkat kata, setelah berhasil bersatu kembali dengan putranya, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di China.

"Tapi, jika saya dikirim kembali ke Korea Utara untuk kedua kalinya, saya tahu saya tidak akan bisa bertahan hidup."

Baca juga: Muslim Uighur Diduga di Kamp Re-Edukasi Terancam Terjangkit Covid-19

Berhasil melarikan diri

Jihyun Park dan putranya memutuskan untuk bergabung dengan Partai Sembilan para pembelot Korea Utara yang berusaha menyeberang ke Mongolia dari China.

Mereka harus memanjat 3 pagar untuk melintasi perbatasan, semuanya tanpa terdeteksi otoritas China yang terus menerus berpatroli di perbatasan.

Di bawah naungan kegelapan malam, semua kelompok berhasil melewati pagar kecuali Jihyun Park dan putranya.

"Anak saya takut," ujar Park. "Kami duduk, kami tidak bisa berjalan. Saya hanya memegang tangan anak saya dan saya melihat lampu mobil. Saya pikir itu adalah mobil polisi China. Saya benar-benar takut."

Lebih buruk lagi, dia melihat seorang pria berlari ke arah mereka. Saat itu, Park yakin dirinya akan kembali ditangkap.

Namun, keajaiban terjadi. Pria itu meraih tangan Jihyun, menggendong putranya dan membantu mereka melintasi perbatasan dengan memotong pagar kawat.

Pria itu rupanya salah seorang pembelot lain yang menyaksikan kesulitan Jihyun Park dan anaknya dan memutuskan untuk membantu mereka.

Akhirnya...

Setelah sukses melarikan diri, Jihyun Park, putranya dan pria yang menolongnya membangun hidup bersama di Mongolia.

"Dia pria yang sangat baik, saya jatuh cinta dengannya," ujar Park, "Itu pertama kalinya saya jatuh cinta."

Setelah bertahun-tahun hidup di Mongolia dan China, mereka tiba di Inggris pada 2008. Di Inggris, Jihyun Park dan suaminya serta 3 anaknya hidup bahagia di kota Manchester.

Park bekerja sebagai aktivis HAM dan bekerja juga bersama Connect, sebuah organisasi yang mendukung pengungsi Korea Utara untuk tinggal di Inggris.

Baca juga: Gagal Kabur dari Korut, Para Pembelot Wanita Diperkosa dan Diaborsi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com