Pelarian itu sangat berbahaya, bahkan bagi mereka yang berhasil meloloskan diri. Mereka dianggap imigran ilegal dan bisa dideportasi kapan saja jika tertangkap di China.
Mereka yang dideportasi ke Korut biasanya akan menghadapi hukuman brutal di pusat-pusat penahanan, termasuk kerja paksa, kamp re-edukasi dan penyiksaan.
Pada Februari 1998, Park dan adik laki-lakinya berhasil lolos melewati sungai beku dan pegunungan ke China dengan bantuan seorang pria yang menjanjikan kehidupan lebih baik di negara baru.
Namun, ketika sampai di tempat tujuan, Park menyadari kalau dirinya ditipu. Dia menjadi korban perdagangan manusia.
"Saya dijual dan dipisahkan dari adik saya," ujar Park, "Dia dikirim kembali ke Korea Utara. Sampai saat ini saya tidak tahu apakah dia hidup atau mati."
Di China, Park ditahan oleh orang yang menipunya sampai menemukan pembeli yang tepat.
"Saya dijual ke seorang pria China seharga 5.000 yuan," ujar Park. Orang yang menipunya mengancam dengan kekerasan apabila dia tidak menurut dan bahkan akan mendeportasinya jika Park tidak melakukan perintah.
Park bahkan punya anak dari hasil hubungannya dengan pria penipu itu, dan dia dipaksa bekerja selama 5 tahun dalam ketakutan.
Hingga tiba suatu malam pada 2004, Otoritas China datang ke rumahnya dan menangkap Park. Dia pun dideportasi ke Korea Utara.
Lebih parahnya, dia dipisahkan dari anak laki-lakinya yang masih berusia 5 tahun.
"Anak saya adalah keluarga terakhir yang saya miliki," ungkap Park. "Saya sangat takut tidak bisa kembali. Saya katakan pada anak saya, 'tunggu Mama, Nak.' Karena polisi tidak memberi saya dan anak saya kesempatan terakhir untuk saling bicara."
Kembali ke Korea Utara untuk kerja paksa
Kembali ke tanah airnya, Jihyun Park dimasukkan ke pusat penahanan dan kamp kerja paksa negara itu.
Puluhan tahanan dijejalkan ke sel lembab tanpa listrik atau toilet (hanya ada sebuah ember untuk buang hajat).
"Bau di sana mengerikan," kenang Park. "Di pagi hari, area ember itu menjijikkan karena tidak ada cahaya."
Kondisi mengerikan itu ditambah dengan para tahanan yang diserang kutu, para wanita yang tidak boleh memakai pembalut dan sebagai gantinya menggunakan robekan kain yang tak boleh dicuci.
Tempat Park berada adalah kamp kerja paksa Chongjin, tidak jauh dari tempat asalnya.
Di sana, dia mulai bekerja sejak pukul 4.30 pagi dan terus berlangsung sampai larut malam dan diwajibkan menyanyikan lagu-lagu patriotik serta melafalkan prinsip-prinsip partai buruh negara itu.
"Mereka memperlakukan kami seperti binatang," ujar Park. "Kami tidak dianggap manusia. Kami bekerja menggunakan tangan dan kaki kami tidak memakai alas."
Mereka dipaksa bekerja di sisi gunung untuk membuat lahan perkebunan dan persawahan dengan tangan-tangan mereka, tanpa alat apa pun.
Para wanita dipaksa menarik berton-ton hasil ladang dan di bulan-bulan musim panas, para tahanan akan memakan kentang mentah yang mereka temukan dalam keadaan kotor untuk membuat diri mereka tetap hidup.
"Kami benar-benar merasa seperti mau mati, karena saat itu hidup kami sangat keras," ujar Park.
Dia mengatakan kalau para tahanan sangat lapar karena makanan yang disediakan tidak layak. Mereka juga kekurangan air mau pun obat-obatan.
"Yang saya pikirkan adalah putra saya. Saya bukan orang yang relijius tapi saya berdoa setiap hari. Kepada Buddha, kepada Tuhan, kepada Bunda Maria, tolong selamatkan putra saya. Suatu hari saya berharap bisa berkumpul kembali dengannya.
Saya hanya memikirkan itu, itulah yang membuat saya bertahan di kamp kerja paksa."