BANGKOK, KOMPAS.com - Sekitar 2.500 demonstran Thailand turun ke jalan menuntut pemerintah untuk mundur dan menuntut pembubaran parlemen, Sabtu (18/7/2020) malam waktu setempat.
Aksi tersebut merupakan aksi terbesar sejak insiden kudeta militer di Thailand pada 2014 yang merontokkan pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra sebagaimana dilansir dari Reuters, Sabtu.
Dilansir dari Reuters, para demonstran berpawai di dekat Monumen Demokrasi Bangkok. Mereka memprotes pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha.
Prayuth merupakan mantan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Thailand. Dia berhasil menjadi Perdana Menteri Thailand setelah menggulingkan Yingluck Shinawatra dalam Kudeta Militer 2014.
Selain itu, para demosntran juga menuntut tiga hal yakni pembubaran parlemen, kebebasan berpendapat, dan mengamandemen konstitusi militer. Menurut aktivis konstitusi militer tersebut menjamin kemenangan partai Prayuth pada pemilihan umum 2019.
Baca juga: Komedian Kritis Thailand Diculik di Tengah Hari Bolong di Kamboja
Seorang aktivis mahasiswa, Tattep Ruangprapaikit, berteriak kepada demonstran untuk tidak diam saja atas kurang demokratisnya Thailand.
Aksi demonstrasi tersebut juga menyuarakan protes terhadap monarki Thailand secara terselubung. Padahal ada peraturan yang melarang kritik terhadap raja.
Personel kepolisian berjaga-jaga namun tidak bergerak untuk menghentikan aksi demonstrasi.
Demonstrasi tersebut dimulai oleh sekelompok mahasiswa. Namun seiring berjalannya waktu, ratusan orang mulai ikut dalam aksi sehingga jumlahnya diperkirakan mencapai 2.500 orang.
Aksi demonstrasi mulai surut ketika tengah malam. Namun sebagian demonstran mengatakan akan kembali turun ke jalan jika dalam dua pekan tuntutannya tidak terpenuhi.
Baca juga: Karena Lockdown, Para Monyet Duduki Kota di Thailand
Beberapa bulan terakhir, publik semakin gerah terhadap pemerintahan Prayuth.
Sejak pemilihan umum 2019, pengadilan telah membubarkan partai oposisi terbesar kedua. Hal itu memberikan kontrol yang semakin kuat terhadap koalisi partai penguasa di parlemen.
Beberapa anggota kabinet juga mengundurkan diri pada Kamis (16/7/2020) karena perselisihan internal.
Partai pro-militer tempat Prayuth bernaung, Partai Palang Pracharat, berkampanye tentang visi budaya tradisional Thailand dan kesetiaan kepada Raja Thailand, Vajiralongkorn.
Thailand menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional. Menghina raja dapat dihukum hingga 15 tahun penjara. Kalangan konservatif memandang monarki sebagai sesuatu yang sakral.
Baca juga: Relawan Perempuan, Salah 1 Kunci Sukses Thailand Tangani Covid-19
Beberapa spanduk dan pidato pada demonstrasi Sabtu secara terselubung memprotes monarki.
"Ini negara kita, tapi rumah siapa di Jerman?" ujar seorang demonstran di depan massa.
Raja Vajiralongkorn, memiliki lahan di Jerman dan dia menghabiskan banyak waktu di negara tersebut.
Pada Juni, Prayuth secara terbuka sempat memperingatkan para aktivis politik untuk tidak mengkritik monarki jika tidak ingin dihukum.
Baca juga: Menipu Publik, 2 Pemilik Restoran Seafood Thailand Dipenjara 1.446 Tahun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.