"Saya berpikir bahwa ini dapat terjadi kepada saya, kakak perempuan saya, ibu saya, dan keponakan saya. Kenapa harus ada seseorang yang mengalami ini?" katanya.
Baca juga: Perempuan ISIS Diadili karena Biarkan Gadis Cilik Yazidi Mati Kehausan
Menghubungkan kejahatan ini ke individu tertentu dan membuktikannya adalah tugas yang berat.
Fokus utama Rez adalah para perempuan yang belum dihubungi oleh media dan kelompok hak asasi manusia lain.
"Perempuan Yazidi dapat mengingat berapa kali mereka diperdagangkan dan di mana mereka ditahan. Mereka juga dapat memberi kesaksian soal perkosaan dan kekerasan seksual yang dialaminya. Mereka dapat mengidentifikasi pria dari ISIS," kata Rez.
ISIS adalah kelompok yang terorganisasi dengan baik dan Rez mengatakan terdapat pola yang jelas dalam upaya mereka untuk menghapus etnis Yazidi.
Baca juga: Irak Bongkar Kuburan Massal Pertama Etnis Yazidi Korban ISIS
"Mereka memisahkan pria dari perempuan, lalu perempuan tua dari perempuan muda. Ini karena perempuan muda yang belum menikah dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi sebagai budak seks. Banyak pria dan perempuan tua dibunuh di tempat."
Ia berharap, investigasi lebih lanjut akan memungkinkan penuntutan terhadap individu militan IS.
"Ini bersifat rahasia dan sangat sensitif. Saya hanya akan membawa bukti dari perempuan yang mampu memberikannya. Beberapa dari mereka terlalu trauma untuk membicarakan hal ini sekarang."
Hasil kerjanya di lapangan menemukan bahwa tindakan kriminal tidak hanya dilakukan oleh para militan.
"Beberapa orang Arab di area Mosul--pria kaya dan berpengaruh--membeli perempuan."
Baca juga: Ibu yang 2 Putrinya Jadi Budak Seks Suami Alami Depresi hingga Bolak Balik Rumah Sakit
Nadia Murad adalah salah satu perempuan yang ditangkap, disiksa dan diperkosa oleh militan pada 2014. Saat itu ia baru berusia 21 tahun.
Nadia, seorang aktivis yang vokal, menerima penghargaan Nobel perdamaian pada tahun 2018, namun, seperti banyak etnis Yazidi lainnya, ia tidak mendapat keadilan.
"Beberapa tersangka ditahan di Irak, beberap adi Suriah, dan beberapa di Eropa. Bukti yang ada cukup kuat di beberapa kasus untuk dibawa ke pengadilan," kata Rez.
Namun perang saudara masih berkecamuk di Suriah dan sistem hukum Irak juga bermasalah.
Irak tidak memiliki sistem hukum yang memadai untuk menghadapi kasus kejahatan seperti penyiksaan berbasis gender, genosida, dan kejahatan kemanusiaan, menurut lembaga non-profit asal Amerika Serikat, Global Justice Centre.
Baca juga: Pasukan SAS Inggris Temukan Kepala 50 Perempuan Yazidi Korban ISIS di Tong Sampah
Prosekusi
Meski memiliki keterbatasan, sebuah pengadilan Irak baru-baru ini menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang militan IS atas tuntutan memerkosa seorang anak perempuan Yazidi, Ashwaq Haji, ketika ia berusia 14 tahun.
Ashwaq kembali ke Irak dari Jerman, tempat tinggalnya sekarang, untuk memberi kesaksian di pengadilan.