LIMA, KOMPAS.com - Sebuah pemandangan mengharukan terjadi di Peru, di mana uskup agung memimpin misa di katedral yang berisi foto korban meninggal Covid-19.
Uskup Agung Lima, Carlos Castillo, memberkati dan melihat sekitar 5.000 mereka yang terbunuh karena wabah, dalam misa Minggu (14/6/2020).
Para pekerja di Katedral Lima menghabiskan berhari-hari mengisi 84 bangku dengan foto korban Covid-19, dengan sisanya ditempel di seluruh bagian gereja.
Baca juga: Pimpin Ibadah di Gereja Evangelis Chili, Uskup Ini Tewas karena Covid-19
Di antara mereka yang meninggal karena virus corona, terdapat dokter, polisi, anggota pemadam kebakaran, penyapu jalanan, hingga anak-anak.
Dilansir The Guardian via Daily Mirror, sang uskup agung menjabarkan mengapa dia melaksanakan misa dengan foto para korban terpampang.
Castillo menerangkan, dia bermaksud mengkritik penanganan wabah di Peru, yang "didasarkan egoisme, sekadar untung, tanpa mendasarkan pada belas kasihan dan solidaritas".
Rohaniwan berusia 70 tahun itu menyerukan kepada publik negara di Amerika Latin itu untuk bersatu, menyebut "momen lebih sulit akan segera datang".
"Akan sangat menyedihkan dan mengerikan jika kita sampai melihat foto ini lagi, di mana mereka meninggal karena kelaparan," ujar dia.
Setidaknya sekitar 6.400 orang tewas karena virus corona di Peru, dengan 225.000 kasus terkonfirmasi, berdasar laporan Universitas Johns Hopkins.
Baca juga: Ini Imbauan Para Uskup Bagi Umat Katolik Cegah Wabah Corona
Peru menjadi negara kedelapan yang paling terdampak di seluruh dunia, kedua di kawasan Amerika Latin, di belakang Brasil.
Meski menderita korban yang cukup banyak, New York Times melaporkan Presiden Martin Vizcarra dipuji karena sempat menerapkan lockdown terketat di Amerika Selatan.
Dia menggelontorkan berbagai paket ekonomi agar warga tetap di rumah, sembari merilis data detil data kesehatan dan meningkatkan kemampuan sistem kesehatan dalam memerangi pandemi.
Meski begitu, respons pemerintahan Vizcarra tetap dikritik karena dianggap korup dan secara kentara menunjukkan ketidaksetaraan dalam penanganan.
"Mereka meminta kami berdiam di rumah. Namun tanpa penghasilan, rasanya mustahil," ujar Hugo Nopo, yang bekerja bagi grup penelitian Grade kepada The Times.
Nopo menjelaskan, pemerintah selalu meminta mereka higienis dengan mencuci tangan. Namun, hanya satu dari tiga rumah tangga yang punya akses ke air.
Baca juga: Ini Alasan Misa Penahbisan Uskup Ruteng Tak Bisa Ditunda
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.