Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Implikasi bagi Indonesia bila Normalisasi Hubungan dengan Israel Terjadi

Namun, pengungkapan rencana normalisasi ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena konflik antara Palestina dan Israel yang telah meningkat sejak Oktober 2023. Situasi ini menempatkan Indonesia dalam dilema diplomasi yang rumit.

Selama beberapa dekade, Indonesia telah dikenal atas dukungannya terhadap Palestina, berdasarkan prinsip anti-kolonialisme dan anti-imperialisme—suatu sikap yang diresmikan oleh Presiden pertama Indonesia, Sukarno, dalam kebijakan luar negeri negara.

Oleh karena itu, usulan normalisasi dengan Israel menandai perubahan signifikan yang dapat membawa dampak luas, baik secara nasional maupun global.

Kendati demikian, wacana normalisasi ini bukan pertama kali muncul. Selama kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999-2001, ada upaya menjalin hubungan perdagangan dengan Israel, mirip dengan hubungan Indonesia dengan beberapa negara Arab.

Gus Dur juga sempat mempertimbangkan pembangunan hubungan diplomatik dengan Israel, berargumen bahwa Indonesia perlu berhubungan formal dengan kedua pihak untuk berkontribusi pada perdamaian Palestina-Israel.

Namun, pengumuman ini berlangsung di saat ketegangan Timur Tengah sedang memuncak, dan reaksi masyarakat Indonesia—yang secara historis mendukung Palestina—terhadap perubahan drastis ini berpotensi menjadi signifikan, mengingat solidaritas yang ditunjukkan oleh negara-negara mayoritas Muslim lain terhadap Palestina.

Dampak politik domestik Indonesia

Potensi normalisasi hubungan Indonesia dengan Israel berisiko memperdalam polarisasi politik domestik.

Isu ini bisa dimanfaatkan oleh politikus dan partai untuk menguatkan kekuasaan dengan memainkan sentimen nasionalisme atau agama.

Konflik bisa memuncak antara kelompok progresif yang mendukung diplomasi global dan kelompok konservatif yang teguh mendukung Palestina, mempersulit pengelolaan pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan.

Sejarah solidaritas Indonesia dengan Palestina bisa memicu protes besar dan kerusuhan jika normalisasi dilakukan tanpa kemajuan dalam perdamaian Israel-Palestina, menggoyahkan stabilitas nasional.

Usulan membuka hubungan diplomatik juga telah menempatkan Menteri Pertahanan dan presiden terpilih Prabowo Subianto dalam posisi sulit.

Ia belum mendukung atau menolak usulan ini, membuat segala hal yang berkaitan dengan kebijakan ini dapat menjadi isu politik yang sensitif. Ketidakpastian dalam sikap pemerintah hanya menambah ketidakpastian dan spekulasi publik.

Kementerian Luar Negeri telah memberikan klarifikasi bantahan tentang normalisasi. Namun, responsnya yang kurang tegas meningkatkan ambigu dalam interpretasi kebijakan ini, menimbulkan debat intens mengenai niat dan tindakan pemerintah yang akan datang.
Ambiguitas ini diperburuk oleh konteks pemilihan umum terbaru.

Publik mungkin belum menyadari seberapa jauh diskusi tentang normalisasi telah berlangsung. Dukungan pemerintah terhadap Palestina sejak perang Oktober 2023 dapat dilihat sebagai gimmick.

Mengingat sentimen anti-Israel yang kuat, dukungan terbuka terhadap normalisasi dapat menjadi bumerang politik bagi para politikus yang berambisi menduduki posisi di kabinet.

Meskipun demikian, pada akhir 2021, laporan media Israel mengungkapkan usaha yang dilakukan oleh Prabowo untuk membina hubungan antara Indonesia dan Israel, termasuk kerja sama perdagangan dan pariwisata, terutama di sektor pertanian.

Ini menunjukkan langkah bertahap menuju normalisasi yang masih berlanjut di balik layar, menambah kompleksitas dalam navigasi politik domestik Indonesia dan diplomasi internasionalnya.

Implikasi Geopolitik

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Israel dapat mengubah keseimbangan diplomatik, terutama dengan negara-negara mayoritas Muslim yang masih menolak berhubungan dengan Israel.

Meskipun beberapa negara Timur Tengah telah menjalin hubungan formal dengan Israel, negara-negara lain masih teguh mendukung Palestina.

Keputusan Indonesia mungkin akan menciptakan ketegangan dengan negara-negara yang mendukung Palestina, mengubah aliansi regional dan berpotensi mengisolasi Indonesia dalam beberapa koalisi.

Sebagai pemimpin historis dalam Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok, Indonesia telah memainkan peran penting di antara negara-negara berkembang.

Normalisasi hubungan dengan Israel, oleh karena itu, dapat dilihat sebagai penyimpangan dari peran tradisional ini, yang berpotensi mengurangi kemampuan Indonesia untuk bertindak sebagai mediator netral dalam konflik internasional.

Langkah ini juga berisiko mengurangi pengaruh Indonesia dalam gerakan tersebut, memengaruhi jangkauan diplomasi globalnya.

Dari perspektif Israel, normalisasi dengan Indonesia, yang merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dianggap sebagai kemenangan strategis.

Hal ini bisa menjadi narasi yang berlawanan dengan isolasi yang dihadapi Israel akibat kebijakannya di Gaza, mungkin sebagai bagian dari upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memperkuat posisinya secara internasional.

Namun, risiko yang dihadapi Indonesia sangat beragam. Langkah normalisasi yang terlalu cepat bisa menimbulkan alienasi di kalangan mayoritas penduduk dan memperlemah hubungan dengan negara-negara mayoritas Muslim lainnya.

Ini juga bisa mengikis komitmen historis Indonesia terhadap prinsip anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, yang selama ini menjadi ciri kebijakan luar negerinya.

Rencana normalisasi hubungan Indonesia dengan Israel membuka kotak Pandora yang sarat peluang dan risiko.

Meski berpotensi meningkatkan perdagangan, investasi, dan pertukaran teknologi, langkah ini menantang sikap anti-kolonial yang telah lama dipegang teguh oleh Indonesia dan dukungannya yang kuat terhadap Palestina.

Keputusan ini harus diambil dengan serius, mengingat dampaknya terhadap nilai inti dan otoritas moral Indonesia di kancah global.

Normalisasi bukan sekadar isu kompleks, tetapi juga ujian bagi diplomasi Indonesia yang membutuhkan pendekatan berani dan hati-hati.

Mayoritas masyarakat Indonesia menolak hubungan dengan Israel, dan sentimen ini tidak boleh diabaikan. Langkah-langkah pemerintah harus mencerminkan kehendak rakyat, dilakukan dengan pertimbangan mendalam dan sensitivitas tinggi.

Pada saat mempertimbangkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negerinya, Indonesia harus memastikan proses keputusan transparan dan inklusif, yang mencerminkan nilai dan kehendak kolektif masyarakat.

Normalisasi dengan Israel harus lebih dari sekadar manuver strategis; harus didasarkan pada komitmen nyata terhadap perdamaian dan keadilan di Timur Tengah.

Indonesia perlu mempertahankan prinsip-prinsipnya dalam mendukung bangsa-bangsa yang tertindas dan menjunjung tinggi cita-cita pendiriannya.

Dalam menghadapi diplomasi yang rumit ini, langkah Indonesia harus hati-hati, memastikan tidak mengkhianati kepercayaan dan harapan rakyatnya.

https://www.kompas.com/global/read/2024/04/15/094619470/implikasi-bagi-indonesia-bila-normalisasi-hubungan-dengan-israel-terjadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke