Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemilu Thailand: Partai-partai Oposisi Bergandengan Tangan Kalahkan Militer

BANGKOK, KOMPAS.com - Menurut hasil pemilu sementara, partai-partai oposisi di Thailand telah mengamankan kemenangannya. Thailand telah siap untuk memulai era baru pemerintahan, kata para analis.

Hasil sementara pemilihan umum (pemilu) Thailand pada Minggu (14/5/2023) menunjukkan bahwa partai-partai oposisi utama di negara itu, yakni Partai Move Forward (MFP) dan Partai Pheu Thai, berhasil memperoleh suara terbanyak.

MFP sukses memenangi 151 kursi dari total 500 kursi di majelis rendah, sementara partai favorit pra-pemilu, Partai Pheu Thai, berhasil meraih 141 kursi. Secara bersama-sama, kedua partai prodemokrasi itu berhasil mengalahkan politisi yang didukung oleh militer.

Menurut para analis, hasil pemilu sementara ini menunjukkan bahwa rakyat Thailand telah siap untuk memulai era baru pemerintahan di Thailand.

Pemungutan suara yang digelar pada Minggu (14/5/2023) itu merupakan pemilu pertama di Thailand sejak 2019, di mana Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-o-cha terpilih sebagai pemimpin rakyat saat itu.

Prayuth sendiri merupakan mantan panglima militer yang memimpin kudeta pada 2014, hingga membuatnya berkuasa selama sembilan tahun terakhir.

Pemilu kali ini juga merupakan pemilu pertama sejak mencuatnya protes prodemokrasi yang dipimpin oleh kaum muda pada 2020.

Rekor terbaru yakni lebih dari 75 persen warga Thailand memberikan suaranya dalam pemilu kali ini, dari total sekitar 52 juta warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih.

Khusus untuk majelis rendah, 400 anggotanya dipilih dari hasil daerah pemilihan, sedangkan 100 sisanya dipilih dari daftar partai. Sementara untuk membentuk pemerintahan baru, partai atau koalisi membutuhkan setidaknya 376 suara.

Berkaitan dengan hal itu, Pemimpin MFP Pita Limjaroenrat, saat ini tengah mempertimbangkan untuk membentuk koalisi enam partai yang melibatkan partai Pheu Thai yang dipimpin oleh Paetongtarn Shinawatra, putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra.

Jika koalisi itu berhasil terbentuk, mereka akan memiliki 309 kursi di parlemen, dan ini berarti mereka masih membutuhkan dukungan dari anggota Senat.

Dalam sebuah konferensi pers di kantor pusat partai MFP di Bangkok pada Senin (15/5/2023), Pita mengatakan bahwa partai-partai oposisi telah siap untuk membentuk pemerintahan berikutnya dan Pita siap memimpinnya. Pita menyerukan agar Senat "mendengarkan rakyat."

"Hasil pemilu ini tidak hanya memberi sinyal tentang adanya kesediaan untuk bergerak melampaui perpecahan politik lama antara keluarga Shinawatra dan (kelompok) status quo konservatif, tetapi juga tentang adanya dukungan reformasi struktural yang lebih luas terkait peran pusat kekuasaan tradisional di Thailand," kata Jatusripitak.

Krisis politik dan masalah ekonomi

Sebagian besar kampanye pemilu di Thailand berfokus kepada persoalan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diprediksi naik sebesar 3,4 persen pada 2022 hanya mampu mencapai 2,8 persen, di mana angka tersebut menjadi salah satu yang terendah di Asia Tenggara.

Partai-partai politik Thailand pun berlomba-lomba merebut kekuasaan dengan menjanjikan upah yang lebih tinggi, lebih banyak subsidi, hingga manfaat ekonomi lainnya, dalam kampanye mereka.

Salah satunya MFP, yang juga berjanji untuk meningkatkan upah minimum tahunan rakyat Thailand, walaupun partai progresif ini lebih dikenal dengan rencana kontroversialnya untuk mereformasi monarki Thailand dan mengubah hukum lese majeste di negara tersebut.

Sikap MFP itu pun menarik jutaan pemilih muda, yang sejak 2020 aktif berpartisipasi dalam demonstrasi menuntut perubahan pada undang-undang pencemaran nama baik atau penghinaan terhadap kerajaan, yang menjerat rakyatnya dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.

PM Prayuth juga telah mengatakan bahwa apabila dirinya kehilangan posisi sebagai pemimpin negara Thailand, dia akan memilih untuk pensiun dari dunia politik.

Di bawah konstitusi Thailand tahun 2017 yang didukung oleh para militer dan raja, tertulis bahwa perdana menteri tidak dapat menjabat lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut, yaitu dengan total delapan tahun.

Bahkan jika Prayuth kembali berkuasa, itu berarti masa jabatannya sebagai pemimpin negara akan berakhir pada 2025.

"Masa jabatan Prayuth kemungkinan besar sudah berakhir, karena partainya bahkan bukan dari partai konservatif terbesar," kata seorang pakar ilmu politik di Universitas Michigan Ken Mathis Lohatepanont, kepada tim DW.

"Koalisi lima partai MFP akan memungkinkan terbentuknya pemerintahan yang stabil, tetapi masih belum jelas apakah Senat akan menghalangi Pita untuk menjadi perdana menteri selanjutnya," tambah Lohatepanont.

"Meski begitu, bisa dibilang dengan margin kemenangan koalisi prodemokrasi yang cukup besar, setiap upaya untuk membentuk pemerintahan melalui pembubaran partai atau keputusan pengadilan, tidak akan cukup untuk membuat koalisi Prayuth mencapai jumlah yang dibutuhkan," jelasnya.

Mungkinkah Pita didiskualifikasi?

Ada pula spekulasi bahwa Pita dapat didiskualifikasi dari jabatannya. Konstitusi Thailand melarang pemegang saham media untuk ikut serta dalam pemilihan umum, dan Pita dituduh oleh seorang lawan politiknya memiliki saham di sebuah lembaga penyiaran televisi yang sudah tidak terdaftar.

Jika hal itu terbukti memberatkan, kejadian itu akan mengulang sejarah pendahulunya, Thanathorn Juangroongruangkit, salah satu pendiri Partai Future Forward.

"Kita tidak bisa mengesampingkan apa pun pada saat ini, termasuk kemungkinan bahwa Pita dapat didiskualifikasi dari jabatannya," tambah Jatusripitak.

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Pemilu Thailand: Dua Partai Oposisi Menang Besar.

https://www.kompas.com/global/read/2023/05/22/100400170/pemilu-thailand--partai-partai-oposisi-bergandengan-tangan-kalahkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke