Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

KBRI di Khartoum Catat 1.209 WNI Tinggal di Sudan, Evakuasi Dipersiapkan

KHARTOUM, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia terus mempersiapkan proses evakuasi para WNI yang tinggal di Sudan, akibat konflik militer bersenjata yang terus berlangsung sejak Sabtu (15/4/2023).

Berdasarkan data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartoum, terdapat 1.209 WNI yang tinggal di Sudan.

Sebagian besar dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa.

“Persiapan evakuasi terus dimatangkan sambil menunggu saat yang tepat untuk bisa melakukan evakuasi dengan tetap mempertimbangkan keselamatan WNI,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Kamis (20/4/2023), sebagimana dikutip dari kantor berita Antara.

Sejauh ini terdapat ribuan warga sipil yang telah meninggalkan ibu kota Sudan, Khartoum.

Tak hanya Indonesia, negara-negara lain juga tengah mencoba untuk mengevakuasi warganya, di tengah pertempuran sengit yang telah berlangsung lima hari.

Tim perlindungan WNI dari KBRI Khartoum telah mengevakuasi 43 WNI yang terjebak di lokasi pertempuran ke tempat perlindungan KBRI.

Namun, Menlu Retno menambahkan, proses evakuasi tersebut dapat berlangsung jika kedua pihak yang berkonflik, yaitu tentara Sudan (SAF) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menyetujui jeda kemanusiaan.

“Jeda kemanusiaan akan menjadi kunci bagi pelaksanaan evakuasi dan keberlanjutan bantuan kemanusiaan,” kata Retno,

Kemenlu RI dan KBRI Khartoum telah mengadakan pertemuan virtual dengan para WNI serta organisasi masyarakat Indonesia di Sudan, sehari usai pertempuran terjadi, pada Minggu (16/4.2023).

Bagaimana situasi di Khartoum?

Sejumlah saksi mata melaporkan bahwa warga berbondong-bong meninggalkan Khartoum dengan menggunakan mobil maupun berjalan kaki ketika suara tembakan dan ledakan yang keras mengguncang kota itu.

Selain Indonesia, pejabat Jepang dan Tanzania mengatakan tengah mempertimbangkan misi untuk mengevakuasi warganya.

Jepang mengatakan pasukannya sedang mempertimbangkan cara mengevakuasi sekitar 60 warga Jepang dari Sudan, dengan pesawat militer yang disiagakan.

Menteri Luar Negeri Tanzania Stergomena Tax mengatakan kepada parlemen bahwa pemerintahnya juga sedang mengevaluasi apakah mungkin mengevakuasi 210 warganya.

Namun, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Khartoum mengatakan, situasi keamanan yang tidak pasti di ibu kota berarti tidak ada rencana untuk evakuasi yang dikoordinasi pemerintah AS.

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menyampaikan kepada BBC bahwa mereka menyarankan penduduk setempat untuk tetap tinggal di tempat yang aman dan menghindari wilayah perang.

"Siapa pun yang menelepon, kami memberi tahu mereka yang sebenarnya: 'Lihat, saat ini sulit untuk mengeluarkan Anda, dan lebih baik dan lebih aman untuk tetap di tempat Anda berada'," kata Farid Abdulkadir, kepala organisasi itu di Sudan, kepada Focus on Africa.

Konflik bersenjata terus terjadi menyusul gagalnya gencatan senjata antara faksi yang bertikai, yaitu SAF dan RSF pada Selasa (18/4/2023).

Gencatan senjata pun kembali diajukan RSF pada Rabu (19/4/2023), namun suara tembakan masih terdengar di seluruh ibu kota.

Kumpulan asap terlihat di atas markas tentara di pusat kota, lokasi pertempuran antarfaksi militer berlangsung.

Mohammed Alamin, jurnalis yang berbasis di Khartoum, mengatakan kepada BBC Focus di radio Afrika bahwa tembakan tidak berhenti, meskipun seharusnya ada gencatan senjata.

"Benar-benar mengerikan. Pihak-pihak yang bertikai ini menembak secara acak ke mana-mana. Saya sendiri melihat ratusan orang pergi ke luar Khartoum, bergegas melakukan perjalanan ke negara bagian tetangga," katanya.

Alamin menambahkan, beberapa warga sipil tidak tahu apa yang sedang terjadi - sementara yang lain mengungkapkan kemarahan mereka ke kedua sisi yang bertikai.

"Pada dasarnya orang berpikir bahwa perang ini melawan mereka. Inilah yang dikatakan orang-orang kepada saya di jalanan," kata Alamin.

Dia juga mengatakan bahwa penerapan gencatan senjata sulit terjadi karena kekuatan yang terfragmentasi di kota tersebut.

"Ada semacam (komunikasi) yang terputus antara pasukan ini. Mereka bertempur di area yang berbeda, di tempat yang berbeda, dengan sedikit komunikasi," katanya.

Pertempuran saat ini sebagian besar dilakukan dengan tembak menembak, bukan pengeboman udara yang berat.

Warga sipil mulai meninggalkan ibu kota pada Rabu pagi karena pertempuran terus berlanjut dan Khartoum diselimuti asap hitam tebal menyusul ledakan di dekat markas tentara.

Saksi melaporkan pasukan RSF bersenjata berat berpatroli di kota dengan truk pikap, sementara jet tempur yang setia kepada militer melakukan serangan ke sasaran yang diyakini dipegang oleh pasukan paramiliter.

Minim bahan bakar dan transportasi umum

Minimnya bahan bakar dan kurangnya transportasi umum membuat banyak dari warga yang terpaksa mengungsi dengan berjalan kaki.

Sebagian mencari tumpangan ke Sudan tengah dan barat -tempat tinggal keluarga mereka- dengan truk bak.

Seorang penduduk setempat yang melarikan diri dari ibu kota mengatakan kepada BBC bahwa RSF telah mendirikan pos pemeriksaan di jalan-jalan di sekitar kota dan beberapa pasukan itu telah merampoknya, mencuri telepon dan sejumlah uangnya.

Perampokan juga dilaporkan terjadi di wilayah ibu kota.

Pada hari Selasa, penduduk di daerah Khartoum 2 mengatakan kepada BBC bahwa milisi RSF memasuki rumah ke rumah di lingkungan itu untuk meminta air dan makanan.

Saat pertempuran semakin intensif, sejumlah negara mengatakan mereka telah memulai persiapan untuk mengevakuasi warganya dari negara tersebut.

Berapa jumlah korban tewas dan terluka?

Jumlah korban tewas akibat pertempuran itu belum jelas, tetapi Komite Pusat Dokter Sudan (CCSD) mengatakan pada Selasa, bahwa sedikitnya 174 warga sipil tewas dalam kekerasan di Sudan itu.

Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pada hari Rabu, AS, Uni Eropa, Inggris, dan 12 negara lainnya mengatakan jumlah korban tewas telah mencapai 270 orang.

Namun, para ahli mengatakan angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, dengan banyak yang korban terluka tidak dapat mencapai rumah sakit, yang dilaporkan telah ditembaki.

Tanzeel Kha, warga negara India yang bekerja di Khartoum, mengatakan kepada BBC bahwa serangan udara di kota itu membahayakan nyawa warga sipil.

"Sejak pagi ini, serangan udara di kawasan ini semakin intensif dan kami tidak tahu kapan akan menghantam gedung kami. Ada sekitar 15 orang lain yang tinggal di gedung yang sama yang menghadapi kesulitan yang sama," katanya.

Seorang perempuan warga negara Rusia yang terjebak di sebuah gereja Ortodoks Yunani di Khartoum mengatakan bahwa situasinya semakin memprihatinkan, setelah kelompoknya kehabisan listrik, makanan, dan air.

Dia mengatakan kepada BBC bahwa listrik perkotaan telah terputus sejak awal pertempuran, sementara generator yang memberi daya pada gereja telah kehabisan bahan bakar.

Dewan Pengungsi Norwegia, sebuah kelompok kemanusiaan yang membantu orang-orang terlantar akibat konflik, mengatakan hampir semua pekerjaan kemanusiaan telah lumpuh di Sudan dan tidak mungkin untuk memberikan bantuan ke lapangan di tengah pertempuran sengit tersebut.

"Anda tidak dapat beroperasi ketika terjadi pertempuran di mana-mana, ketika tidak aman untuk berkendara di jalan raya, ketika bandara ditutup," kata kepala organisasi Jan Egeland kepada BBC.

"Saya berbicara tentang organisasi kemanusiaan yang telah melihat gudang mereka dijarah, kompleks mereka diserbu, staf mereka ditodong senjata, rekan kerja telah dilecehkan secara seksual. Ini benar-benar sangat buruk," tambahnya.

Laporan tambahan oleh Chloe Kim

https://www.kompas.com/global/read/2023/04/22/082800170/kbri-di-khartoum-catat-1.209-wni-tinggal-di-sudan-evakuasi-dipersiapkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke